Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Bulan Terbelah Di Langit Amerika


Mengajukan pertanyaan besar, menggiurkan, serta provokatif berbunyi “apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?” kemudian disahut “apa karenanya dunia tanpa Islam?” dan diakhiri “suamiku Muslim, apakah beliau teroris?” kepada calon penonton, Bulan Terbelah di Langit Amerika terdengar seperti akan terhidang sebagai suguhan drama reliji yang jauh lebih menggugah pikiran dan menguras emosi ketimbang dwilogi pendahulunya, 99 Cahaya di Langit Eropa, yang cenderung bersahaja dalam menuturkan dongeng (dan saya sangat menyukainya). Belum lagi ditambah fakta bawa film yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Hanum Rais bersama sang suami, Rangga Almahendra, ini cakupan konfliknya melebar pula kian pelik dengan menyoroti kuatnya diskriminasi terhadap masyarakat Muslim di Amerika Serikat paska peristiwa 11 September – sebuah isu yang seketika menerbangkan ingatan aku ke My Name is Khan yang mengedepankan fokus kurang lebih serupa dengan eksekusi cukup baik. Bulan Terbelah di Langit Amerika seolah siap untuk melesat kencang di tengah ketatnya persaingan film akhir tahun. Akan tetapi, apakah memang betul demikian? Sedihnya, aku harus menyampaikan “tidak”. Mengusung pandangan baru besar, Bulan Terbelah di Langit Amerika gagal memenuhi segala potensinya dan malah berakhir sebagai gelaran melelahkan pula dingin. 

Meninggalkan Wina, pasangan suami istri Hanum (Acha Septriasa) dan Rangga (Abimana Aryasatya) kini menjejakkan kaki di New York. Masing-masing memiliki agendanya sendiri-sendiri di Big Apple; Hanum ditugasi atasannya untuk menulis artikel bertema “apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?” yang mengharuskannya mewawancarai seorang janda korban 9/11 berjulukan Azima Hussein (Rianti Cartwright) dan putrinya, sementara Rangga berupaya mendekati miliarder ternama, Phillipus Brown, guna melengkapi persyaratan S-3. Untuk memperlancar misi ini, keduanya pun meminta derma ke Stefan (Nino Fernandez) beserta kekasihnya, Jasmine (Hannah Al-Rashid), yang tinggal di New York. Hanya saja, tidak mudah bagi keduanya meminta narasumber incaran mereka untuk buka bunyi lantaran baik Azima maupun Brown kurang memiliki akidah terhadap media. Dalam upaya Hanum dan Rangga membangun keyakinan para narasumber, persoalan lain datang menghampiri yang menempatkan kehidupan berumah tangga mereka di posisi genting. 

Sejatinya, niatan dari Hanum Rais dan Rangga Almahendra sebenarnya sangat baik. Mencoba mengklarifikasi pandangan salah kaprah khalayak kebanyakan yang kerap mengasosiasikan Islam dengan terorisme sekaligus mengembalikan kebanggaan para pemeluk Islam terhadap agama yang dianutnya. Tapi tentu saja sebuah film yang baik tidak semata-mata dibangun di atas fondasi niatan yang baik, melainkan membutuhkan pula komponen-komponen lain semacam skrip, lakon, hingga pengarahan yang sama baiknya. Sayang beribu sayang, Bulan Terbelah di Langit Amerika justru tidak sanggup menyuplai kebutuhan sebagian besar komponen pokok ini. Rizal Mantovani selaku sutradara kepayahan membangun storytelling yang mengalir lancar dan yummy buat diikuti dari naskah yang digarap keroyokan oleh empat penulis. Jalinan pengisahannya seringkali kelewat tendensius sekaligus mencederai logika (terlalu banyak kebetulan hingga-sampai tidak lagi terasa logis) hanya demi menjawab pertanyaan besar yang diusungnya. Menjadi ironis ketika kemudian pertanyaan ini tak pernah benar-benar memperoleh tanggapan memuaskan sementara plot dari film – khususnya menginjak paruh tamat – telah dikorbankan untuk diacak-acak sedemikian rupa. Duh

Menonton Bulan Terbelah di Langit Amerika pun, pada alhasil, tak ubahnya mendengarkan khatib Sholat Jumat yang terus menerus memberikan materi khotbahnya dengan nada di level berteriak semenjak awal hingga selesai. Melelahkan. Ya, ketika 99 Cahaya di Langit Eropa lebih halus dalam berkhotbah, Bulan Terbelah di Langit Amerika cenderung terlalu keras. Kesemrawutan sisi penceritaan ini semakin diperparah pula oleh salah penempatan lagu pengiring plus skoring yang sungguh efektif merobohkan suasana, pergantian adegan yang sama sekali tidak smooth malah cenderung melompat-lompat, dan ketidaktelitian pada detil-detil kecil (hmmm... bukankah film ini berlatar tahun 2009 ya? Kok mampu ada poster film Pan yang notabene baru dirilis dua bulan silam?). Well, mengingat Bulan Terbelah di Langit Amerika hanya berada kurang dari dua bulan di meja penyuntingan gambar maka segala bentuk kekacauan ini menjadi bisa dipahami. (lagi-lagi) Duh. Jika ada yang kemudian mampu menyelamatkan film dari jurang keterpurukan lebih dalam, itu yakni performa memikat jajaran pemain di garda depan. Berkat chemistry lekat Abimana-Acha yang telah teruji semenjak dua film sebelumnya – sekali ini mereka mencoba mengingatkan kita betapa manisnya pasangan Rangga-Hanum – dan berkat Nino Fernandez yang kembali memberi keceriaan melalui sosok Stefan, setidaknya film menjadi sedikit lebih bisa dinikmati.

Acceptable

Post a Comment for "Review : Bulan Terbelah Di Langit Amerika"