Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Eurovision Song Contest: The Story Of Fire Saga


“We have to prove to Iceland, and my extremely handsome father, that my life hasn’t been a waste.”

Sebagai seseorang yang menggemari Eurovision Song Contest (ESC), saya terang girang tatkala mengetahui “olimpiade untuk musik pop” ini akan diterjemahkan ke dalam satu film panjang. Semangatnya, gegap gempitanya, serta keunikannya adalah sederet faktor yang melatari mengapa ajang kompetisi menyanyi tahunan untuk daerah Eropa ini mampu memikat hati jutaan pasang mata. Memang betul kala keemasannya sudah lewat – dulu, ABBA dan Celine Dion mulai dikenal luas dari sini – dan belakangan lebih seperti acara parodi musik yang konyol sekaligus kental dengan muatan politis yang melelahkan. Tapi ketika masih menawarkan kesenangan melalui agresi panggung yang kreatif, barisan tembang yang gampang nyantol di telinga, maupun antusiasme penonton, tentu tidak ada alasan bagi hamba untuk meninggalkannya begitu saja. Toh, saya masih dibuat terhibur olehnya. Will Ferrell yang mengaku mengikuti ESC berkat sang istri, mencoba untuk menangkap jiwa bersenang-senang dari kontes ini dalam wujud hidangan komedi bertajuk Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga yang dingklik penyutradaraannya diserahkan kepada David Dobkin (Wedding Crashers, The Judge). Guliran narasinya menerapkan formula klasik “from zero to jagoan” dimana kita diajak mengikuti sepak terjang dari satu grup band pecundang asal Islandia yang berharap akan memperoleh legalisasi dari orang-orang yang dikasihi dengan memenangkan ESC.  

Band berjulukan Fire Saga tersebut terdiri dari dua personil, Lars (Will Ferrell) dan Sigrit (Rachel McAdams). Impian untuk memenangkan ESC tercetus usai Lars menyaksikan penampilan ABBA saat membawakan “Waterloo” di helatan tahun 1974 dimana mereka keluar sebagai pemenang. Lars yang selama hidupnya kerap ditertawakan oleh orang-orang di sekitarnya dan kerap disepelekan oleh sang ayah, Erick (Pierce Brosnan), berharap mampu merubah hidupnya melalui ESC. Mengingat kualitas Fire Saga yang seadanya – bila tidak mau disebut jelek – impian protagonis kita ini sejatinya tampak mengada-ada. Tapi di dikala segalanya terlihat tidak mungkin, sebuah kabar mengejutkan menghampiri grup musik ini: mereka lolos kualifikasi untuk berkompetisi di tingkat nasional. Itu artinya, kesempatan mewakili Islandia di ESC semakin terpampang konkret. Dilingkupi optimisme yang membuncah, sayangnya mimpi keduanya harus kandas tatkala penampilan mereka berakhir kacau balau dan jagoan utama, Katiana (Demi Lovato), melenggang mulus ke kompetisi inti. Fire Saga terang terpuruk hingga kemudian peristiwa asing yang sebaiknya tidak saya beberkan demi kejutan, memutarbalikkan keadaan. Lars dan Sigrit mendadak dikirim sebagai perwakilan Islandia untuk ESC 2020 yang berlangsung di Skotlandia. Keberangkatan mereka ke ajang ini yang semula dinilai akan menjadi solusi segala permasalahan, ternyata tidak serta merta menunjukkan kebahagiaan bagi keduanya. Hubungan Lars dan Sigrit justru mengalami ujian yang bantu-membantu di sini.


