Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Gift


“You're done with the past, but the past is not done with you.” 

Menilik jalinan pengisahannya yang berceloteh mengenai seseorang gila yang terlalu dalam mencampuri kehidupan langsung sang huruf utama – telah dalam tahapan, terobsesi – sampai-hingga menciptakan teror tatkala dirinya menerima penolakan atas ‘bantuannya’ tersebut, sepintas The Gift memang tidak ubahnya film thriller kebanyakan dari kurun 1990-an yang guliran konfliknya banyak mempergunakan template dari Fatal Attraction. Bahkan sang sutradara, Joel Edgerton, secara terang-terangan menyebut Fatal Attraction sebagai salah satu sumber inspirasinya untuk karya perdananya ini. Klise? Pada mulanya, begitulah jawaban aku terhadap The Gift yang di atas permukaan memang menampakkan diri sebagai epigon lainnya dari film ‘percintaan akhir hayat’ Michael Douglas dengan Glenn Close ini dengan plot yang (sepertinya) masih seputar kucing-kucingan antara dua mitra usang. Akan tetapi, alih-alih patuh sepenuhnya pada formula dari film sejenis, Joel Edgerton justru memilih untuk sedikit berkreasi terhadap plot The Gift... dan inilah yang membuatnya berasa mengasyikkan buat disimak! 

Saat pasangan suami istri, Simon Callum (Jason Bateman) dan Robyn Callum (Rebecca Hall), tengah berbelanja kebutuhan rumah tangga, seorang pria kikuk berjulukan Gordo (Joel Edgerton) datang-tiba menghampiri keduanya dengan memperkenalkan diri sebagai teman Simon semasa duduk di kursi SMA. Mencoba untuk bersikap ramah, terlebih lagi mereka belum mempunyai banyak sobat alasannya baru saja pindah ke Los Angeles, pasangan ini mengundang Gordo untuk makan malam. Penyambutan penuh basa busuk ini nyatanya disalahartikan oeh Gordo yang belakangan rutin mengirimi hadiah-hadiah kecil bagi pasangan ini. Merasa tidak nyaman kedatangan seseorang dari era kemudian yang sejatinya kesulitan untuk diingatnya secara terperinci, Simon pun meminta Gordo untuk menjauhi keluarganya walau Robyn tidak menyetujui keputusan suaminya sebab menganggap pertemanan yang diminta Gordo lapang dada adanya. Tepat seusai Simon menjatuhkan ultimatum pada Gordo, teror demi teror mulai membayangi keluarga kecil ini yang lantas turut menggoyahkan kehidupan pernikahan mereka seiring tersibaknya kala kemudian kelam Simon yang coba disimpannya rapat-rapat dari sang istri. 

Agar buah hati pertamanya ini mengendap bagus di ingatan – bukan sekadar thriller berplot formulaik – Joel Edgerton tak membawa tuturan The Gift ke arah kelewat konvensional yang mana penonton bisa menebak dengan mudahnya muara dari duduk perkara semacam ini; Robyn melaksanakan investigasi untuk mengorek diam-diam besar sang suami, kemudian berujung pada konfrontasi tamat dengan Gordo (setidaknya, penonton berasumsi dialah si peneror). Edgerton mencoba memberi pendekatan berbeda terhadap konflik beserta penguraiannya yang menambat perhatian penonton melalui pembubuhan twist beserta komentar sosial terkait sisi gelap dari manusia yang mengaburkan benar-salah. Tanpa sedikitpun membocorkan plot dari film lebih jauh karena saya tidak ingin menghancurkan kesenanganmu menyaksikan film ini, ada sejumlah kelokan-kelokan menghadang pada tuturan dongeng semenjak teror mulai menyergap keluarga Callum yang memunculkan rasa keingintahuan besar pada diri penonton untuk kemudian mempertanyakan motif dari setiap huruf sampai-sampai pertanyaan (bernada gemas) seperti, “siapa sih bekerjsama si jahat dan siapa sih bantu-membantu yang berada di posisi korban?,” turut mencuat ke permukaan. 

Berkat pertanyaan ini, kita mengetahui bahwa The Gift terlahir dari perpaduan antara naskah berkualitas premium, penyutradaraan jempolan dan lakon kelas wahid. Ya, di balik kemasan sederhananya, tidak disangka-sangka The Gift mempunyai kekuatan jago untuk mengoyak emosi penontonnya keras-keras nyaris di sepanjang durasi khususnya lewat adegan pamungkas yang membuat diri ini terhenyak. Coret-coretan cerdas di atas kertas sanggup diterjemahkan Joel Edgerton ke dalam bahasa gambar beraroma thriller besar lengan berkuasa dengan tensi ketegangan yang terjaga begitu rapi – setiap menitnya terasa semakin mencengkram dekat, bersahabat, dan erat – sehingga enggan rasanya memalingkan perhatian dari layar bioskop barang sejenak. Kekuatan Edgerton dalam bercerita ini lantas memperoleh sokongan akting-akting hebat dari jajaran pemainnya seperti Rebecca Hall yang mengombinasikan kehangatan, kerapuhan, sekaligus ketegaran dalam abjad Robyn menjadikannya sebagai tokoh paling simpatik di The Gift, lalu duo Jason Bateman dan Edgerton sendiri yang menggiring penonton pada perasaan bimbang untuk berada di tim Simon atau tim Gordo karena keduanya secara silih berganti menghadirkan rasa ngeri, kesal bukan kepalang, hingga iba pada diri masing-masing. Seru!

Outstanding

Post a Comment for "Review : The Gift"