Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : 7500 (2020)


“European 162, what’s your emergency?”

“We have a seven-five-zero-zero.”

Bagi masyarakat awam, 7500 mungkin hanyalah angka dan tidak tampak signifikan. Tapi bagi kru pesawat, ini adalah isyarat empat digit (squawk) yang bersinonim akrab dengan kata “mimpi jelek”. Saat pilot mengirimkannya kepada petugas kontrol kemudian lintas udara, itu artinya ada marabahaya yang sedang mengintai di ketinggian puluhan ribu kaki. Marabahaya tersebut bukan bersifat kerusakan teknis dalam tubuh pesawat, melainkan bersumber dari penumpang yang memiliki intensi untuk mengambil alih moda transportasi udara ini. Atau dengan kata lain, pembajakan. Sutradara asal Jerman, Patrick Vollrath, yang sebelumnya menggarap film pendek peraih nominasi Oscar, Everything Will Be Okay (2015), mencoba untuk meminjam isyarat squawk ini guna dikembangkan sebagai narasi dari film panjang perdananya. Mengusung judul yang amat lugas, 7500, Vollrath menghadirkan sebuah drama pembajakan pesawat dengan pendekatan cukup berani dimana latar penceritaan serba terbatas. Sebagian besar berlangsung secara real time dan sebagian besar bertempat di ruang kokpit yang sempit. Meski ada sejumlah huruf pendukung dikerahkan, pada dasarnya 7500 yaitu one-man-show bagi Joseph Gordon-Levitt yang memegang kendali penuh terhadap pergerakan cerita di sepanjang durasi. Kemampuan berlakonnya menjadi salah satu penentu krusial, apakah film akan terbang secara mulus hingga pendaratan atau berulang kali mengalami turbulensi yang mengganggu kenikmatan dalam menonton.

Dalam 7500, Joseph Gordon-Levitt berperan sebagai Tobias Ellis, seorang pilot asal Amerika Serikat, yang sedang bertugas sebagai kopilot dalam penerbangan malam dari Berlin menuju Paris. Tobias mempunyai seorang putra dari hubungannya dengan sang kekasih, Gokce (Aylin Tezel), yang berada dalam penerbangan sama sebagai pramugari. Selama beberapa dikala di permulaan film, penonton mendengar pembicaraan keduanya mengenai menentukan sekolah untuk putra mereka. Kita juga diperdengarkan dengan candaan antara kapten pilot, Michael Lutzmannn (Carlo Kitzlinger), dengan Tobias dan petugas bagasi sebelum pesawat lepas landas. Semuanya terlihat baik-baik saja bagi mereka, kecuali menghilangnya dua penumpang yang membuat kapten jengkel lantaran acara keberangkatan terancam ditunda. Tapi sebagai penonton, kita sudah mengetahui bahwa penerbangan ini akan berujung tragedi berkat penggunaan judul dan footage dari CCTV di menit-menit pembuka yang memberikan gerak-gerik mencurigakan beberapa abjad. Benar saja, era pesawat telah mengudara dan tanda sabuk pengaman telah dimatikan, tiga penumpang mendadak nyerobot ke ruang kokpit. Hanya satu diantara mereka yang berhasil masuk, sementara dua lainnya berhasil dicegah oleh Tobias. Satu penumpang yang berusaha untuk menjajah kokpit ini melukai Tobias beserta Michael sebelum balasannya dilumpuhkan. Keadaan lantas menjadi semakin genting ketika dua penumpang yang gagal memasuki kokpit mengeluarkan bahaya. Mereka akan membunuh satu persatu penumpang lain, termasuk pramugari, apabila tidak diizinkan memasuki kokpit.


Sedari dihamparkannya footage dari CCTV yang mengawali dongeng – sekaligus menjadi satu-satunya adegan yang bertempat di luar kokpit – 7500 sejatinya telah mencengkram perhatian. Kita tahu sesuatu yang salah akan segera terjadi, kita pun tahu siapa-siapa saja yang akan terlibat di dalamnya sampai belasan menit pertama. Yang menjadi pertanyaan pada titik ini hanyalah, kapan pembajakan secara resmi dimulai? Ternyata, Vollrath tidak berlama-usang dalam mengajak penonton berkenalan dengan Tobias alasannya adalah sempurna selepas lepas landas, intensitas seketika meruncing. Tiga karakter diperlihatkan mendobrak masuk ruang kokpit yang baru saja dibuka, lalu pergumulan pun tak terelakkan. Pada titik ini, film menawarkan momen terbaiknya yang akan membuatmu menahan nafas sekaligus membentuk akidah bahwa 7500 bakal menghadirkan hentakan seperti dibutuhkan. Terlebih lagi, Joseph Gordon-Levitt memang mampu diandalkan untuk menggerakkan film. Performanya gemilang sebagai everyman yang terjebak dalam situasi genting yang tidak biasa sehingga mudah bagi penonton untuk bersimpati kepadanya. Kita melihatnya ketakutan, kebingungan, serta putus asa dengan keadaan yang melingkunginya. Tanggung jawab yang diembannya juga tidak main-main, beliau harus melindungi pesawat seraya mengantarkan 85 penumpang sampai tujuan dengan selamat. Ini terang pelik alasannya adalah Tobias hanya bisa membantu para penumpang dari bilik kokpit lantaran ada perintah yang harus dipenuhinya: apapun yang terjadi, dihentikan membuka pintu ruang kokpit.     

Selama sisa durasi, kita ditempatkan di dalam kokpit bersama Tobias yang berupaya sebisa mungkin untuk mendaratkan pesawat di bandara terdekat. Untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di kabin, berita semata-mata diperoleh melalui televisi kecil di atas pintu. Penonton diposisikan selaiknya Tobias, alih-alih serba tahu melebihi si huruf utama. Tujuannya, supaya kita mampu merasakan ketidakberdayaan Tobias dalam melawan para teroris yang sedikit demi sedikit mulai mengincar Gokce. Mesti diakui, ini tergolong efektif. Ditambah lagi, Vollrath mencoba bersikap realistis dengan mengalunkan narasi menggunakan pendekatan real time dan sebisa mungkin menghindari penggunaan musik pengiring yang justru menebalkan intensitasnya itu sendiri. Saya seolah-olah memang sedang berada di dalam kokpit bersama Tobias, bagaikan pilot tak berguna yang selama satu jam pertama cuma melihat Bung Gordon-Levitt berjibaku seraya mencengkram erat-dekat kursi dan menahan nafas. Phew. Hanya saja, ketegangan yang terjaga dengan baik di paruh awal 7500 ini sayangnya berangsur-angsur mengendur era motif klise nan melelahkan dari para teroris akibatnya tersibak, lalu Vedat (Omid Memar) selaku anggota termuda memasuki arena penceritaan utama. Upaya Vollrath yang juga menggarap skenarionya ini untuk menawarkan hati ke dalam narasi nyatanya mengubah nada pengisahan menjadi kelewat sentimentil yang menggugurkan intensitas. Interaksi yang terbangun diantara Tobias dengan Vedat pun tak pernah benar-benar terasa tulus dan lebih terasa mirip pengulur waktu belaka demi memenuhi kuota durasi. Agar si pembuat film mempunyai kesempatan untuk “mengklarifikasi” motif teroris. Pendaratan 7500 yang cukup bernafsu ini terang hamba sayangkan alasannya adalah mereka sejatinya telah memberikan pelayanan memuaskan selama mengudara.

Bisa ditonton di Prime Video

Exceeds Expectations (3,5/5)  


Post a Comment for "Review : 7500 (2020)"