Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Pet Sematary (2019)


“Sometimes dead is better.”

Dalam beberapa tahun terakhir ini, para petinggi studio raksasa di Hollywood sedang sedang getol-getolnya memberikan interpretasi baru terhadap beberapa karya legendaris Stephen King yang sebelumnya sudah pernah diadaptasi ke medium film. Ada Carrie (2013) yang tidak sedikitpun mendekati versi 1976 yang mampu dikategorikan sebagai salah satu “film horor terbaik sepanjang periode”, lalu ada dwilogi It (2017, 2019) yang bisa menghadirkan level kengerian sekaligus kesenangan diatas versi lampaunya, dan paling baru ialah Pet Sematary yang versi 1989-nya belakangan bermetamorfosis cult film dengan penggemar loyal cukup masif. Berhubung adaptasi terdahulu dari ‘teror mengerikan dari kuburan binatang’ mempunyai kualitas penggarapan yang lebih mendekati It yang cenderung semenjana ketimbang Carrie yang luar biasa (akting Sissy Spacek yang ngeri ngeri sedap terlalu sulit dilampaui!), maka seharusnya gampang saja bagi duo sutradara, Kevin Kölsch and Dennis Widmyer, untuk mengkreasi sebuah pembiasaan baru – plus remake – yang layak bagi Pet Sematary. Apalagi mereka memperoleh suntikkan dana lebih tinggi dan disokong pula oleh jajaran pemain yang memiliki jejak rekam berlakon terhitung baik. Kaprikornus, ditengok di atas kertas, apa sih yang mungkin salah dari versi termutakhir Pet Sematary ini?

Seperti halnya materi sumber, penonton pun kembali dipertemukan dengan keluarga Creed yang konfigurasinya terdiri atas Louis (Jason Clarke), Rachel (Amy Seimetz), Ellie (Jeté Laurence), Gage (dimainkan balita kembar Hugo Lavoie dan Lucas Lavoie), serta seekor kucing berjulukan Church. Keluarga kecil ini dikisahkan gres saja pindah rumah dari Boston, Massachusetts, ke sebuah kota kecil di Maine demi mengikuti Louis yang memutuskan untuk bekerja sebagai dokter di rumah sakit universitas setempat biar bisa mempunyai waktu luang lebih bersama istri beserta kedua anaknya. Mengikuti jejak film horor pada umumnya, kepindahan ini menjadi awal mula munculnya musibah bagi keluarga Creed. Setelah berkenalan dengan tetangga yang gerak-geriknya agak mencurigakan, Jud (John Lithgow), mereka menyadari bahwa ada daerah menyeramkan di belakang pekarangan rumah berupa pemakaman hewan. Tentu saja ini bukan pemakaman biasa sebab saat insan bersedia menembus jauh ke dalamnya, mereka akan menjumpai belakang layar mengerikan dibaliknya. Rahasia yang lantas diketahui oleh Louis setelah Jud membawanya memasuki pedalaman hutan demi mengubur Church yang tewas dilindas truk. Tanpa menyadari konsekuensi yang akan didapatnya, Louis mengikuti perintah Jud yang kemudian memberinya kunjungan mengejutkan keesokan harinya. Church yang telah tiada, tiba-tiba ditemukan sedang nangkring manja di kamar Ellie dengan perangai yang sangat jauh berbeda!


