Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Ouija


“Keep telling yourself it's just a game.” 

Apabila kamu mendengus kecewa terhadap Annabelle lantaran tak cukup membuatmu ketakutan dan berharap Ouija mengobati luka hatimu, maka sebaiknya redam saja ekspektasimu karena, yah... hanya akan memercikkan kejengkelan lebih mendalam. Dipersiapkan sebagai salah satu dari sedikit film memedi untuk menyambut datangnya Halloween, produksi horor pertama dari perusahaan mainan Hasbro yang bekerja sama dengan Platinum Dunes kepunyaan Michael Bay ini hanya menerapkan kembali resep yang telah dipergunakan oleh, errr... seabrek film horor yang menyasar dewasa sebagai sasaran utama pasar. Coba saja intip plotnya; sekelompok dewasa iseng-iseng melakukan pemanggilan arwah memakai papan permainan supranatural, Ouija, hanya untuk diserang serentetan teror yang berujung pada tewasnya satu persatu dari mereka. Bukankah ini sesuatu yang bahkan telah sering kau jumpai di film-film horor buatan dalam negeri? 

Ya, Ouija memiliki lima aksara utama yang kesemuanya (tentu saja) ialah perjaka pemudi berwajah rupawan; Laine (Olivia Cooke), Sarah (Ana Coto), Pete (Douglas Smith), Trevor (Daren Kagasoff), dan Isabelle (Bianca A. Santos). Kelimanya tanpa meminta bantuan dari ‘orang bakir’ secara seenaknya menerobos masuk ke dunia mistik memakai Ouija sebagai perantara dengan tujuan utama untuk berkomunikasi dengan sobat mereka, Debbie (Shelley Hennig), yang tewas secara misterius. Laine meyakini bahwa maut Debbie tidaklah disebabkan oleh bunuh diri sehingga dia berencana untuk mengadakan semacam pemeriksaan. Celakanya, kelima akil balig cukup akal kurang kerjaan ini telat menyadari bahwa penyebab utama kematian dari sang sahabat tercinta berasal dari Ouija. Telah membuka lebar-lebar pintu dimensi lain, maka satu-satunya cara untuk menghentikan teror yang menghantui mereka yakni dengan menyelesaikan permainan hingga tuntas. 

Sejujurnya, saat menonton film menyeramkan semacam Ouija, hanya ada satu hal yang saya minta: buat aku ketakutan. Sesederhana itu. Ketika film tersebut berhasil membuat diri berteriak keras-keras, meringkuk tampan di kursi bioskop, atau terbayang-bayang indah dengan beberapa adegan dalam film yang berdampak pada tidak lelapnya tidur malam, maka ketika itulah si pembuat film telah menunaikan tugasnya dengan sangat baik. Akan tetapi apabila kesan yang didapat justru sebaliknya, ditambah tawa yang biasanya muncul setelah jeritan malah justru tergantikan oleh rasa kesal karena kejutan yang dipersiapkan begitu murahan sebatas mengandalkan skoring yang volumenya datang-tiba ditinggikan tanpa ada penampakan yang memberikan diri, tentu ini adalah sebuah kegagalan yang memalukan. Bagi Ouija, kesan kedualah yang paling menempel erat sehingga (bahwasanya) lebih dari cukup untuk mendeskripsikan tontonan seram semacam apa yang disajikan oleh Stiles White. 

Meski mendayagunakan plot basi khas film horor kelas B, Ouija masih sedikit lebih baik dari Annabelle soal konklusi. Setidaknya – walau penyelesaian masalahnya yang dipaksakan menciptakan jidat mengerut – tetapi untungnya tak lantas menjadi konyol mirip film sebelah. Well... mungkin inilah satu-satunya kelebihan dari Ouija sebab berurusan dengan hal takut-menakuti, Ouija tidak mampu dibutuhkan. Sama sekali. Ketika (lagi-lagi) Annabelle masih mempunyai satu dua adegan yang bisa kamu kenang, obrolkan, sekaligus membuatmu terperanjat dari bangku bioskop, maka film yang skripnya ditulis dengan sangat malas oleh White beserta Juliet Snowden tidak memperlihatkan apa-apa kecuali trik-trik penampakan yang kemunculannya bisa kamu perkirakan dengan mudah. 

Jangankan esok hari, saya bahkan sudah lupa teror apa saja yang membuat aku ketakutan hanya sesaat sehabis melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop karena yah... memang tidak ada. Kalaupun ada momen berkesan selama menyaksikan Ouija, itu yakni seorang penonton latah yang tiba-tiba teriak “Laine!” saking kagetnya dengan musik yang memang tidak berkeprimanusiaan. Sungguh, Ouija adalah sebuah film horor yang mengecewakan, melelahkan, tidak menyeramkan, dan mudah sekali dilupakan. Kecuali kamu benar-benar menikmati ‘crowd’ film horor di bioskop atau terpaksa menemani kencanmu yang merengek ingin menyaksikan Ouija, lebih baik tunggu saja kehadirannya lewat DVD atau saksikan saja versi Filipina yang lebih angker. Next!

Poor


Post a Comment for "Review : Ouija"