Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Si Bagus Jembatan Ancol (2019)

 

“Kenapa wanita harus menjadi hantu terlebih dahulu gres ditakuti?”

Bagi generasi kala kini, Si Manis Jembatan Ancol mungkin terdengar abnormal di indera pendengaran. Tapi bagi generasi yang lebih tuwek, nama ini identik dengan tiga hal. Pertama, legenda urban asal Betawi. Kedua, judul film layar lebar keluaran tahun 1973 yang dibintangi oleh Lenny Marlina. Dan ketiga, sinetron bergenre horor komedi di kala 90-an yang membawa dua pemain intinya, Diah Permatasari dan Ozy Syahputra, merengkuh popularitas. Saking populernya (bahkan Presiden Soeharto pun menggilainya!), versi layar lebarnya pun digarap yang menandai untuk kedua kalinya meneror penonton di bioskop. Mantap kan, adek-adek? Nah setelah dibiarkan “beristirahat dengan damai” di alamnya selama kurang lebih dua dekade, sesosok memedi berjulukan Maryam yang kerap terlihat bergentanyangan di Jembatan Ancol ini coba dibangkitkan kembali oleh Anggy Umbara (Suzzanna Bernapas dalam Kubur, Satu Suro) guna diperkenalkan kepada generasi Z, sekaligus mengikuti tren remake film horor klasik tanah air yang tamat-final ini tengah merebak. Masih mengandalkan judul Si Manis Jembatan Ancol, jajaran pemain yang dilibatkan tentu mengalami perombakan signifikan sebagai bentuk penyesuaian. Satu-satunya pelakon yang kembali direkrut dalam versi termutakhir ialah Ozy Syahputra yang sekali ini tidak melakonkan hantu gundul nan kenes bernama Karina, melainkan menjadi salah satu villain yang bertanggungjawab atas lahirnya arwah ingin tau yang dilingkupi dendam kesumat berjulukan Si Manis.

Selaiknya versi-versi terdahulu, karakter utama dalam Si Manis Jembatan Ancol versi Anggy ini pun seorang wanita bernama Maryam (Indah Permatasari). Tinggal di rumah gedongan bersama sang suami, Roy (Arifin Putra), nyatanya tak menjamin Maryam dapat hidup berbahagia lantaran Roy tengah terlilit hutang dalam jumlah yang sangat besar dan hubungan mereka pun tak lagi hangat. Roy kerap bersikap hirau tak acuh, bahkan cenderung garang, kepada istrinya yang dianggapnya tak pernah berkontribusi terhadap keuangan rumah tangga mereka. Ditengah kesedihan dan kesendiriannya ini, Maryam berjumpa dengan seorang pelukis, Yudha (Randy Pangalila), yang memberinya ajuan menggiurkan. Yudha akan memberi hadiah lukisan yang menampilkan Maryam bersama almarhum ayahnya secara cuma-cuma, asalkan Maryam bersedia untuk menjadi model bagi lukisan-lukisannya. Meski mulanya bimbang, toh pada balasannya protagonis kita ini mengambil ajuan tersebut. Maryam dan Yudha pun menghabiskan waktu bersama selama berhari-hari lamanya yang secara perlahan tapi niscaya menciptakan relasi keduanya kian dekat. Menyadari bahwa sang istri telah berpaling ke pria lain, Roy yang tengah kalut akhir bahaya lintah darat, Oji (Ozy Syahputra), pun menetapkan untuk mengorbankan nyawa istrinya demi membayar hutang-hutangnya yang menumpuk. Sebuah keputusan yang nantinya disesali oleh Roy alasannya adalah arwah Maryam menentukan untuk tidak tinggal membisu sebelum para laki-laki yang menghabisinya mendapat balasan setimpal.