Mesti diakui, disandingkan dengan adaptasi terdahulu, Pet Sematary baru ini memang mempunyai sedikit kedalaman. Si pembuat film mencoba memberi kesempatan kepada penonton untuk mendengarkan pemikiran-ajaran abjad utama, termasuk pandangan mereka terhadap akhir hayat, dan ada latar belakang yang dipaparkan mengenai eksistensi kuburan hewan mengerikan tersebut. Walau kita masih belum benar-benar mampu memahami bagaimana cara kerjanya (aku rasa Stephen King pun memang berniat membiarkannya tetap misterius), tapi paling tidak kita mampu merasakan bahwa kuburan ini memiliki andil atas keapesan-keapesan yang lantas mendera para protagonis. Dilantunkan dengan atmosfer suram dimana pencahayaan seringkali temaram dan dipenuhi kabut, Pet Sematary memang tampak menjanjikan pada mulanya. Lebih-lebih, jajaran pelakonnya pun memperlihatkan upaya mengesankan dalam bermain tugas mirip Jason Clarke yang terlihat terganggu secara psikis akhir rentetan kematian tak terduga di sekitarnya, Amy Seimetz yang karakternya acapkali terlihat gelisah balasan memendam rasa bersalah dari kala kemudian, serta John Lithgow yang menawarkan ambiguitas dalam kiprahnya: apakah ia bisa dipercaya atau tidak? Yang lalu menghalangi film untuk memenuhi potensinya ialah ketidaksanggupan duo sutradara dalam melantunkan cerita secara tepat guna. Seperti halnya versi lawas, Pet Sematary ini pun mengalun lambat. Terlalu lambat malah.


Saya bahwasanya tidak antipati terhadap pergerakan dongeng yang lamban dalam film. Hanya saja, pendekatan yang ditempuh oleh Pet Sematary ini tidak menunjukkan apapun kepada penonton kecuali rasa jenuh. Selama separuh awal, penonton dicekoki eksposisi panjang lebar mengenai sejarah dibalik pemakaman hewan memakai ekspresi Jud. Ada kalanya menarik, tapi tak jarang pula melelahkan. Sebagai bentuk antisipasi supaya pemirsa tetap melek, Kölsch dan Widmyer menyiapkan strategi berupa jump scares yang justru membuat saya berharap volume bisa direndahkan alih-alih meringkuk ketakutan. Elemen kaget-kagetannya jauh dari kata efektif, menjengkelkan, dan melunturkan sisi elegan dari film. Apa kalian melihat sekumpulan bocah dengan topeng menakutkan ‘berparade’ kecil-kecilan di materi promosi? Well, adegan ini ternyata tidak memiliki impak apapun pada penceritaan selain untuk menghasilkan gambar bagus (serius, mereka nggak ngapa-ngapain!). Duh. Yang lebih disayangkan lagi, duo ini turut mengorbankan abjad bernama Victor Pascow (Obssa Ahmed) yang sejatinya memiliki donasi signifikan terhadap pergerakan narasi, hanya demi memunculkan momen “cilukba”. Entah alasannya adalah si pembuat film terlampau sibuk memikirkan cara menakut-nakuti penonton atau terlampau sibuk memikirkan “kejutan” agar film terlihat berbeda dari pendahulunya, Pet Sematary turut mengalami kendala lain yang menciptakan penerapan tempo lambat dan jump scares kosong menjadi kian mengganggu: minim kehangatan.


Walau jajaran pemain telah menyumbang lakon elok ketika bangun sendiri, mereka tak pernah benar-benar menyatu dikala dipertemukan. Penggambaran relasi antar karakternya terasa begitu acuh taacuh. Saya tidak melihat adanya ikatan yang hangat diantara personil keluarga Creed, tidak mengendus adanya kasih sayang dari Ellie kepada Church, dan tidak pula melihat adanya kepedulian dalam relasi Ellie dengan Jud. Maka begitu satu dua tragedi terjadi (yang sudah dibocorkan oleh trailer!), saya urung terlibat secara emosi. Bahkan saya pun mempertanyakan motivasi Jud dalam mengenalkan area pemakaman tersebut karena saya tidak pernah benar-benar merasa Jud menaruh afeksi terhadap keluarga Creed. Mengapa kau begitu kejam, Pak Jud? Mengapa? Saking tak sanggupnya diri ini untuk terhubung dengan mereka, saya pun tidak lagi ambil pusing dengan babak pamungkasnya yang dikemas dalam mode slasher. Alhasil, saya tidak kecewa-kecewa amat saat adegan kucing-kucingan cukup seru di titik puncak balasannya berujung tumpul alasannya ambisi duo sutradara untuk cepat-cepat membawa Pet Sematary menuju adegan terakhir yang diniatkan sebagai kejutan.

Acceptable (2,5/5)  


Post a Comment for "Review : Pet Sematary (2019)"