Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Allegiant


“You want change without sacrifice, you want peace without struggle. The world doesn't work that way.”

Berkaca pada pengalaman kurang memuaskan yang diperoleh di Breaking Dawn maupun Mockingjay, agak mengkhawatirkan bekerjsama begitu mengetahui jilid terakhir dalam rangkaian seri Divergent, Allegiant, bakal dipecah menjadi dua bab terlebih materi cerita franchise ini juga bergotong-royong tidak berpengaruh-kuat amat. Kalau boleh berbicara menggunakan bahasa faksi Candor, jauh di bawah The Hunger Games. Dengan Mockingjay yang memiliki amunisi lebih mumpuni saja agak tertatih-tatih dalam bercerita masa diterjemahkan ke bahasa gambar karena dipaksakan untuk diperpanjang durasinya, maka bagaimana hasilnya Allegiant? Kamu mungkin sudah mampu menduganya (beberapa teman telah menaruh kecurigaan semenjak trailer diluncurkan), dan begitulah adanya. Kecurigaan itu terbukti. Allegiant yang masih dikomandoi oleh pembesut Insurgent, Robert Schwentke, membawa kabar jelek kepada para penikmat film penyesuaian novel young adult berlatarkan distopia rancangan Veronica Roth tersebut. Alih-alih mengalami peningkatan dari Insurgent dan membawa franchise ini ke tingkatan lebih terhormat, Insurgent justru terjun bebas sekaligus mencoreng ‘nama baik’ The Divergent series

Melanjutkan apa yang tertinggal di penghujung jilid kedua, Allegiant menyoroti upaya Tris (Shailene Woodley) bersama rekan-rekan seperjuangannya; Four (Theo James), Caleb (Ansel Elgort), Christina (Zoe Kravitz), dan Peter (Miles Teller), untuk melarikan diri dari daerah tinggal mereka dan mencari tahu ada apa di balik tembok besar yang melingkungi Chicago selama ini. Menapakkan diri di suatu kawasan bernama Fringe, lima serangkai ini seketika mendapati kenyataan sama sekali berbeda dari bayangan mereka. Gersang dan dipenuhi limbah beracun ialah pemandangan yang mereka tangkap. Dalam perasaan bercampur baur antara takut, kecewa, dan terkejut, kelimanya dihampiri sekelompok pasukan yang membawa mereka ke sebuah kota mutakhir di bekas Bandara O’Hare. Menganggap bahwa tempat ini akan memberikan keselamatan, atau setidaknya begitulah pedoman Tris yang entah mengapa datang-datang sangat naif, nyatanya segalanya tidak jauh lebih baik. Sang pemimpin, David (Jeff Daniels), memiliki rencana terselubung dengan tujuan dari segala keputusannya adalah menemukan ‘insan sempurna’ demi abad depan lebih baik. 

Dua puluh menit pertama Allegiant merupakan bagian terbaik yang mampu kamu peroleh dari film. Luapan kemarahan para kaum tertindas di bawah komando Factionless menyusul tewasnya Jeanine (Kate Winslet) disusul aksi nekat lima serangkai menembus – atau lebih tepatnya memanjat – tembok pertahanan seraya melawan para pesuruh Evelyn (Naomi Watts) membawa energi tinggi yang sudah cukup meyakinkan kita bahwa Allegiant mungkin akan lebih menyenangkan buat ditonton daripada kedua kakaknya. Mungkin. Begitu Tris dan rekan-rekan sejawatnya ini memasuki area sama sekali asing bagi mereka yang tandus, penonton seolah telah menerima peringatan soal sisa durasi ke depan yang juga kering alih-alih penuh dentuman mirip detik-detik menuju pemanjatan tembok. Dan benar saja, laju film yang semula bergerak gesit penuh semangat perlahan tapi niscaya mulai mengendur, terus mengendur, hingga balasannya benar-benar loyo yang seketika mengecewakan anggota faksi Dauntless. Ketegangan kolam menonton film thriller yang menjadi kekuatan sang predesesor, khususnya Insurgent, mendadak raib disini dan tergantikan oleh rangkaian aksi yang seperti dihukum menggunakan bujet terbatas plus jasa kru kurang berpengalaman terlihat dari betapa kasarnya polesan imbas khusus di beberapa titik (sampai sulit mempercayai kucuran dananya melebihi $100 juta). 

