Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Fantastic Four


"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

Begini. Di atas kertas, proyek reboot dari Fantastic Four memang terdengar menjanjikan. Dengan versi satu dasawarsa lalu biasa-biasa saja, maka ya bukankah kecil kemungkinan film pembaharuan untuk superhero Marvel kepunyaan Fox ini akan lebih jelek mengingat sekali ini diperkuat oleh sutradara dengan jejak rekam mengesankan (hey, Josh Trank memberi kita film found footage keren Chronicle!) dan jajaran pemainnya yang boleh dibilang pemain drama aktris muda berbakat kala kini? Ya, seakan-akan mustahil memperoleh pengalaman sinematik penuh duka lara mirip aku alami awal tahun ini gara-gara Seventh Son dan Dragon Blade. Sebagai seseorang yang seringkali berhasil menemukan titik kesenangan dari suatu film – meski buruk sekalipun – maka diwanti-wanti oleh beberapa kawan tidaklah meresahkanku toh Fantastic Four-nya Chris Evans masih membuatku bersenang-senang. Segala sikap optimis yang diboyong ke bioskop tatkala menyantap film garapan Bang Trank seketika meluntur selayaknya eye shadow terkena tetesan air begitu mendapati Fantastic Four yang tengah diputar ini bukanlah superhero movie melainkan dongeng pengantar tidur! Damn, damn. 

Semenjak usia masih sangat belia, Reed Richards (Miles Teller) telah terobsesi untuk menciptakan teknologi yang melampaui zamannya. Salah satu eksperimen terbarunya, sekaligus paling ditekuninya, yaitu alat teleportasi. Sekalipun orang-orang terdekat menganggap acara Reed ini sebagai kegilaan tanpa hasil, bersama dengan sang sahabat, Ben Grimm (Jamie Bell), keduanya tak pernah menyerah untuk terus berbagi penemuan ini. Setelah mengalami serangkaian penolakan, alat teleportasi ciptaan Reed jadinya memperoleh legalisasi dari ilmuwan bernama Dr. Franklin Storm (Reg E. Cathey) yang tengah meneliti eksistensi planet lain menyerupai bumi. Bersama dengan Sue Storm (Kate Mara), Johnny Storm (Michael B. Jordan), dan Victor Domashev (Toby Kebbell), Reed direkrut oleh Dr. Franklin menjadi bab tim ekspedisi guna menyelidiki dunia alternatif tersebut. Walau memperoleh tentangan keras dari pemegang otoritas untuk melanjutkan misi sebab dianggap berbahaya, Reed dan kawan-mitra termasuk Ben nekat menjelajahi planet misterius tersebut. Benar saja, sebuah kesalahan kecil yang mereka perbuat di planet tersebut lantas memberikan efek sangat besar bagi mereka sendiri dan terlebih lagi, dunia. 

Apa yang pertama kali melintas di benakmu ketika mendengar “sebuah film superhero dari Marvel”? Rasa-rasanya ada semacam kesepakatan tidak tertulis diantara penggemar film maupun komik untuk memberi satu tanggapan serupa: fun. Marvel Studios memastikan setiap filmnya (entah itu dari karakter high profile atau low profile sekalipun) memberi tingkat kepuasan sama pada penontonnya. Tapi lalu kita ingat, hak cipta untuk pembuatan film Fantastic Four tidaklah dipegang oleh mereka melainkan Fox yang notabene hanya menuai kesuksesan melalui rangkaian seri X-Men jadi pengharapan tersebut susah untuk ditanamkan di sini. Dan memang, jika kau melihat sendiri apa yang telah diperbuat oleh Josh Trank kepada Fantastic Four, ada baiknya kita tidak perlu menentukan ekspektasi apapun terhadap produk Marvel keluaran Fox. Betapa tidak, Fantastic Four menawarkan salah satu kekecewaan besar pada kita yang mendamba memperoleh penghiburan dari tontonan di layar perak. Alih-alih membuat hati cerah ceria usai menyimaknya, film malah justru menggiring datangnya mendung gelap untuk mengisi ruang hati. 

