Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Hunger Games: Mockingjay - Part 2


“Tonight, turn your weapons to the Capitol! Turn your weapons to Snow!” 

Babak pertama dari Mockingjay menyisakan banyak ketidakbahagiaan dari sejumlah pihak. Keputusan Lionsgate dalam memecah The Hunger Games: Mockingjay menjadi dua seri dinilai mengada-ada mengingat materi novel rekaan Suzanne Collins sendiri kurang memungkinkan untuk direntangkan melebihi satu film. Walau aku pribadi cukup menikmati Mockingjay Part 1 alasannya adalah menilai intrik sosial politiknya yang memperbincangkan secara lantang soal propaganda, tipu-tipu media, sampai pertentangan kelas memiliki intensitas cukup tinggi (bahkan terbilang thought-provoking), sulit untuk dipungkiri bahwa kesan bertele-tele mampu dirasakan di berbagai titik yang berdampak terhadap lambatnya laju penceritaan. Mockingjay Part 1 cenderung minim gegap gempita alasannya adalah dikondisikan untuk membuka jalan bagi pertarungan akhir Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dalam melawan kesewenang-wenangan sang tiran di Mockingjay Part 2 sehingga penyusunan siasat berperang pun lebih sering diperbincangkan ketimbang peperangannya itu sendiri. Segala letupan-letupan pembangkit emosi yang diharapkan oleh para penonton, baru akhirnya benar-benar dimunculkan oleh Francis Lawrence di babak pamungkas ini. 

Tidak tahan melihat pengaruh dari perbuatan Presiden Snow (Donald Sutherland) kepada orang-orang yang dicintainya, Katniss pun mengindahkan titah dari Presiden Alma Coin (Julianne Moore) selaku pemimpin Distrik 13 untuk berdiam diri dan menentukan bergabung bersama Squad 451 dengan harapan dapat menyusup ke Capitol lalu menuntaskan misinya menghabisi nyawa Snow. Hanya saja, tentu tidak semudah itu bagi Squad 451 yang bergabung didalamnya termasuk Gale (Liam Hemsworth), Finnick (Sam Claflin), Cressida (Natalie Dormer), Pollux (Elden Henson), serta Peeta (Josh Hutcherson), untuk menundukkan Snow sebab dalam perjalanan menuju kediaman sang penguasa lalim ini, mereka dihadang oleh jebakan-jebakan mematikan bernama ‘pods’ yang keberadaannya tersebar di berbagai penjuru Capitol. Pods sendiri dikreasi oleh para gamemaker atas perintah dari Snow untuk menghalangi para pemberontak mendekati Snow menyusul semakin gencarnya gerakan dari para pemberontak sehabis dikumandangkannya iklan propaganda sang Mockingjay ke seantero Panem. Dengan keberadaan pods, maka Katniss pun kembali menghadapi ‘permainan bunuh membunuh’ yang sekali ini berlangsung di jalanan Capitol alih-alih arena Hunger Games. Yes, welcome to the 76th Hunger Games. 

Makara, apakah franchise The Hunger Games memberi salam perpisahan yang cantik kepada para penggemar melalui Mockingjay Part 2 atau malah justru meninggalkan rasa pahit? Seperti halnya babak pertama, Mockingjay Part 2 bisa jadi akan membelah kubu pendapat menjadi dua: love it or hate it. Melanjutkan apa yang tersisa dari sang predesesor, 30 menit pertama film yang sekaligus dimanfaatkan oleh Francis Lawrence untuk menyegarkan ingatan kita terkait insiden dari jilid pertama mengalun begitu perlahan cenderung menguji kesabaran penonton. Nyaris tanpa dibekali tenaga mencukupi, menit-menit pembuka Mockingjay Part 2 ini memang sedikit banyak membentuk mood ke arah negatif dengan bunyi-bunyi menguap sesekali terdengar. Sempat terbersit di benak mungkin Katniss (atau malah Suzanne Collins) telah terlampau kelelahan yang berdampak pada plot serasa jalan di kawasan, tensi ketegangan yang semula terus mengendur perlahan tapi pasti menunjukkan tanda-tanda menanjak abad Lawrence memutuskan mengakhiri ‘sesi refleksi’ terhadap pengenalan konflik jilid terakhir ini dan berpindah fokus mengajak penonton mengiringi Katniss beserta regu kecilnya menapaki medan pertempuran bantu-membantu. 

