Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Love You... Love You Not...


“Gue bila pergi, lo bakalan kangen nggak sama gue?” 

Seperti halnya menerjemahkan goresan pena terkenal ke dalam bahasa gambar, membuat ulang sebuah film yang telah terbukti sukses merupakan proyek teramat beresiko serta penuh tantangan terlebih lagi bila materi asli masih segar di benak publik. Pro dan kontra akan senantiasa mengiringi sejak awal proses pembuatan dengan para penggemar berat kebanyakan memberi perhatian lebih terhadap “kesetiaan terhadap materi sumber” maupun “kecocokan pemilihan pemain”. Keluaran terbaru dari MVP Pictures, Love You... Love You Not yang disesuaikan dari film Thailand banjir penonton, I Fine... Thank You Love You, pun memancing keramaian di kalangan netizen jauh sebelumnya dilempar ke pasaran. Tudingan menggandakan dan plagiat (meski pihak produsen telah menegaskan berulang kali bahwa film ini telah membeli lisensi secara resmi. Duh!) sulit terhindarkan apalagi trailer Love You... Love You Not mengindikasikan pula film akan plek-plekan sama dengan versi Thailand. Makara, pertanyaan pertama terbersit di benak publik yakni “apa yang lantas membuat Love You... Love You Not berasa istimewa jika well, si pembuat film hanya sekadar melakukan reka ulang?” 

Setelah lulus tes wawancara kerja yang membawanya pergi ke negeri Paman Sam, seorang perempuan Jepang berjulukan Suchin (RR Melati Pinaring) meminta guru les Bahasa Inggrisnya, Amira (Chelsea Islan), untuk membantunya memutuskan sang kekasih lantaran terkendala bahasa. Diiming-imingi tas mahal, Amira tak kuasa menolak permohonan Suchin. Dia menemui kekasih Suchin, Juki (Hamish Daud), pria Betawi bertampang bule yang disebabkan satu dan lain hal mengalami kesulitan bercakap-cakap menggunakan Bahasa Inggris. Sepintas, menyampaikan pesan memang terdengar mirip kasus sepele sampai Amira melihat wujud orisinil Juki yang ternyata liar. Juki yang tidak mampu menerima kenyataan malah justru memaksa Amira untuk memberinya kursus Bahasa Inggris privat semoga mampu menyusul Suchin ke Amerika Serikat. Awalnya Amira luar biasa gemas mengajari Juki yang bermasalah dengan konsentrasi, tapi intensitas pertemuan keduanya yang terbilang sering tanpa disadari memercikkan benih-benih cinta diantara mereka. 

Di menit-menit awal, kekhawatiran Love You... Love You Not akan sekadar mengambil cetak biru versi Thailand sempat mengemuka dengan bermunculannya adegan-adegan komikal yang mampu dibilang serupa. Salah satunya adalah adegan pembunuhan cicak yang well, sejatinya memang tidak lucu dari sononya dengan kali ini diperagakan oleh Kemal Palevi (sebagai Yosef, sobat Juki). Kelucuan yang gagal terpantik disini sialnya berlanjut pula ke sederet lelucon-banyolan hasil adaptasi berikutnya yang perlahan tapi pasti memupuskan optimisme bahwa film ini akan bermetamorfosis sebagai remake yang baik. Tapi mirip halnya I Fine... Thank You Love You yang pergerakan grafik komediknya juga tidak pernah benar-benar stabil (kadang lucu, kadang garing) khususnya di muka, Love You... Love You Not pun demikian yang sekaligus mendefinisikan ‘film yang lambat memanas’. Begitu kita mulai mengenal cukup baik Juki maupun Amira, guyonan yang tadinya lebih sering miss ketimbang hit mulai menemukan ritmenya. Keheningan mulai menjauh, gelak-gelak tawa mulai terdengar. Menariknya, pemantik kelucuan di film kode Sridhar Jetty ini kerapkali justru bukan berasal dari banyolan yang disusun oleh sineas Thailand melainkan dagelan lokal hasil kreasi sang penulis skrip, Mira Santika, seperti ranumnya mangga Indramayu, ditilang polisi, atau teror penawaran-penawaran via telepon. 

Melokalkan dagelan terbukti lebih efektif dalam memancing tawa daripada semata-mata mengadopsi dari versi aslinya mengingat selera humor yang pastinya berbeda. Dan, guyonan lokal inilah yang membuat Love You... Love You Not berasa istimewa meski hanya ditakar sedikit. Ketimbang lelucon, saya malah berharap Love You... Love You Not lebih banyak menjumput momen-momen romantis yang sejatinya malah kekuatan utama dari I Fine... Thank You Love You mirip adegan usir-usir nyamuk, zebra cross, maupun pertemuan kembali di ending. Ah, sayang sekali. Yang juga disayangkan, penyuntingan adegan film ini terbilang awut-awutan. Memasuki paruh selesai, perpindahan antar adegan yang sering kurang smooth kian menjadi-jadi seakan-akan tenggat waktu yang diberikan kepada editor sangat terbatas. Dampaknya, permainan emosi yang seharusnya memuncak malah justru terombang ambing. Beruntung film ini masih memiliki Hamish Daud yang cukup menunjukkan nyawa pada huruf Juki dan Chelsea Islan yang belum pernah terlihat secantik ini sebelumnya sehingga kekacauan teknis masih sedikit dapat termaafkan. Andai saja Love You... Love You Not ini digarap dengan persiapan lebih matang, alhasil bisa saja jauh lebih baik dari ini. Toh dengan segala kekurangan yang ada, saya masih bisa tertawa lepas berulang kali selama menonton Love You... Love You Not.

Acceptable

Post a Comment for "Review : Love You... Love You Not..."