Ya, sulit untuk bersenang-senang selama durasi Fantastic Four mengalun karena film ini sungguh membosankan. Paruh awal yang dipergunakan sepenuhnya oleh Trank untuk perkenalan kepada aksara-aksara inti bergotong-royong cukup lezat buat dinikmati... pada mulanya. Walau humornya lebih sering jayus ketimbang manjur (kecuali saat seorang bocah mengatai Reed, “you’re a dick!”, yang seperti menjumput acuan ke interview Miles Teller di majalah Esquire. Ha!), ada sedikit ketertarikan untuk mengetahui bagaimana reaksi empat sekawan ini menyikapi perubahan dalam diri usai badan mereka berevolusi alasannya paparan radiasi akan dipaparkan oleh sang sutradara hingga ketertarikan itu perlahan tapi niscaya mulai menguap karena momen perkenalan ini berlangsung kelewat bertele-tele, lambat dengan obrolan jauh dari kata menarik yang dipenuhi istilah ilmiah sulit dipahami. Rasanya ingin sekali berteriak, “woi, cepetan woi. Udah capek dengerin kalian ngoceh mulu!”. Dan begitu ekspedisi resmi dimulai, kita mungkin berpikir penderitaan ini telah berakhir dengan grafik ketegangan menunjukkan sedikit kenaikan, tapi Trank rupanya hanya menabur keinginan palsu kepada penonton. Betapa teganya! 

Usai para jagoan kita ini menginjakkan kaki kembali di bumi, kehampaan yang menaungi menit-menit menjelang peluncuran misi menampakkan wujudnya lagi... dan kali ini semakin menjadi-jadi. Gundah gulana para karakter hanya digali permukaannya saja tanpa pernah sekalipun memunculkan emosi, ocehan apalah-apalah dari aksara pendukung yang masih saja berlarut-larut, sementara di sisa durasi kurang dari 40 menit pertarungan yang seharusnya menghiasi superhero movie penyesuaian komik Marvel belum juga ada tanda-tanda kemunculan. Setiap personil dalam Fantastic Four pun tidak memberi chemistry meyakinkan yang menciptakan kita percaya bahwa mereka satu tim dan seolah belum cukup parah, penonton juga masih belum menerima gambaran wacana villain yang hendak dihadapi hingga detik-detik terakhir. Lha piye to iki? Begitu sang tokoh jahat jadinya memperoleh jatah tampil, waktunya pun dibatasi dan kemampuannya tak seberapa. Intensitas yang seharusnya memuncak di final showdown enggan untuk hadir mengingat Dr. Doom, sang villain di film ini, yang katanya penjahat super (salah satu villain populer dari Fantastic Four!) dapat dibuat keok hanya dalam tempo waktu sepersekian menit! Ciyus! 

Menunggu dengan kepala cekot-cekot selama puluhan menit hanya untuk memperoleh pertarungan puncak yang mampu saja terlewatkan dalam satu kedipan, bagaimana nggak pusing pala Barbie, tuh? Siapapun yang merogoh kocek dalam-dalam untuk tiket bioskop Fantastic Four demi menyaksikan pertempuran seru superhero hampir dapat dipastikan akan mendengus kesal sesaat lampu bioskop dinyalakan alasannya ya, kau tidak akan mendapatkannya. Ugh, dwilogi Fantastic Four yang mengedepankan Ioan Gruffud, Jessica Alba, Chris Evans, dan Michael Chiklis saja jauh lebih mengasyikkan buat disantap ketimbang gugusan Miles Teller, Kate Mara, Michael B. Jordan, dan Jamie Bell ini! Setidaknya, versi terdahulu masih mempunyai beberapa momen untuk bersuka cita. Lha kalau Fantastic Four terbaru ini sih cocoknya hanya dikonsumsi kau yang mengalami permasalahan dengan insomnia. Percaya deh, setelah menyaksikan film ini di layar lebar, problematikamu seketika terpecahkan.

Troll

Post a Comment for "Review : Fantastic Four"