Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Mencari Hilal


“Memang bapak paling tahu soal agama, tapi tidak tahu bagaimana cara menjadi ayah yang baik!” 

Apabila ketika diminta untuk mendeskripsikan suatu film hanya mempergunakan satu kata, maka tiada kata yang lebih sempurna dalam menggambarkan Mencari Hilal kecuali... indah. Ya, sungguh tiada disangka-sangka diri ini akan dibentuk jatuh hati sedemikian berpengaruh terhadap garapan terbaru Ismail Basbeth ini. Selama beberapa dikala tatkala lampu bioskop mulai dinyalakan, dengan credit title diiringi tembang menghanyutkan oleh Sabrang ‘Noe’ Panuluh, kedua bola mata masih sulit mengarahkan pandangan dari layar yang perlahan tapi pasti mulai menghitam. Apa yang gres saja saksikan? Kenapa datang-tiba ada bulir-bulir air menggenang di pelupuk mata yang hanya membutuhkan sepersekian detik untuk lantas membasahi pipi? Apa ini disebabkan oleh debu-bubuk bertebangan alasannya adalah para staf bioskop mulai beres-beres di dalam ruang pertunjukkan atau semata-mata aku dibentuk takjub oleh betapa bagusnya film yang gres saja ditonton bersama segelintir penonton beruntung lainnya? Apapun itu, satu hal yang terperinci, tidak mudah seketika mengekspresikan kekaguman terhadap Mencari Hilal sesaat sesudah nonton karena ya ada semacam momen yang memaksa diri untuk merenung sejenak dan menetralkan emosi yang telah dihujam sedemikian rupa sepanjang durasi. Mencari Hilal was THAT good

Ketertarikan terhadap Mencari Hilal sejatinya telah mengemuka semenjak trailer film ini diluncurkan yang dimulai dari keheranan, “hah, Ismail Basbeth menggarap film religi?.” Apabila kamu mengikuti jejak rekam karirnya di semesta film pendek Indonesia (belakangan merambah ke feature lewat Another Trip to the Moon), maka telah hafal cara bertuturnya yang menjunjung tinggi surealisme atau mudahnya, abstrak. Bukankah sungguh menarik untuk melihat perannya dalam menangani tontonan bernafaskan agama yang cenderung komersil? Tapi jika kamu lantas memang tidak mengenal sang sutradara, daya pikat mencuat dari konten film itu sendiri yang sedikit banyak mengingatkan kita kepada Le Grand Voyage aba-aba Ismaël Ferroukhi yang sungguh menakjubkan itu. Kemiripan sebatas pada premis, tentu saja, karena sekalipun gagasan pengisahan kurang lebih serupa mengenai pasangan ayah-anak dengan hubungan buruk yang dipaksa bersatu dalam suatu perjalanan untuk memenuhi kebutuhan relijiusitas sang ayah, letupan-letupan konflik diantara ayah-anak ini dan problematika yang dijumpai sepanjang perjalanan pencarian hilal pun diarahkan ke jalur yang sama sekali berbeda menyesuaikan dengan kultur sosial yang berkembang di masyarakat Indonesia. 

Perjalanan mengarungi satu desa ke desa lain, satu kecamatan ke kecamatan lain, hingga satu kabupaten ke kabupaten di Mencari Hilal dimulai tatkala Pak Mahmud (Deddy Sutomo), seorang Muslim taat yang mengabdikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah, merasa terusik dengan berita penggelontoran dana miliaran rupiah oleh Kementrian Agama hanya demi menggelar sidang isbat (penetapan hari Idulfitri). Tumbuh di lingkungan pesantren yang dulunya mengadakan kirab untuk melihat hilal – bulan sabit gres yang menandai dimulainya Ramadhan maupun Idul Fitri – Pak Mahmud tahu betul pencarian hilal tidak butuh merogoh kocek dalam-dalam. Perkara inilah yang lantas mendorong Pak Mahmud merencanakan perjalanan mencari hilal sebagai pembuktian bahwa ibadah tidak dibuat untuk memperkaya diri. Berada di usia renta dengan kesehatan telah memburuk, tentu planning Pak Mahmud ditentang keras oleh putrinya, Halida (Erythrina Baskoro), yang mengkhawatirkan kondisi sang ayah. Ndilalah, ketika Pak Mahmud ngeyel untuk tetap melakukan perjalanan ini, putranya yang telah lama hengkang dari rumah, Heli (Oka Antara), mendadak tiba guna mengurus paspor. Melihatnya sebagai kesempatan mempersatukan dua kutub berbeda, Halida lantas memaksa adiknya tersebut untuk menemani sang ayah mencari keberadaan hilal yang entah berada dimana. 