Sementara rentetan adegan laganya kehilangan energi seiring bergulirnya film – makin usang makin menjemukan dan begitu-begitu saja – tatanan penceritaan pun tidak lebih baik, malah ada kalanya lebih memprihatinkan. Perbincangan-perbincangan soal ‘purist’ antara David dengan Tris termasuk pengungkapan rahasia pembentukan tembok terlalu mirip The Maze Runner hanya saja sekali ini motifnya berasa dipaksakan sekaligus kelewat konyol untuk bisa ditanggapi serius. Dan lagi, seolah ada redundansi pada plot Allegiant sebab konfliknya sendiri tidak lebih dari pengulangan dari dua jilid pertama namun dibedakan oleh latar tempat. Well, bukankah David intinya yaitu Jeanine versi pria?. Duh. Kekacauan skrip berisi pula humor tak lucu (“what is an airport?” dilontarkan oleh seorang Erudite. Bravo!) yang lebih sering memperlihatkan kebingungan ketimbang penjelasan masuk nalar turut berimbas pula pada tersendatnya pengembangan karakter. Semua abjad masih seperti dahulu kala, kecuali Christina yang sering tiba-tiba lenyap tiba-datang muncul layaknya Jelangkung, Caleb yang mendadak konyol mengalahkan kekonyolan Peter, dan paling parah adalah Tris yang seketika kehilangan karismanya. Tatkala Katniss Everdeen kian tangguh mendekati pertarungan puncak, Tris justru kian terlihat naif pula kebingungan. She’s like, “dimana saya? mengapa saya disini? aku siapa? kamu siapa? tolong saya.” 

Jajaran pemainnya pun tidak membantu... sama sekali. Daripada memperlihatkan sokongan yang diperlukan, pemain film aktris kelas A yang turut memeriahkan Allegiant justru ikut terseret menjadi korban keamburadulan naskah. Satu-satunya pelakon yang masih tampak ‘niat’ mencurahkan seluruh kemampuannya berseni peran adalah Theo James. Mengalami peningkatan dari seri ke seri (ya, Four yakni karakter 'waras' tunggal di Allegiant), ada masa depan cantik bagi bintang film ini di industri film. Sedangkan para pemain lain yang mempunyai jam terbang lebih tinggi justru terkesan ogah-ogahan. Oke, Milles Teller memang masih agak terlihat menikmati perannya sebagai Peter yang menyebalkan, tapi Shailene Woodley? Damn, ia sangat tampak kebosanan dan kelelahan hingga-hingga berimbas ke sosok Tris yang lemas seperti kekurangan cairan. Bahkan ada kalanya dia memberi mulut muka yang jauh lebih mengesalkan daripada Peter ketika menentukan keputusan bodoh. Octavia Spencer (pemeran Johanna), Naomi Watts, dan Jeff Daniels pun sama menderitanya tapi lebih kepada minimnya kesempatan bagi mereka untuk unjuk gigi. Disia-siakan begitu saja. Melihat betapa memprihatinkannya nasib para bintang film-aktris di Allegiant akhir dari buruknya naskah dan pengarahan, aku cukup yakin dikala ini Kate Winslet sedang tak henti-hentinya bersyukur alasannya sudah tidak lagi terlibat di franchise ini.

Setelah menyaksikan Allegiant, apakah ada ketertarikan untuk melanjutkannya ke jilid (alhasil) pamungkas, Ascendant?

Poor (2/5)

Post a Comment for "Review : Allegiant"