Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Little Fires Everywhere (Miniseries)


“All mother’s struggle, money hides it. But you can’t put a price on a mother’s love.”

Seorang wanita berdiri terpaku di pinggir jalan, menyaksikan rumah gedongannya habis dilalap si hebat merah. Saking terguncangnya, dia tidak mampu lagi meluapkan segala emosinya dan hanya bisa melongo dengan tatapan mata kosong. Bukan ludesnya harta benda yang menggelisahkannya, bukan pula ketiadaan daerah untuk bernaung. Melainkan fakta bahwa ada orang lain yang memperabukan rumahnya periode ia sedang berada di dalam. Seperti halnya si perempuan dan seorang polisi yang menanyainya demi memperoleh keterangan, penonton pun ikut bertanya-tanya, “siapa yang nekat melakukan semua ini dan mengapa?.” Beginilah cara Little Fires Everywhere yang didasarkan pada novel bertajuk sama rekaan Celeste Ng memulai penceritaannya. Seperti halnya serial Big Little Lies yang juga dibintangi sekaligus diproduseri oleh Reese Witherspoon, penonton disodori secuplik adegan pamungkas yang menawarkan sinyal bahwa sesuatu yang besar, berbahaya, serta mengerikan akan segera terjadi. Cara ini mesti diakui efektif dalam membangkitkan ketertarikan terhadap Little Fires Everywhere yang dibentangkan menjadi miniseri sejumlah 8 episode. Sebagai seseorang yang tidak pernah membaca materi sumbernya, saya terang dilingkupi kepenasaran dan sama sekali buta mengenai latar belakang yang mendorong peristiwa kebakaran tersebut. Meski pengupasannya tak semenggigit Big Little Lies yang setiap episodenya kian menggila (begitu juga dengan pemain ansambelnya!), miniseri kepunyaan Hulu ini masih mempunyai cukup amunisi untuk membuatmu tetap bertahan hingga garis final demi memperoleh jawaban atas segala misteri yang melingkungi.

Perempuan yang dimaksud di paragraf pembuka yaitu Elena Richardson (Reese Witherspoon), seorang jurnalis, pemilik rumah kontrakan, sekaligus ibu dari empat orang anak. Di mata orang yang tidak mengenal pribadinya dengan baik, Elena tampak memiliki kehidupan yang sempurna. Suaminya, Bill (Joshua Jackson), merupakan pengacara sukses sementara anak-anaknya mempunyai prestasi mengagumkan di sekolah. Well, kecuali si bungsu, Izzy (Megan Stott), yang enggan menuruti setiap ajakan ibunya yang dinilainya lebih mementingkan gambaran eksklusif ketimbang kemauan sang anak. Tapi alasannya adalah ada “upaya pembunuhan” di permulaan cerita dan imaji kesempurnaan dalam media seringkali kontradiktif dengan kenyataan, fatwa hamba tentu sudah dibentuk untuk tidak memercayai Elena. Mudahnya sih, too good to be true. Benar saja, dikala seorang single mother berkulit hitam, Mia Warren (Kerry Washington), datang di Shaker Heights – latar utama dari miniseri ini – bersama putri tunggalnya, Pearl (Lexi Underwood), Elena seketika terobsesi dengannya dan ingin berkawan baik dengannya. Mulai dari memberi harga murah pada rumah kontrakannya hingga menawarinya pekerjaan sebagai “household manager” yang tidak lain yakni bahasa keren untuk ART. Mia yang memiliki misi kedatangan misterius ini menanggapinya secara dingin, sedangkan Elena justru kelewat ramah yang mau tidak mau mengundang kecurigaan mengenai intensi terselubungnya. Bill mempertanyakannya, begitu juga anak-anaknya. Elena sendiri kekeuh, intensinya hanyalah ingin menebar kebaikan kepada sesama. Namun usai sedikit demi sedikit rahasia tersibak, kita pun tersadar bahwa setiap abjad disini tidaklah sebersih yang diperkirakan.  



Ya, tidak ada karakter yang sepenuhnya mulia dalam Little Fires Everywhere, bahkan mereka yang mulanya tampak seperti malaikat ditengah kepungan iblis. Di satu sisi, pembentukan karakteristik yang berada di area debu-bubuk memungkinkan bagi miniseri untuk mencengkram atensi. Saya menantikan momen pembalasan, aku menantikan pula momen penebusan yang menjadi titik balik bagi setiap tokoh. Namun di sisi lain, ini membuat hamba lelah secara emosi. Satu dua karakter ngeselin saja sudah bikin darah mendidih, lha ini… nyaris semuanya mempunyai momen yang bikin kita ingin menenggelamkan mereka di Samudra Atlantik! Tak sedikitpun diri ini mengantisipasi akan dibentuk mara-mara sepanjang seri. Padahal beberapa waktu lalu, hamba sempat menolak untuk menonton drakor pelakor yang sedang hits itu karena seorang kawan mengungkap seberapa tinggi “level nyebelinnya”. Ternyata oh ternyata, sekarang terkena batunya. Sosok yang paling berjasa mengajak aku mengelus dada berulang kali yakni Elena yang sama sekali jauh dari kesan mulia seperti diperlihatkan di episode perdana. Sepintas lalu, huruf ini tampak serupa dengan Madeline di Big Little Lies yang ndilalah juga diperankan oleh Reese Witherspoon. Keduanya perfeksionis, ramah, serta menaruh kepedulian yang tinggi kepada anak-anaknya. Yang kemudian membedakan dua tokoh ini yakni perangai orisinil yang tersembunyi. Dibalik gambaran Elena yang manis – Madeline lebih terlihat bernafsu karena celetukan ceplas ceplosnya – ada sosok mengerikan yang menolak tinggal membisu tatkala “misinya” diinvasi. Dalam perspektif si tokoh, dunia mengelilingi dirinya sehingga Elena akan seringkali memainkan tugas sebagai jagoan/korban di setiap konflik tanpa pernah berupaya menyadari bahwa sumber permasalahannya berasal darinya. Tidak heran kan jikalau lalu ada yang berniat membunuhnya?

