Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Age Of Adaline


“Tell me something I can hold on to forever and never let go.”

Sepintas, gagasan memiliki kehidupan abadi dengan fisik enggan menua terdengar bagaikan mukjizat alasannya adalah kamu memperoleh banyak kesempatan untuk mewujudkan mimpi tanpa dikekang oleh sempitnya waktu. Akan tetapi, bagaimana jikalau ternyata diperkenankan mengarungi kehidupan lintas dekade tidaklah seindah yang dibayangkan? Dengan keistimewaan hanya mampu dirasakan oleh diri sendiri, secara otomatis ada paksaan untuk merelakan kepergiaan orang terkasih waktu demi waktu... dan ini lebih menyiksa, bahkan angker, dibanding menua. Bukan begitu? Paling tidak persis mirip itulah perasaan Adaline Bowman (Blake Lively) di The Age of Adaline. Saat banyak manusia mendamba kehidupan baka, Adaline justru menganggapnya sebagai kutukan karena pengalaman hidup selama puluhan tahun berujung pada satu kesimpulan: tidak mungkin menggenggam akrab cinta sejati tatkala cepat atau lambat cinta tersebut akan terlepas sementara dirinya tetap berada dalam keabadian yang akan menuntunnya kepada cinta yang lain. 

Ya, Adaline tidak pernah benar-benar merasakan nikmatnya cinta sejati lantaran kondisi memaksanya untuk senantiasa berpindah kawasan tinggal setiap sepuluh tahun demi menghindari kecurigaan pihak-pihak tertentu yang dipicu oleh satu pertanyaan, “bagaimana mungkin seorang perempuan yang telah berusia hampir setengah masa tetap terlihat seperti wanita berumur 29 tahun tanpa ada kerutan atau bercak-bercak di wajah?.” Semenjak sebuah kecelakaan mobil yang nyaris merenggut nyawanya, tubuh dan fungsi organ Adaline memang enggan menua yang semenjak saat itu pula kata normal terhapuskan dari kamusnya dengan dihadapkannya pada fakta beliau akan kesulitan membangun kesepakatan dalam relasi percintaan dan putri semata wayangnya, Flemming (Ellen Burstyn), pun memasuki usia uzur jauh lebih cepat dari dirinya. Seolah dilema belum cukup menderanya, seorang pria karismatik berjulukan Ellis (Michiel Huisman) memasuki kehidupannya, membuatnya jatuh hati, sekaligus membawanya kembali ke periode lalu yang telah dihempaskannya. 

Tidak ada rangkaian kata-kata yang lebih sempurna untuk mendeskripsikan The Age of Adaline selain dongeng yang dilantunkan begitu indah, menyentuh, sekaligus romantis. Lee Toland Krieger selaku pemimpin orkestra telah menyihir penonton semenjak menit pembuka melalui jalinan pengisahan pengundang rasa penasaran dengan nuansa kisah begitu pekat dari visual dan iringan musik. Walau secara garis besar ide yang ditawarkan oleh duo penulis skrip J. Mills Goodloe beserta Salvador Paskowitz tidak memberikan terobosan mencengangkan – dan rentetan klarifikasi ilmiah untuk situasi gila yang menimpa Adaline berkesan terlalu dipaksakan kemunculannya – namun tetap saja sulit menampik pesona menghanyutkan dari The Age of Adaline. Bagaimana ujung perjalanan cinta seorang Adaline memang tidak terlalu sulit diterka sedari awal (terlebih, film ini patuh pada jalur romansa dan menghindari formula tontonan tearjerker), daya tarik utamanya justru terletak dalam proses yang dilalui oleh Adaline demi merasakan setidaknya setetes kebahagiaan sehabis pelarian demi pelarian. 

Adanya kepedulian penonton untuk mengetahui nasib Adaline merupakan faktor penentu utama keberhasilan The Age of Adaline. Seiring berlalunya durasi, kita dibawa mengarungi sederet fase perasaan dari si tokoh utama; kesedihan, kehampaan, ketakutan, keputusasaan, hingga kebahagiaan, secara silih berganti yang diinterpretasikan begitu mencengkram oleh Blake Lively dalam lakon terbaiknya sepanjang karir. Belum pernah istri Ryan Reynolds ini terlihat sedemikian charming yang memunculkan kesan elegan dan cerdas di layar sehingga jatuh cinta kepada huruf yang dimainkannya merupakan keniscayaan. Sang pasangan dalam film, Michiel Huisman, memang kurang mampu mengimbangi kecemerlangan Lively, tapi hey, ada performa kelas kakap dari Harrison Ford yang memberi penonton kejutan dengan menunjukkan sisi rapuhnya tatkala kenangan pahit yang coba dihapuskannya mendadak menyembul tanpa dikomando tepat di matanya. Kecermelangan Blake Lively dan Harrison Ford dalam berlakon ini menggoreskan cita rasa kuat pada emosi di The Age of Adaline yang pada risikonya mencoba mengajukan pertanyaan “apakah kau masih mengharap keabadian kepada Sang Maha mempertimbangkan cantik pahitnya kehidupan Adaline?” kepada setiap penontonnya. Sungguh menarik.

Exceeds Expectations


Post a Comment for "Review : The Age Of Adaline"