Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Star Wars: The Force Awakens


“There's been an awakening. Have you felt it? The Dark side, and the Light.” 

Perkenalan saya dengan saga Star Wars untuk pertama kalinya tidak berlangsung menyenangkan. Keputusan mencoba menemukan kebesaran ‘anak kesayangan’ George Lucas ini melalui trilogi prekuel (Episode I-III) ternyata salah kaprah. Alih-alih dibentuk takjub, diri ini justru kebosanan setengah mati sampai-sampai mengibarkan bendera putih dan terus mengalami kesulitan memahami mengapa Star Wars bisa sedemikian diagung-agungkan oleh para penggemar militannya. Belakangan saya mengetahui, prekuel ini juga memperoleh ‘penolakan’ dari pemujanya karena sang ayah memilih untuk lebih mengeksplor intrik politiknya ketimbang petualangan imajinatifnya. Memutuskan untuk kembali berkenalan lewat trilogi orisinil (Episode IV-VI), aku memperoleh pencerahan yang menunjukkan betapa dahsyatnya opera space ini sekalipun tetap saja kecintaan terhadap Star Wars masih belum tumbuh. Baru berkat J.J. Abrams (Cloverfield, dwilogi reboot Star Trek), ada keinginan untuk mendalami lebih jauh ‘agama’ Star Wars usai beribadah di bioskop menyaksikan Star Wars Episode VII: The Force Awakens. Yes, believe the hype, it’s definitely one of the most relentlessly entertaining movies of 2015! 

Berlatar 30 tahun selepas Return of the Jedi (Episode VI), The Force Awakens memperkenalkan kita kepada tiga hero baru, ialah Finn (John Boyega), Poe Dameron (Oscar Isaac), dan Rey (Daisy Ridley). Pertautan ketiganya dimulai sejak Finn, mantan Stormtrooper yang membelot sesudah menyaksikan kebiadaban kaumnya, membantu pilot Resistance, Poe, melepaskan diri dari siksaan Kylo Ren (Adam Driver). Poe sendiri ditangkap oleh Kylo Ren dan kroni-kroninya dari The First Order – perwujudan sisa-sisa Galactic Empire – sesudah diketahui dirinya mempunyai peta yang mengungkap kawasan persembunyian sang Jedi, Luke Skywalker. Menyadari bahwa dirinya dalam posisi genting, Poe mengamanatkan peta tersebut ke droid kepunyaannya, BB-8, yang belakangan ditemukan oleh Rey tidak jauh dari tempat tinggalnya di Planet Jakku. Ndilalah, dalam pelarian, pesawat yang ditumpangi Finn dan Poe terjatuh ke Planet Jakku yang lalu membawa Finn (well, Poe mendadak hilang tanpa jejak) berkenalan dengan Rey. Belum sempat berbincang-bincang lebih jauh, pasukan The First Order tiba-datang membombardir Jakku yang lantas memaksa Rey, Finn, dan BB-8 untuk kabur memakai pesawat curian yang tidak lain tidak bukan ialah Millenium Falcon (yes!). Dari sinilah, petualangan besar Rey dan Finn dalam menyelamatkan galaksi nun jauh disana dari kekejaman The First Order bermula. 

Kalau boleh jujur, materi kisah The Force Awakens sebenarnya tidaklah istimewa-istimewa amat. Tim penulis skenario (terdiri atas J.J. Abrams, Lawrence Kasdan, serta Michael Arndt) seolah hanya sekadar merekonstruksi tuturan A New Hope (Episode IV) dan The Empire Strikes Back (Episode V) dengan beberapa perombakan disana sini plus konfliknya pun masih berkisar soal kebaikan melawan kebatilan. Klise? Ya, ini memang sengaja dilakukan oleh Abrams semata-mata sebagai bentuk penghormatannya terhadap franchise Star Wars itu sendiri. Adalah kelancaran si pembuat film dalam menuturkan cerita, kejituan menempatkan elemen-elemen familiar dari jilid-jilid terdahulu ke susunan pengisahan (sehingga keberadaannya tidak terkesan dipaksakan untuk ada), serta bumbu-bumbu humor menyegarkan yang membuat segala bentuk keserupaan pada struktur dongeng ini mampu diterima tanpa harus diiringi keluhan penuh kekesalan. Toh, tujuan lain dari Abrams menghadirkan sederet tumpuan – jika bisa dibilang demikian – ke trilogi asli ialah mengajak para penggemar usang bernostalgia. Siapa sih yang tidak bersorak bahagia melihat kemunculan kembali opening crawl, skoring megah gubahan John Williams, Millenium Falcon, sampai huruf-huruf legendaris Star Wars (Han Solo, Chewbacca, Leia Organa, plus duo C-3PO dan R2-D2)? Rasa-rasanya para pemuja Star Wars akan berseru senang begitu mendapatinya. 