Di episode-episode awal, Elena dideskripsikan sebagai white savior yang berjasa menyelamatkan Mia dari himpitan finansial. Dia memberinya tempat tinggal dengan harga terjangkau, kemudian beliau memberinya penghasilan tambahan diluar pekerjaannya sebagai seniman dan pelayan paruh waktu. Dari sini sang kreator ingin melontarkan topik terkait rasisme dimana Elena sebagai wanita kulit putih yang kaya (dan penuh privilege) merasa telah bertindak mulia dengan membantu Mia yang notabene kulit hitam, meski tindakannya ini sejatinya mendefinisikan kata “rasis”. Demi menguji persepsi penonton, sosok Mia pun ditampilkan penuh misteri yang menciptakan kita melontarkan tanya, “apa yang bergotong-royong disembunyikan olehnya?,” serta dirundung kecurigaan kepada karakternya yang mau tak mau mengajak kita mempertanyakan perihal rasisme itu sendiri. Apakah kita mencurigainya semata-mata alasannya adalah seri ini menempatkannya demikian atau ada keterkaitannya dengan ras? Prasangka lantas menjadi topik pembicaraan kedua yang dikedepankan oleh Little Fires Everywhere, disusul oleh parenting dengan materi utama “menjadi ibu yang baik”. Dua topik ini mencuat menyusul hadirnya huruf penting lain dalam wujud seorang imigran gelap asal Cina, Bebe Chow (Huang Lu), yang memperuncing intrik diantara Elena dan Mia. Dua ibu dari kelas sosial ekonomi yang bertentangan. Dari masalah adopsi bayi yang melibatkan Bebe, kita menyaksikan bagaimana dua karakter tersebut memandangnya menggunakan kacamata berbeda. Walau penonton cenderung didorong untuk berpihak kepada Mia lantaran Elena yaitu kaum ber-privilege yang minim kepekaan, subplot ini menghadirkan kompleksitas tersendiri yang memosisikan dua belah pihak diluar hitam dan putih. Mereka sama-sama abu-bubuk. Terdapat satu episode khusus – yang jujur saja agak melelahkan alasannya adalah sepenuhnya kilas balik – dimana kita bisa mempelajari ihwal kala kemudian dari dua aksara kunci, dan memafhumi tindakan-tindakan mereka meski tidak lantas membenarkannya. 
   


Olahan narasinya yang asyik ini adalah satu alasan mengapa hamba bisa menuntaskan Little Fires Everywhere dalam dua hari, selain performa jajaran pemainnya yang mengagumkan. Reese Witherspoon menjelma sebagai iblis manipulatif yang akan membuatmu mengeluarkan segala sumpah serapah kepada Elena, sedangkan Kerry Washington tampil begitu depresif sekaligus simpatik hingga-hingga saya juga geram bukan kepalang di satu titik alasannya Pearl sempat menghardik Mia dan memuja-muja Elena. Dasar anak durhaka! Tenggelam saja kau sana dengan ibu pujaanmu itu di Samudra Atlantik! Kzl. Mesti diakui, Lexi Underwood mencuri perhatian sebagai cukup umur yang mencari jati diri dengan chemistry meyakinkan yang dibentuknya bersama Washington. Pemain sampaumur lain yang patut pula mendapat kredit ialah pendatang gres Megan Stott yang menunjukkan penolakan kepada Elena secara jelas-terangan. Celetukannya tak saja cerdas, tetapi juga nyelekit sehingga tak jarang aku sampai terbahak-bahak melihat caranya menghadapi perilaku sewenang-wenang sang ibu. Bersama dengan Mia, Izzy mempersembahkan momen emosional yang mengundang cucuran air mata. Dia yaitu huruf yang akan saya beri pelukan hangat secara sukarela, alih-alih aku harapkan untuk karam atau terbakar mirip aksara-huruf lain dalam miniseri ini. Percayalah, walau aku hanya menyinggung soal betapa menjengkelkannya Elena dan Pearl, masih ada persekutuan lain yang menguji kesabaran di Little Fires Everywhere yang tidak aku sarankan untuk ditonton apabila kondisi mentalmu sedang tak bersahabat.

Bisa ditonton di Prime Video   

Outstanding (4/5) 


Post a Comment for "Review : Little Fires Everywhere (Miniseries)"