Satu hal yang mampu saya peringatkan padamu, Si Manis Jembatan Ancol adalah tontonan horor yang tergolong berbeda dari film-film bergenre sama di tanah air. Berbeda dalam artian baik atau buruk, tergantung penerimaanmu. Yang terperinci, Anggy memang mengambil resiko sangat tinggi di sini yang berdampak pada terpecah belahnya pendapat. Kamu mampu saja menyukai pilihan si pembuat film, atau kamu justru akan sangat membencinya. Tengok saja bagaimana caranya menjabarkan karakteristik Maryam berikut keadaannya yang nelangsa dan hubungannya dengan abjad-karakter lain dalam film. Seperti pernah diaplikasikan melalui Suzzanna Bernapas dalam Kubur (2018), beliau memanfaatkannya dalam satu jam pertama yang bergerak  di ranah drama. Tak ada trik kaget-kagetan alasannya si memedi belum tercipta, dan hanya ada dialog demi dialog yang sesekali diselingi candaan menggelitik dari trio warung kopi guna menjelaskan segenap persoalan yang melanda para karakter inti. Bagi penonton yang mendamba riuhnya jumpscares, pendekatan sang sutradara ini boleh jadi mengecewakan. Bahkan saya memafhumi jikalau lalu ada yang merasa jenuh karena ada kalanya narasi terasa berpanjang-panjang dan mampu saja lebih dipadatkan. Tapi berhubung saya ingin mengetahui lebih dalam mengenai Maryam dan kawan-kawan (biasanya, huruf dalam film horor sekadar ada untuk diteror atau meneror tanpa latar belakang memadai), apa yang dilakukan oleh Anggy ini terbilang menggugah selera. Dari menit-menit ini, saya dipersilahkan untuk melongok motivasi dari Maryam, Yudha, Roy, maupun Oji yang nantinya berguna untuk memahami apa yang terjadi pada mereka di babak pembalasan.

Disamping penceritaan dari Anggy yang mengalir, faktor lain yang menambat atensi aku di Si Manis Jembatan Ancol yaitu elemen teknisnya mencakup artistik, sinematografi, busana, sampai tata rias yang sanggup menebalkan kesan 70-an yang merupakan latar waktu dari film. Meski wig yang dikenakan oleh Randy Pangalila terasa mengganggu sampai-sampai ingin rasanya saya gunduli (mohon maaf!), tapi tidak demikian halnya dengan performa jajaran pemainnya yang tergolong mengesankan. Indah Permatasari menciptakan kita bersimpati kepada aksara Maryam yang sepintas tampak lemah tak berdaya akibat tekanan sang suami tapi ternyata tangguh secara fisik dan pemikiran, Arifin Putra terlihat sungguh menjengkelkan sebagai kepala rumah tangga yang egois, Randy Pangalila merepresentasikan pria idaman yang simpatik, dan Ozy Syahputra mampu menanggalkan gambaran Karina yang selama ini menempel akrab pada dirinya. Disamping olah akting yang mumpuni, Si Manis Jembatan Ancol juga handal dalam mengkreasi momen-momen seram. Bukan sebatas trik kejut tanpa esensi, Anggy memberi alasan bisa dipahami terkait adegan mimpi yang merupakan salah satu highlight dalam film. Saya menyukai saat Si Manis melayang ditopang kerudung merahnya di tengah-tengah Jembatan Ancol karena bagi saya, adegan ini mampu tersaji creepy dan manis di waktu bersamaan. Satu bentuk perasaan takut yang sayangnya urung mencuat masa Si Manis melangsungkan misi balas dendamnya. Pemicunya yakni ketiadaan modus operandi yang terperinci sehingga adegan bunuh-bunuhan yang berdarah-darah ini terasa kelewat acak tanpa ada pola. Membuat saya bertanya-tanya, apa saja sih bergotong-royong kemampuan yang dipunyai oleh Si Manis ini?


Dari teror demi teror yang tingkatannya beragam – walau acapkali bekerja secara semestinya – penonton lantas digiring menuju satu pengungkapan besar yang tidak akan aku sebutkan di sini. Pengungkapan ini akan menjadi satu alasan lain mengapa penerimaan Si Manis Jembatan Ancol terbagi secara ekstrim ke dalam dua gelombang. Saya eksklusif tidak keberatan, bahkan mengapresiasi keberanian Anggy sekalipun eksekusinya tidak benar-benar sempurna dan masih meninggalkan ganjalan di hati terkait cara kerjanya. Lagipula, bukankah sudah saatnya film horor Indonesia mengambil langkah nekat ketimbang sebatas membicarakan soal perjanjian dengan setan yang belakangan marak? Apalagi, ada pembicaraan cantik di sini yang juga jarang-jarang diajukan oleh film menakutkan dari dalam negeri. Sebuah topik dialog cukup menggugah mengenai women empowerment yang telah didengung-dengungkan sedari babak introduksi. Selain obrolan yang telah aku kutip di atas, ada satu lagi dialog berkesan yang menjadi satu pesan berharga dari Maryam untuk para perempuan di muka bumi: “Jadi wanita itu harus kuat. Dunia terlalu jahat untuk wanita.” Sebuah pesan yang membuat aku yakin bahwa Maryam semestinya diangkat menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan biar berhenti gentayangan. #eh

Note : Ada satu adegan pelengkap selang beberapa detik usai end credit mulai merayap.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Si Bagus Jembatan Ancol (2019)"