Seperti halnya program yang menjadi sumber inspirasinya, Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga pun hanya ingin mengajak kita bersenang-bahagia. Ada dua komponen yang menjadi tumpuannya; humor dan lagu. Humor yang dilontarkan tidak jauh-jauh dari teritori kekuasaan Will Ferrell dimana karakter yang dimainkannya sering berlaku kekanakkan. Beranjak dari sana, kita lantas mendapati rentetan guyonan mengenai sepak terjang Fire Saga yang seringkali apes, kepercayaan masyarakat Islandia terhadap peri, relasi sedarah, hingga sabotase dari pemerintah. Tidak semuanya tepat mengenai target, bahkan saya cukup sering manyun mendengar candaan garing yang mengemuka disana sini. Tapi ketika guyonannya ini berhasil, gelak tawa yang dipantiknya bisa berderai-derai. Sungguh, saya hingga kesulitan mengontrol tawa dalam adegan “roda hamster” yang percaya tidak percaya memang pernah ada dalam helatan ESC meski tak berakhir naas. Keberhasilan humornya sebagian besar terbantu oleh penampilan gilang gemilang dari jajaran pemainnya terutama Rachel McAdams yang mempunyai comic timing jempolan, dan Dan Stevens yang mengenyahkan citra perjaka cool dengan bermain secara over the top (baca: lebay) sebagai kontestan tukang rayu asal Rusia bernama Alexander Lemtov. Berbeda dengan Ferrell yang cukup kesulitan dalam menampilkan Lars sebagai aksara yang gampang disukai karena ambisinya terkadang melewati kewajaran, baik McAdams maupun Stevens mampu tampil simpatik hingga-hingga hamba lebih merestui Sigrit menjalin hubungan dengan Alexander ketimbang Lars yang tak bisa melihat adanya cinta ikhlas dalam diri sang sobat.

Disamping performa para pelakon, Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga turut berenergi berkat jajaran lagunya yang sungguh catchy. Jika ada satu hal yang ditangkap secara sempurna oleh film ini mengenai ESC, maka itu adalah lagunya. Liriknya cheesy cenderung nyeleneh, tapi punya kekuatan untuk membuatmu ikutan bersenandung, bergoyang maupun menghentak-hentakkan kaki. Tembang mirip “Volcano Man”, “Double Trouble”, "Husavik", dan “Lion of Love” memang tipikal lagu yang akan kau jumpai di helatan ESC. Saya kagum dengan betapa akuratnya David Dobkin dalam menangkap momen-momen musikal termasuk penataan atraksi panggung yang serba heboh, dan aku juga gembira menyaksikan beberapa kontestan orisinil ESC ikut tampil sebagai cameo dalam salah satu adegan musikal terbaik dalam film. Melihat betapa keras upaya Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga untuk menangkap kompetisi musik fenomenal tersebut seotentik mungkin, maka saya terperinci keheranan dikala film luput memperhatikan beberapa detil yang mengganggu kenyamanan menonton. Bagi non penggemar, detil ini berkenaan dengan hukum main ESC yang memang kurang terjabarkan seolah-olah menganggap seluruh penonton memahaminya. Sedangkan bagi penggemar, detil ini berkenaan dengan satu dua penggambaran yang errr… mengarang bebas. Pengumuman hasil perolehan suara di babak semifinal semestinya tidaklah lengkap (total poin hanya dibeberkan ketika akhir) dan Spanyol semestinya tidak berkompetisi di babak ini lantaran sebagai bab dari Big 5 – bersama dengan Inggris, Italia, Jerman, dan Prancis – mereka secara otomatis lolos ke selesai. Candaan soal “Inggris selalu mampu 0 poin” juga menjadi kontradiktif dengan narasi alasannya adalah film ini menampilkan Inggris sebagai tuan rumah yang berarti, mereka memenangkan kompetisi di tahun sebelumnya. Seolah belum cukup janggal, film ini turut menampilkan dua pembawa acara ESC 2020 yang kentara bukan berasal dari negara penyelenggara. Beginilah jikalau Hollywood bikin film soal acara yang tak dikenalnya dengan baik. Duh.

Pun demikian, terlepas dari beberapa hal yang ramashok, Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga tetap menunjukkan sajian komedi ringan yang menyenangkan. Apalagi jika kau menggemari ESC atau tontonan riang gembira semacam dwilogi Mamma Mia. Masih ada tawa, masih ada lagu catchy, dan masih ada setitik kehangatan. Untuk itu, Indonesia memperlihatkan 6 poin untuk film ini!

Acceptable (3/5)
  

Post a Comment for "Review : Eurovision Song Contest: The Story Of Fire Saga"