Sebatas berpatokan pada sekelumit potongan dongeng ini, mudah bagi penonton untuk membentuk dugaan bahwa Mencari Hilal adalah tontonan reliji sangat serius penuh ceramah kelewat mulut yang membuat kening berkerut atau malah menguap jenuh. Di atas kertas, jalinan pengisahan dirakit oleh Bagus Bramanti dan Salman Aristo memang mempunyai potensi bergerak ke arah sana, namun Ismail Basbeth bertindak sebagai sang eksekutor menentukan untuk melantunkannya secara sederhana, ringan, dan meminimalisir keceriwisan berdakwah. Hasilnya, diluar dugaan. Siapa bakal menyangka Mencari Hilal akan berubah menjadi sebagai sebuah gelaran hangat yang begitu mengasyikkan buat disantap sekaligus menggugah hati, pikiran, dan emosi? Siapa akan mengira Mencari Hilal bakal membuatmu tertawa begitu lepas, kemudian merenung, dan pada jadinya mencucurkan air mata tiada karuan? Meski telah menetapkan ekspektasi cukup tinggi untuk film ini, saya sejujurnya sama sekali tidak menduga akan mendapatkan perasaan semacam itu saat menyaksikan Mencari Hilal. Tanpa harus disesaki adegan dimana para tokoh utama berteriak-teriak seraya beruraian air mata dengan iringan skoring (maunya) dramatis di setiap detik dan lebih sering mengandalkan bahasa gambar maupun gestur badan – serta, obrolan secukupnya – Mencari Hilal malah jauh lebih efektif dalam mengiris-iris emosi. Kamu tidak akan pernah menyangka kapan air membahasi pelupuk mata, sebab ya, kemunculannya sulit untuk diterka.

Bermain di ranah road movie, Mencari Hilal jelas tidak menekankan pada simpulan perjalanan ziarah Pak Mahmud melainkan lebih pada perjalanannya itu sendiri – atau proses yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan. Hal inilah yang kemudian memberi film keasyikkan tersendiri karena ya, kau tidak pernah benar-benar tahu apa yang akan berlangsung selama Pak Mahmud dan Heli mengembara. Ada lika liku yang membawa perenungan mendalam dalam penceritaan yang sekilas terlihat lurus. Salah satu pola mampu disimak pada penggambaran karakteristik duo tokoh utama film ini. Di awal film, Pak Mahmud diperkenalkan sebagai sosok yang mengaplikasikan tuntunan agama di setiap lini kehidupan sehingga penonton akan memberinya label ‘alim, santun, dan lain-lain’. Sedangkan Heli yaitu antitesisnya yang boro-boro menjunjung tinggi agama, sholat saja tidak. Prinsip yang dipegang teguh oleh Heli adalah menebarkan kebaikan ke sebanyak mungkin orang. 

Melalui penggambaran ini, besar kemungkinan penonton akan berpihak pada Pak Mahmud yang terlihat saleh dan mengutuk Heli yang berpaling dari Tuhan pula durhaka pada orang bau tanah... setidaknya di menit-menit pertama. Lalu, lapisan cerita mulai tersibak yang menghadapkan kita pada kenyataan bahwa Pak Mahmud tidaklah sesuci itu dan Heli tidaklah sehina itu sehingga pertanyaan-pertanyaan pun mencuat, apakah mengabdikan diri untuk beribadah kepada Yang Maha seketika membuatmu menjadi langsung lebih baik ketimbang mereka yang barangkali lalai terhadap perintah-Nya? Lalu, bagaimana jika sang saleh ternyata berbuat dzalim kepada sesama pula memandang buruk mereka yang tidak sepaham dengannya sedangkan sang durhaka membuat kebaikan untuk sesama dengan menjadi pribadi toleran? Bukankah menjadi ironis dikala seseorang yang mengetahui seluk beluk mengenai agamanya, taat beribadah, malah lebih sering membawa keburukan ketimbang seseorang yang sebatas tahu permukaan? Dan, jika sudah demikian, apa bantu-membantu kegunaan dari agama itu sendiri? 

Pertentangan ideologi antara Pak Mahmud dari kubu konservatif (cenderung saklek) dan Heli dari kubu liberal (berdasarkan pemaknaan para ekstrimis) yang muncul silih berganti sepanjang durasi bukanlah satu-satunya yang membuat alunan penceritaan menjadi mengikat sebab dalam perjalanan ini, si pembuat film lantas menyelimutinya dengan serangkaian kritik terhadap fenomena sosial di negeri ini yang akan menciptakan kita terhenyak, “kok gini banget sih Indonesia?”. Baik Pak Mahmud maupun Heli memang menjumpai banyak hal dari pemanfaatan agama untuk permainan politik, satu keluarga berbeda dogma, pemeluk Islam yang mencampurkan unsur kejawen ke praktik keagamaan, hingga ormas keagamaan yang semena-mena membubarkan ibadah pemeluk agama lain di suatu kampung yang memunculkan obrolan menggetarkan, “jika kita tidak mampu beribadah di rumah sendiri, kemudian dimana kita beribadah?”. 

