Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Ant-Man


“Pick on someone your own size!” 

Ketika versi layar lebar dari Guardians of the Galaxy diluncurkan tahun kemudian ke pasaran, banyak pihak memandangnya sebelah mata alasannya adalah well, mudah hanya pengikut setia komik Marvel yang benar-benar mengetahui mengenai gerombolan kriminal yang menjelma superhero ini. Tapi kemudian, puja puji kritikus dan perolehan dollar yang tinggi seketika membungkam para penyinyir. Marvel Studios menunjukan bahwa mereka dapat membangun tambang emas dari koleksi superhero mereka yang mana saja sekalipun kurang dikenal oleh khalayak luas. Kesuksesan tak terduga petualangan Star-Lord dan konco-konco ini lantas memberi keyakinan pada sesama ‘tokoh terabaikan’ Ant-Man yang dibandingkan para personil lain dalam The Avengers, popularitasnya terbilang paling rendah untuk mencicipi kejayaan serupa. Telah dipersiapkan semenjak tahun 1980-an, proyek film Ant-Man ini seakan-akan berjalan di tempat, lalu mengalami perombakan skrip dan sutradara, sampai karenanya dilepas juga sebagai bab dari fase kedua Marvel Cinematic Universe pada 2015 ini. 

Sosok dibalik kostum Ant-Man yakni Scott Lang (Paul Rudd), seorang mantan narapidana yang mencoba menebus kesalahannya kepada sang buah hati dengan meninggalkan kehidupan lamanya sebagai pencuri profesional. Memiliki catatan kriminal, tidak mudah bagi Scott untuk memperoleh sumber penghasilan dari pekerjaan halal sehingga tatkala sahabatnya selama mendekam di balik jeruji, Luis (Michael Pena), menawarinya pekerjaan membobol brankas seorang kaya, Scott tak kuasa menolak. Dengan keahliannya yang mumpuni, Scott berhasil memasuki rumah Hank Pym (Michael Douglas) tanpa kesulitan berarti... atau setidaknya itu yang ia kira. Brankas incarannya, ternyata tak berisi harta-harta bergelimangan mirip dugaannya melainkan hanya sebuah kostum abnormal berbentuk jaket pengendara motor lengkap dengan helm. Tak ingin aksinya berakhir sia-sia, Scott pun mau tak mau membawa kabur kostum tersebut. Alangkah terkejutnya Scott dikala menjajal kostum ‘Ant-Man’ tubuhnya datang-tiba menciut sampai seukuran semut! 

Saat ada seseorang menyerukan “in Marvel we trust,” rasa-rasanya itu bukan sesuatu yang berlebihan. Ant-Man adalah bukti lain bahwa Marvel Studios memang sangat mampu diandalkan dalam hal mengolah produk-produknya. Seperti halnya Guardians of the Galaxy – notabene kurang dikenal, bahkan diprediksi akan mencicipi kegagalan – Ant-Man pun tanpa disangka-sangka memperlihatkan suatu pengalaman sinematik yang sungguh mengasyikkan. Kamu tidak harus mengetahui terlebih dahulu seluk beluk sang superhero untuk mampu menikmati film alasannya Peyton Reed (Bring It On, Yes Man) akan membantumu mengenal baik Scott Lang dan alter egonya mempergunakan metode penceritaan yang begitu menyenangkan buat disimak. Ya, selayaknya jilid pembuka dari semua superhero movies, khususnya kepunyaan Marvel, maka paruh pertama dipergunakan untuk menjlentrehkan latar belakang dari si tokoh utama: siapa ia, apa pekerjaannya, bagaimana keluarganya, mengapa beliau meninggalkan kehidupan normalnya. Sedikit disisipi gelaran berkelahi, babak awal ini sepenuhnya dihidupkan oleh interaksi hangat antar tokohnya dan kekocakan lontaran dialog (maupun tingkah laku tokoh). 

Dengan sosok Scott Lang yang gampang dicintai dibawakan secara menawan penuh karisma oleh Paul Rudd, lalu ada pula putri Hank yang tangguh, Hope (Evangeline Lilly memainkannya dengan baik), Hank yang memperoleh kewibawaan serta kerapuhan dari Michael Douglas, dan paling mencuri perhatian, Luis yang dihidupkan sangat lucu oleh Michael Pena, menciptakan kita tak pernah mencicipi kebosanan terlebih plot mengikat hasil bentukan Edgar Wright dan Joe Cornish yang menjelmakan Ant-Man selayaknya ‘heist movie’ berkembang semakin menarik untuk diikuti dari menit ke menit. Perlahan tapi pasti tingkat keasyikkan mengalami eskalasi terlebih saat Hank mulai mementori Scott untuk merasakan jiwa ‘Ant-Man’ dengan bubuhan kehangatan sisi dramanya yang menawarkan korelasi antara ayah dengan anak perempuannya (baik itu Hope dan Hank, maupun Scott dan sang buah hati). Saat penonton berhasil melalui kesemua ini dengan hati riang, Peyton memberimu suguhan sabung yang dinanti-nanti di penghujung film. 

Well, levelnya memang tidak segegap gempita gugusan film Marvel Cinematic Universe lain – apalagi Avengers: Age of Ultron yang adegan klimaksnya sempat disinggung di salah satu obrolan – tapi terkemas begitu unik sekaligus tetap memiliki sensasi seru, menegangkan, dan menyenangkan mengingatkan sedikit banyak pada film kurun kecil Honey, I Shrunk the Kids. Tidak pernah terlintas sedikit pun di benak bahwa mainan Thomas & Friends akan mempunyai peranan penting dalam pertarungan puncak di sebuah film superhero... dan itu terjadi di Ant-Man. Minimnya adegan tubruk pada babak awal dibayar lunas pula memuaskan oleh Peyton Reed di 30 menit terakhir yang akan membuatmu menghela nafas berulang kali sekalipun lawan dari satria kita ini, Yellowjacket (Corey Stoll), bukanlah sosok yang kelewat tangguh untuk dikalahkan. Dan pada karenanya, Ant-Man memperlihatkan bahwa memiliki ukuran kecil bukanlah penghalang buat hadirkan petualangan mengasyikkan penuh keseruan dan humor yang akan membuat penonton betah duduk manis di kursi bioskop. Yes, Marvel did it again! 

Note : Ada dua adegan bonus yang tersimpan di pertengahan dan penghujung credit title yang menjadi penghubung penting ke fase ketiga dalam Marvel Cinematic Universe. Petunjuknya sendiri telah ditebar di pertengahan film. Falcon, anyone?

Exceeds Expectations

Post a Comment for "Review : Ant-Man"