Dengan arena Hunger Games yang dilalui Katniss kali ini jauh lebih besar, berbahaya, serta brutal, maka tidak mengherankan apabila Mockingjay Part 2 mempunyai barisan adegan laga berintensitas tinggi yang bolos dari ketiga seri pendahulu. Ya, begitu kita memasuki Capitol, serangan pods seketika menyambut dalam wujud berupa-rupa yang kemunculannya seringkali tidak mampu diprediksi. Dari hujaman peluru bertubi-tubi, berlanjut ke amukan banjir lumpur hitam, sampai terkaman makhluk-makhluk mutan buas, Lawrence seperti mencoba menebus kesalahannya di babak pertama yang hampir tidak memiliki cukup amunisi dalam menggelorakan semangat penonton dengan kali ini berusaha menggenjot adrenalin kita mencapai titik teratas. Upayanya boleh dikata berhasil, paling tidak selama personil Squad 451 berkeliaran di jalanan Capitol maupun menyusup ke gorong-gorong (harus tetap diakui merupakan momen paling intens sepanjang franchise ini!), namun level ketegangannya agak meredup pada pertempuran selesai yang walau masih menonjok secara emosi sayangnya malah berakhir antiklimaks dan meniadakan kesan grande. 

Mencuatnya kekecewaan begitu melihat kurang megahnya tampilan peperangan simpulan dalam melengserkan Snow (untungnya) lantas ditumpas oleh epilog yang tersusun dari kombinasi memilukan, menyentuh, sekaligus bagus. Pada titik ini, Jennifer Lawrence yang telah mempertontonkan keciamikan berolah tugas sebagai Katniss semenjak seri pertama semakin menegaskan bahwa beliau telah mencapai level akting yang sudah sangat matang. Bahwa beliau memang layak menyandang gelar “aktris pemenang Oscar”. Segala bentuk pergolakan batin Katniss mampu tersampaikan secara baik kepada penonton yang menciptakan huruf ini begitu mudahnya memperoleh simpati. Jajaran lawan mainnya pun memberi derma penuh, khususnya Josh Hutcherson yang memberi akting terbaiknya sepanjang franchise ini untuk Peeta yang tengah berada di titik terendah hidupnya dan Donald Sutherland yang memunculkan sisi manusiawi dari sosok bengis Presiden Snow. Barisan pemain pendukung, walau jatah tampil semakin tereduksi karena film semakin fokus pada Katniss-Peeta, juga masing-masing bermain solid dengan kredit khusus diberikan kepada Liam Hemsworth atas usaha kerasnya (yang kesannya betul-betul berhasil) dalam memberikan kehancuran hati Gale tatkala menyadari hubungan Katnis-Peeta kian intim. Let’s give him a hug! 

Walau masih berada di bawah bayang-bayang Catching Fire – tak pelak merupakan seri terbaik di franchise The Hunger Games – karena laju pengisahan yang tak stabil dengan grafik konflik kadangkala masih saja bergerak di titik datar dan pertarungan puncak menjauhi pengharapan banyak pihak (damn!), Mockingjay Part 2 tetap bisa dibilang memberi salam perpisahan manis dan layak bagi The Hunger Games. Setidaknya lewat jilid penutup ini penonton kesannya memperoleh barisan adegan agresi seru yang membuat kita bolak-balik menahan nafas, penonton akibatnya mampu mencicipi gregetnya cerita cinta segirumit dari Katniss-Peeta-Gale sehabis tiga seri lamanya hanya berkesan mirip komplemen belaka, dan penonton karenanya kembali memperoleh kesempatan mencicipi momen-momen emosional yang memungkinkan kita menyeka air mata. Jika saja Mockingjay tidak dipaksakan dipecah menjadi dua bagian akhirnya mungkin mampu lebih maksimal dari kini ini alasannya adalah bahkan dengan segala kekurangannya, Mockingjay Part 2 masih sanggup terhidang sebagai finale yang cukup memuaskan.

Exceeds Expectations


Post a Comment for "Review : The Hunger Games: Mockingjay - Part 2"