Bukankah ini sangat Indonesia? Maksudnya, tak susah menjumpai masalah semacam ini di sekitar begitu pula sosok mirip Pak Mahmud yang katanya beragama tapi gemar menghakimi orang lain dan Heli yang malas beribadah tapi toleransinya tinggi. Ismail Basbeth pun tak lantas menyalah-nyalahkan satu pihak atau mendukung pihak lain alasannya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang pada jadinya beliau beserta tim peracik skenario mencoba menunjukkan solusi: tabrak otot hanya memperkeruh masalah, duduk bersama dengan kepala dingin ialah balasan. 

Walau mayoritas abjad dalam film diceritakan Muslim, rilis bertepatan dengan momen hari kemenangan, dan garis besar penceritaan berkisar pada perjalanan ziarah, akan tetapi Mencari Hilal bukanlah film religi yang mengesklusifkan diri. Seperti halnya Le Grand Voyage atau PK (Peekay, menyoal penggunaan agama sebagai komoditas), Mencari Hilal mempunyai cita rasa universal yang tidak mengotak-kotakkan penontonnya menurut suku, agama, ras, bahkan asal negara. Kamu tidak perlu menjadi seorang Muslim atau menjadi seorang Jawa untuk mampu terhanyut ke dalam guliran pengisahannya sebab, well... bukankah problematika semacam ini dapat kau jumpai dimanapun tak peduli apa agama dan sukumu? Mengedepankan dilema yang akrab dengan keseharian inilah yang menimbulkan Mencari Hilal terasa begitu konkret, menggugah, menyentil sekaligus penting. Menyadari potensi menciptakan kepala penonton pening – atau lebih jauh, memicu kontroversi – pembuat film menyampaikannya secara santai penuh kejenakaan yang akan membuatmu tanpa sadar tertawa lepas. Trik ini telah dipergunakan sejak menit-menit pembuka, dengan highlight berada di adegan paguyuban pedagang pasar yang menyambangi rumah Pak Mahmud. Lucu sekali! 

Mencari Hilal merupakan hasil perpaduan tepat antara kebernasan naskah racikan duo Bagus-Salman, penyutradaraan cakap Ismail, lantunan tembang menghanyutkan Sabrang, iringan musik syahdu Charlie Meliala, penataan gambar kelas wahid Satria Kurnianto (tak terhitung jumlahnya bingkaian gambar luar biasa anggun yang membuat diri ini terpana khususnya adegan berpisah bus), serta paling utama, permainan dahsyat jajaran pemainnya terlebih chemistry menyengat antara Deddy Sutomo dan Oka Antara. Keduanya memperlihatkan performa yang sangat cemerlang. Dari semula tampak membenci satu sama lain, perlahan tapi pasti kita menyadari bahwa bagaimanapun keduanya tetaplah ayah-anak yang mendamba kembalinya rasa kasih sayang yang telah menghilang usang. Dengan Pak Mahmud menganut hablum minallah (korelasi insan dan Tuhan) sementara Heli berpegangan pada hablum minannas (hubungan sesama manusia) keduanya tetap membutuhkan satu sama lain untuk mencapai keseimbangan. Seperti halnya relasi ayah-anak kebanyakan, pengungkapan cinta maupun penunjukkan kepedulian tidak diungkapkan secara verbal melainkan sebatas pada perubahan gestur badan dan mimik muka. 

Perhatikan adegan di dalam bis dan menit-menit menjelang tutup layar, Deddy Sutomo sungguh juara yang memberi kita perasaan bercampur aduk antara sebal dan iba sampai (lagi-lagi, damn!) tanpa disadari sapu tangan pun basah. Kontribusi cemerlang dari masing-masing departemen yang dipersatukan menjadi bahasa gambar utuh oleh Wawan I Wibowo inilah yang membawa aku kepada perasaan cenderung hiperbolis di paragraf pembuka. Sungguh, Mencari Hilal yaitu sebuah tontonan indah, jujur nan bersahaja yang membuat saya ingin memberi pelukan hangat kepada ayah, serta berulang kali tertawa, tersentuh, maupun tertohok sepanjang film untuk lalu merenunginya dan melahirkan pertanyaan, “apakah selama ini saya telah menjadi seorang Muslim yang baik? Atau jangan-jangan sekadar memanfaatkan agama semoga mempunyai identitas sebagai bentuk keberadaan diri?.” Salah satu film Indonesia terbaik tahun ini, bahkan beberapa tahun terakhir. Definitely an instant classic.

Outstanding



Post a Comment for "Review : Mencari Hilal"