Mengusung semangat serupa dengan trilogi asli, itu berarti kau tidak perlu khawatir The Force Awakens akan berakhir seperti halnya The Phantom Menace (Episode I), dan anak turunannya, yang lebih heboh ngobrol sana-sini ihwal politik (ugh!) ketimbang mengobral pertempuran seru hasil dari keliaran imajinasi sang kreatornya. Semenjak menit pertama, The Force Awakens telah mengondisikan penonton pada mood bersemangat sehingga sekalipun kau belum pernah bersentuhan dengan karya epik ini sebelumnya akan tetap memiliki hasrat untuk mengikuti menit-menit berikutnya. Ya, Abrams tahu betul bagaimana caranya memanjakan penonton melalui gaya berceritanya yang mengasyikkan. Selepas perkenalan singkat satu demi satu ke abjad inti (baik anyar maupun lawas), tensi film tidak pernah dibiarkan mengendur. Terjaga konstan berkat rangkaian gelaran agresi menyenangkan pula seru, bahkan perlahan tapi niscaya mendaki naik begitu film mendekati klimaks. Di sela-sela laga pertempuran yang beberapa diantaranya memaksa diri ini menahan nafas (acuan: konfrontasi puncak Kylo Ren dengan satu-dua aksara utama yang berujung pada pengungkapan fakta mencengangkan), Abrams juga menginjeksi momen emosional dan sejumput humor yang menciptakan The Force Awakens terasa lebih menggetarkan. Membuat aku yang semula menganggap Star Wars tidak lebih dari fenomena budaya pop biasa mempunyai ketertarikan untuk menyelami kisah petualangan antar galaksi ini lebih jauh – terlebih adegan penutupnya sangat berhasil memunculkan ketidaksabaran dalam menanti seri berikutnya. 

Keasyikan lain dari The Force Awakens disamping kombinasi solid antara tuturan mengasyikkan dan hidangan laganya yang mempunyai efek ‘wow’ adalah barisan pemainnya yang menyumbangkan lakon jempolan. Karisma besar lengan berkuasa Harrison Ford sebagai Han Solo masih belum sirna – interaksinya bersama Chewie dan Leia Organa (Carrie Fisher) mendefinisikan chemistry tak lekang waktu dengan cecapan rasa bagus di dalamnya – begitu pula eksistensi C-3PO serta R2-D2 yang tetap ngangenin. Tapi pancaran kuat The Force Awakens bukan saja berasal dari para sesepuh, melainkan juga pelakon anyarnya. Daisy Ridley terang menunjukan ketepatan insting tim casting. Rey yang dideskripsikan mirip kombinasi Luke-Leia dibawakannya secara gemilang, memunculkan ikatan instan antara penonton dengan Rey seolah-olah karakter heroine ini telah ada sejak generasi pertama Star Wars. Pesona jago Ridley ditopang pula oleh John Boyega yang memberi donasi besar terhadap elemen komedik. Menghadirkan performa menawan kala membawa abjad Finn pada momen bersenang-bahagia, Boyega juga tak kewalahan saat memasuki sisi drama dan membuat chemistry elok dengan Ridley. Selain mereka, The Force Awakens juga masih mempunyai Domnhall Gleeson yang memunculkan kesan angker sebagai General Hux, Lupita Nyong’o yang tampil bijaksana pula lucu sebagai Maz Kanata, Oscar Isaac yang tampak charming sebagai Poe, Adam Driver yang terlihat menyebalkan sebagai Kylo Ren, dan tentu saja BB-8 yang begitu menggemaskan. Sungguh sebuah pengalaman sinematik yang sangat mengasyikkan.

Outstanding



Post a Comment for "Review : Star Wars: The Force Awakens"