Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : London Has Fallen


"London is just the first stop. Just imagine every major city, descending into chaos. Your president dies tonight." 

Sudahkah kamu menonton Olympus Has Fallen yang mempertontonkan keruntuhan Gedung Putih balasan serangan beruntun dari para teroris? Menyukainya? Apabila tanggapan untuk kedua pertanyaan tersebut yaitu ‘ya’, tentu tidak sulit bagimu dalam menikmati film kelanjutannya yang kali ini memporakporandakan The Old Smoke, London Has Fallen. Sekalipun dikomandoi kepala koki gres, Babak Najafi, yang menggantikan Antoine Fuqua, London Has Fallen masih mengusung semangat serupa dalam penghormatannya ke film-film laga Hollywood di abad 1990-an dengan materi-bahan dasar yang tidak juga berbeda. Perubahan satu-satunya dari Najafi ialah melipatgandakan dosis – berpatokan pada isyarat tidak tertulis untuk sebuah sekuel yang menuntut peningkatan cakupan skala – sehingga penonton diharapkan mampu bersuka cita karena memperoleh kesenangan maksimum era menyantap kehancuran kota London di layar lebar. Dan memang, itulah yang akan didapatkan oleh penonton begitu memutuskan membayar tiket bioskop untuk pertunjukkan bernama London Has Fallen

Setelah kegagalan Korea Utara melumpuhkan Amerika Serikat melalui serangan di Gedung Putih, sekarang giliran para teroris dari Pakistan yang unjuk gigi dengan merancang kota London – terutama pada sejumlah landmark-nya – sebagai arena berburu Presiden Negeri Paman Sam maupun pemimpin negara lainnya. Dihelatnya upacara pemakaman bagi Perdana Menteri Inggris yang meninggal secara misterius memberi kesempatan emas bagi kelompok teroris pimpinan Aamir Barkawi (Alon Aboutboul) untuk melancarkan teror lantaran seremoni tersebut turut dihadiri para pemimpin negara-negara berkuasa. Mengingat serangan ini telah dirancang menahun, mudah bagi Aamir beserta kroni-kroninya untuk mengecoh kepolisian Inggris sehingga status London seketika dinyatakan sebagai darurat perang. Seiring tumbangnya para pemimpin dunia satu demi satu, Mike Banning (Gerard Butler) sekali lagi harus menjalankan tugasnya untuk menyelamatkan Presiden Benjamin Asher (Aaron Eckhart) terlebih Aamir berencana menyiarkan proses eksekusi Benjamin ke seluruh dunia melalui internet. Tanpa benar-benar mengetahui siapa saja yang dapat mengemban amanah di medan pertempuran ini, maka keselamatan dunia sekali ini pun bergantung sepenuhnya pada Mike dan Benjamin. 

Seperti halnya sang kakak, London Has Fallen memperoleh skor tinggi untuk parade agresi yang gegap gempita tak berkesudahan. Ya, Najafi terbukti tak mengalami kesulitan berarti dalam menerima tongkat estafet dari Fuqua yang ditunjukkannya melalui keterampilan dalam mengolah barisan sabung pemacu adrenalin. Kesemuanya klise, nyaris tidak bersinggungan dengan kata ‘inovatif’, tapi hey, siapa bersedia melontarkan keluhan jikalau si pembuat film berhasil meramunya untuk tetap membuat penonton duduk seraya mencengkram dekat kursi bioskop? Itulah yang dilakukan oleh Najafi pada London Has Fallen. Kamu jelas salah tempat apabila mencari guliran pengisahan cerdas, permainan lakon kelas kampiun, atau pengadeganan realistis di sini sebab sudah terperinci tergurat (bahkan semenjak sang predesesor) bahwa tujuan utama penciptaan London Has Fallen adalah murni sebagai tontonan eskapisme. Selama semangat penonton sanggup dihidupkan, jantung penonton mampu dibentuk berdegup kencang, kemudian pada balasannya menghela nafas lega di ujung film seraya mengucap ‘phew’ atau sesederhana ‘seru’ maka artinya misi telah ditunaikan dengan sangat baik. 

London Has Fallen, yang elemen-elemennya banyak meminjam film sabung 90-an khususnya rangkaian film Die Hard (lihatlah, ada sedikit banyak kemiripan karakteristik antara John McClane dengan Mike Banning!), bergabung bersama grup ‘mission accomplished’ tersebut. Sedari menit-menit pertama, Najafi telah mengondisikan kita untuk sigap. Menu pembukanya begitu menggoyang lidah sampai-hingga membentuk rasa ingin tau, “kekacauan seperti apa yang akan ditimbulkan oleh para teroris ini?,” disamping keingintahuan terhadap kompetensi Najafi menyembulkan ketegangan. Kala Benjamin dan para bawahannya akibatnya menjejakkan kaki di London, menu utama lantas dihidangkan tanpa banyak berbasa-basi. Ledakan-ledakan, desingan peluru, dan kejar-kejaran (dari paling dasar memakai kaki sampai paling sophisticated memanfaatkan helikopter yang menghadirkan satu adegan pengejaran mendebarkan) konstan terdengar. Hanya sesekali mempersilahkan penonton menghembuskan nafas melalui pembubuhan humor yang agak disayangkan terasa garing, pemandangan brutal berupa Mike membabi buta menghabisi para teroris terus berlanjut sampai puncaknya pada hidangan penutup yang tervisualisasikan cukup apik seperti kita tengah memainkan video game

Apakah lebih baik ketimbang Olympus Has Fallen? Well, jawabannya sangat mungkin terpecah antara ‘ya’ atau ‘tidak’. Walau secara eksklusif menganggap jilid pendahulu tetaplah lebih superior – terutama disebabkan faktor tidak bergunanya Morgan Freeman, Mellisa Leo, dan Jackie Earle Harley di seri kedua ini serta keleluasaan ruang gerak sedikit meminimalisir intensitas – namun tak bisa disangkal London Has Fallen ialah sebuah hidangan memuaskan. Memenuhi semua pengharapan yang mampu kamu menetapkan pada sekuel dari film arahan Fuqua tersebut. Apabila kamu berencana untuk menyegarkan pikiran dari rutinitas sehari-hari yang padat atau semata-mata rindu pada kegilaan film tabrak kurun 90-an yang menghadirkan jagoan sulit tertaklukkan melawan  teroris kelas internasional, maka London Has Fallen yang mampu diwakili dalam tiga kata; seru, menegangkan, dan mengasyikkan, ini adalah pilihan tepat untuk kau konsumsi di layar lebar.

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : London Has Fallen"