Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Yasmine


“Air dalam cawan akan menjadi cawan. Air dalam gelas akan menjadi gelas. Air dalam tangan, akan menjadi tangan. Jadilah seperti air.” 

Bagi sebagian orang, Yasmine boleh jadi tidak mempunyai daya tarik maksimal. Pertama, premis yang dikedepankan berkenaan ‘from zero to hero’ sudah terlampau kuno, berulang kali mengalami bongkar pasang di bermacam-macam film. Kedua, ini film asli buatan Brunei Darussalam (ingat, bukan Malaysia!) yang tentunya masih aneh bagi selera penonton sini terlebih Yasmine adalah percobaan pertama dari rumah produksi Origin Films dalam setengah kurun terakhir untuk membangunkan perfilman Brunei yang telah terlalu usang terlelap. Ketiga, desain poster di peredaran khusus Indonesia... errr, tak menggugah selera. Jika ada magnet utama yang tersisa, maka itu terletak pada masifnya derma sejumlah pekerja film asal Indonesia terhadap proses pembuatan film ini dimulai di posisi pemain film pendukung, penulisan skrip, editing, tata musik, hingga pengisian soundtrack. Sepintas tidak terlalu menggiurkan, memang, tapi jika Anda berani-berani meremehkan kemampuan Yasmine, maka bersiaplah untuk ditonjok keras-keras olehnya. 

Diilhami dari sebuah puisi pendek, Yasmine bertutur wacana seorang gadis sampaumur bernama Yasmine (Liyana Yus) yang cenderung tomboy, enerjik, dan susah diatur. Kehidupan yang dijalaninya tampak baik-baik saja hingga sang ayah, Fahri (Reza Rahadian), membawa kabar yang memupuskan mimpi remajanya yang indah. Tidak ingin menghabiskan waktunya berlarut-larut dalam kesedihan, Yasmine beserta kedua sahabat barunya, Ali (Roy Sungkono) dan Nadia (Nadiah Wahid), mencoba bergabung dengan klub pencak silat di sekolah. Tujuan utama yang ingin dicapai jelas, mengikuti kejuaraan silat tingkat nasional. Bukan kasus gampang bagi ketiganya untuk menggapai kejayaan. Selain kesusahan mencari instruktur yang mampu diandalkan, Fahri yang mengetahui aktivitas Yasmine ini pun secara terperinci-terangan memperlihatkan penolakan. Cobaan bagi Yasmine semakin menjadi-jadi saat Ali dan Nadia mengetahui maksud bergotong-royong dari ambisi Yasmine ingin memenangkan kejuaran silat. Persahabatan diantara mereka terancam retak. 

Yasmine dengan sukses memberi pukulan telaknya kepada siapapun yang telah mencibirnya, termasuk saya. Di luar dugaan, Yasmine yakni salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton tahun ini. Memang, skrip racikan Salman Aristo (Laskar Pelangi, Jakarta Maghrib) tidak menawarkan pembaharuan apapun secara garis cerita – lebih mirip The Karate Kid yang dipadupadankan dengan film drama akil balig cukup akal semacam Ada Apa Dengan Cinta? – namun ada kekayaan konflik dengan kehangatan yang melebur lembut bersama kejenakaan dan keseruan di dalam penyampaiannya yang lantas dihukum secara cekatan oleh sutradara pendatang baru asal Brunei, Siti Kamaluddin, berbekal santunan dari Chan Man Ching (Rush Hour) yang mengarahkan adegan laganya. Penonton pun sukses dibawa melewati empat fase sensasi selama durasi bergulir; merasa tersentuh dengan dramatisasinya, tertawa terbahak-bahak oleh humor segarnya, bersemangat (bahkan mungkin saja hingga menggebu-nggebu) menyimak pertarungan silatnya yang tersaji seru, dan gembira seni bela diri tradisional asal Indonesia menerima kehormatan tampil di film komersil pertama Brunei. Menjadikan Yasmine sebagai sebuah paket hiburan berjenis coming of age yang lengkap. 

Bagusnya lagi, Siti Kamaluddin pun diberkahi tim yang solid. Di sisi departemen akting, kita tentu tidak perlu lagi terheran-heran pada kapasitas akting Reza Rahadian, Dwi Sasono (sebagai instruktur konyol yang gemar membawa kipas), dan Agus Kuncoro yang yah... cemerlang mirip biasa. Kejutan tiba dari Liyana Yus dan Nadiah Wahid yang notabene masih sangat minim pengalaman berlakon di depan layar. Sebagai Yasmine, Liyana Yus bermain secara natural dan ekspresif, memberi perubahan emosi aksara yang meyakinkan sehingga mudah bagi penonton untuk mengasihi, membenci sekaligus berempati kepadanya. Begitu pula dengan Nadiah Wahid sebagai sang sobat baik, Nadia, yang kehadirannya senantiasa memantik tawa, membawa kesegaran, dan aura positif. Selain keduanya, Roy Sungkono, Mentari De Marelle, dan Nabila Huda pun mencuri perhatian. Apiknya performa mereka turut ditopang pula oleh James Teh yang merekam sudut-sudut Brunei – yang jarang sekali kita lihat – dengan cantik, skoring musik yang meniupkan jiwa terhadap sejumlah adegan, serta tunjangan tembang keren dari Nidji, ‘Menang Demi Cinta’, yang membangkitkan emosi penonton. Hasilnya, sebuah feel-good movie keren berjudul Yasmine yang bukan saja berceloteh soal silat, keluarga, persahabatan, maupun cinta, tetapi juga pencarian jati diri dan menaklukkan diri sendiri. Yasmine akan sulit Anda lupakan begitu saja. Two thumbs up!

Outstanding



Post a Comment for "Review : Yasmine"