Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Juror 8


“Law doesn’t exist to punish people. To avoid punishing people unjustly and to set a standard, that’s the law.”

Pada tahun 2008, pengadilan di Korea Selatan menciptakan sejarah gres dengan memperkenalkan sistem juri. Dalam sistem ini, sembilan masyarakat sipil dari beragam latar belakang yang terpilih akan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan terkait kasus pidana, meski suara mereka tidak bersifat mutlak. Penentuan tetap berada di tangan hakim dan juri lebih diposisikan sebagai penasehat. Kasus perdana di Negeri Ginseng yang melibatkan juri ialah perampokan terhadap seorang lansia berusia 70 tahun. Si terdakwa tidak saja menyantroni rumah korban lalu mengambil sejumlah barang berharga, tetapi juga menyerang dan melukai korban. Saat diboyong ke pengadilan, terdakwa bersedia mengakui perbuatannya yang dilandasi motif untuk membayar hutang kepada debt collector. Alhasil, baik juri maupun hakim sama-sama sepakat, terdakwa dinyatakan bersalah. Oleh sutradara pendatang baru, Hong Seung-wan, perkara ini lantas menginspirasinya untuk menggarap film berlatar ruang pengadilan berjudul Juror 8 yang mencoba merekonstruksi ulang insiden bersejarah tersebut dengan sederet pelintiran bersifat fiktif. Disamping kejadian yang memang nyata adanya sehingga film masih mampu membubuhkan aksesori “based on true events”, narasi dan aksara-abjad yang terlibat di dalamnya murni produk pedoman dari Hong Seung-wan yang juga mendesain skenarionya. Hal ini memungkinkan baginya untuk mendramatisir kejadian demi membuat momen-momen emosional yang mungkin tidak pernah ada dalam masalah bahwasanya.

Dalam versi Juror 8, masalah pertama yang melibatkan juri di pengadilan ialah pembunuhan. Hubungan terdakwa dengan korban tidak lagi acak, melainkan anak dan ibu. Kang Doo-sik (Seo Hyun-woo) yang cacat dan kondisi keuangannya sedang bermasalah, dituduh membunuh ibunya yang sudah sepuh demi mendapatkan uang kesejahteraan sosial. Pada mulanya, persidangan yang menerima sorotan jago dari media ini tampak bakal berlangsung mudah. Terdakwa telah mengakui perbuatannya, ada pernyataan besar lengan berkuasa dari saksi mata, dan beberapa juri pun meyakini bahwa Kang Doo-sik memang bersalah. Tapi saat para juri melakukan pemungutan bunyi, Kwon Nam-woo (Park Hyung-sik) atau juri nomor delapan mengalami keragu-raguan. Dia menentukan untuk memberi suara “tidak bersalah” sehingga para juri gagal mencapai mufakat, lalu membuka ruang bagi terciptanya diskusi lebih lanjut. Keengganan si protagonis utama untuk satu bunyi ini memantik konflik dengan anggota juri lain yang ingin segera terbebas dari tugas serta sang hakim, Kim Joon-kyeom (Moon So-ri), yang tadinya memandang sebelah mata kapabilitas Kwon Nam-woo. Keragu-raguan Kwon Nam-woo sendiri muncul selepas dirinya tanpa sengaja bertemu dengan terdakwa yang lalu mengusik hati nuraninya untuk bertanya, mungkinkah laki-laki yang terlihat polos ini bertindak keji? Terlebih lagi, ia mendeteksi adanya sejumlah keganjilan dari legalisasi saksi maupun barang bukti yang membuatnya semakin kekeuh bahwa terdakwa tidak mungkin menghabisi nyawa ibunya sendiri.  



Pada dasarnya, Juror 8 yakni interpretasi sineas Korea Selatan untuk 12 Angry Men (1957) rekaan Sidney Lumet. Sosok Kwon Nam-woo yang menjadi “public enemy” alasannya kengototannya dalam membela terdakwa, tak ubahnya karakter yang dimainkan oleh Henry Fonda. Bahkan, keduanya sama-sama juri nomor delapan. Tapi di saat film klasik tersebut sepenuhnya berkutat di ruang juri dan mengetengahkan pada perdebatan panas antar karakternya guna mencapai kata mufakat, Hong Seung-wan memberi kesempatan bagi penonton untuk melongok ke luar ruangan. Tujuannya, guna menghadirkan gambaran mengenai cara kerja dari sistem peradilan baru yang boleh jadi masih dirasa aneh bagi sebagian pemirsa, seraya membangun fondasi bercerita (dan tentunya, membuat pembeda dengan sumber inspirasinya). Kita berkenalan dengan satu dua huruf inti, kita menyaksikan proses penyeleksian juri, dan kita turut diajak untuk melihat tempat kejadian perkara. Usai penonton mendapatkan bekal isu yang mencukupi, barulah si pembuat film memboyong kita memasuki dua ruangan yang memegang peranan krusial: ruang sidang dan ruang juri. Dari sinilah secara perlahan tapi pasti Juror 8 mulai membetot atensi terutama selepas Kwon Nam-woo mengemukakan argumentasinya dan beberapa juri tampak keberatan dengan usahanya untuk membedah masalah secara mendalam. Berhubung sedari awal film telah mengondisikan aksara ini sebagai tokoh yang simpatik, dan Park Hyung-sik sanggup pula memancarkan karisma “cowok pekerja keras yang gampang disukai”, maka tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali memercayai keputusannya. Toh, dia punya alasan masuk nalar di baliknya.

Alasan masuk logika tersebut bukan sebab dia telah bertemu terdakwa, melainkan lebih kepada kemanusiaan. Saat kamu diberi amanat untuk memilih hidup mati seseorang, akankah kau mengambil keputusan tersebut secara cepat tanpa ada keraguan sedikitpun? Akankah kamu menelan mentah-mentah argumentasi dari jaksa penuntut tanpa ada upaya untuk meninjaunya ulang? Akankah kau membiarkan pandangan biasmu mengaburkan objektivitas? Inilah yang mengusik hati Kwon Nam-woo yang sekaligus menjadi landasan bagi Juror 8 untuk melontarkan kritik sosialnya. Tentang prasangka, egoisme, serta ketiadaan empati yang menggerogoti insan-manusia modern, selain tentang seksisme dan bobroknya aturan di Korea Selatan. Beberapa juri tampak memandang sepele tugas yang diembannya, seakan-akan persoalan pribadinya lebih mendesak ketimbang nasib terdakwa yang sedang di ujung tanduk. Pengarahan yang cakap dari Hong Seung-wan dan donasi akting yang memuaskan dari jajaran pemain – setiap anggota juri memiliki momennya, begitu pula dengan Moon So-ri sebagai hakim yang hambar – memudahkan bagi penonton untuk menginvestasikan emosinya ke dalam film. Dari awalnya semata-mata dicengkram oleh kasus si terdakwa yang mana memang mengundang keingintahuan, seiring berjalannya durasi hamba juga bisa merasakan adanya amarah, kekecewaan, dan kepedihan yang menggeliat. Tak jarang, ingin rasanya diri ini menjewer indera pendengaran huruf tertentu yang begitu bersemangat dalam memprovokasi. Mbok yo meneng ae, mas-mas. Lambemu kuwi lho, njaluk disuwir.

Ya, Juror 8 memang terampil dalam mengajukan momen-momen dramatik yang bikin gregetan. Dan yang cukup mengejutkan, film ini pun mempunyai kandungan humor yang pekat. Malah bahwasanya, nada pengisahan yang diterapkan oleh si pembuat film terbilang ceria sedari mula sekalipun materi pembicarannya kompleks. Sumber tawanya berasal dari tingkah polah para juri yang kesemuanya sama sekali awam dengan situasi yang mereka hadapi. Cara mereka bersikap di ruang pengadilan, atau cara mereka berinteraksi di ruang juri bukan saja membuat saya tergelak, tetapi juga memberi sedikit banyak pemahaman mengenai karakteristik dari setiap tokoh yang sayangnya tidak semuanya tergali mendalam lantaran si pembuat film memberikan fokus lebih kepada juri nomor delapan, hakim, serta terdakwa. Pendekatan yang ditempuh oleh Juror 8 ini memang beresiko – dan boleh jadi mengusik penonton yang mendamba intensitas tinggi tak berkesudahan selaiknya 12 Angry Men – meski mesti diakui bahwa unsur hiburannya tetaplah kuat. Bagi aku, itu sudah lebih dari cukup.

*Bisa ditonton di Viu*

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Juror 8"