Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Gallows


Mungkin membutuhkan waktu cukup usang bagi penonton awam untuk menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan, “kapan terakhir kali film menyeramkan berkonsep found footage mencengkrammu akrab?” sementara bagi pecinta tontonan horor kelas berat, mampu jadi jawabannya ditemukan pada The Taking of Deborah Logan (surprisingly good!). Dimanapun posisimu, sulit untuk ditampik bahwa semakin langka menemukan sajian yang meninggalkan kesan mendalam pada subgenre ini dengan Hollywood berulang kali meluncurkan tontonan berkualitas menyedihkan – halo, Devil's Due dan The Pyramid! – ke layar perak dalam beberapa tahun terakhir sehingga tak mengherankan bila lantas skeptisisme melanda para penggemar film horor found footage. Kepercayaan yang mulai meluntur ini pun sepertinya belum bisa dibangkitkan dalam waktu erat oleh menu terbaru dari Blumhouse Productions, rumah produksi yang memberi kita Paranormal Activity, Insidious, dan seabrek film horor lain, bertajuk The Gallows yang sekalipun berada di level cukup terhormat tapi terang tidak dibekali daya mencukupi untuk membuat penonton kembali yakin. 

Gagasan yang dikemukakan oleh The Gallows sejatinya menarik, menyoal urban legend berwujud kisah hantu di sebuah sekolah menengah yang semuanya dimulai di tahun 1993 saat pementasan drama berjudul ‘The Gallows’ berbuntut bencana dengan tewasnya Charlie Grimille karena properti mengalami malfungsi. Selama belasan tahun semenjak kejadian tersebut, pihak sekolah menghentikan pementasan ‘The Gallows’ sampai diputuskan untuk dibangkitkan kembali dua tahun kemudian. Seorang atlet football bernama Reese (Reese Mishler) menetapkan terlibat dalam produksi ini semata-mata demi mendekati gadis yang ditaksirnya, Pfeifer (Pfeifer Brown), meski pada kenyataannya dia tidak memiliki bakat akting yang mumpuni. Demi ‘menyelamatkan muka’ Reese, teman baiknya yang menjengkelkan, Ryan (Ryan Shoos), bersama sang kekasih, Cassidy (Cassidy Gifford), berinisiatif menggagalkan pertunjukkan dengan cara menyelinap masuk ke sekolah di malam menjelang hari-H untuk mengobrak abrik panggung. Awalnya tentu saja berjalan sesuai planning, sampai hantu Charlie yang selama ini menjadi bahan kisah-kisah menakutkan menyambut kedatangan mereka. 

Duo sutradara pemula, Travis Cluff dan Chris Lofing, memulai langkah The Gallows secara mantap dengan memberi penonton mimpi buruk melalui rekaman Charlie meregang nyawa di atas panggung yang memunculkan kesan faktual. Walau berlangsung singkat, opening scene dari The Gallows yang boleh dibilang merupakan salah satu pembuka terbaik di ranah film memedi dalam beberapa tahun terakhir ini, tergolong efektif dalam menjadikan rasa kejut pula takut sekaligus membangkitkan mood penonton untuk mengetahui seberapa jauh si pembuat film akan menggeber teror demi teror sepanjang durasi. Menyusul prolog yang mengejutkan ini, The Gallows mengaplikasikan gaya bertutur film sejenis yang tidak cepat memanas dengan menit-menit awal diisi percakapan-percakapan menjemukan seraya memperkenalkan setiap aksara (termasuk mereka yang tidak mempunyai donasi signifikan terhadap guliran alur secara keseluruhan sekalipun) kepada penonton. Film kembali menerima sisi menariknya tatkala Reese dan konco-konco mendobrak masuk ke sekolah pada malam hari dengan nuansa creepy semerbak tercium di setiap sudut. 

Ya, persoalan yang menjumpai setiap huruf memang terlampau klise: masuk, terjebak, terteror, dan... (isi sendiri), dengan skrip yang tergolong menggelikan khususnya di bagian konklusi, tapi The Gallows masih mempunyai sisi mengasyikkannya sendiri berkat cakapnya pergerakan kamera – walau seringkali mencederai logika – dan trik menakut-nakuti sekalipun busuk mampu dipergunakan secara sempurna guna oleh Cluff serta Lofing. Duo sutradara ini tahu betul kapan saat yang sempurna dalam memunculkan jumpscares semoga tak berkesan mubazir sehingga penonton mampu dibuat terlonjak dari kursi bioskop, menahan nafas, sekaligus sesekali menjerit. Masih ditemukannya kesenangan disana sini, terutama menginjak babak kedua ketika berkejar-kejaran dengan ajal dimulai hingga menjelang tutup durasi ketika tersisa satu dua tokoh berjuang mempertahankan diri, menempatkan The Gallows di level lebih terhormat ketimbang sederet film horor berkonsep found footage dalam beberapa tahun terakhir. Walau bukan juga sebuah tontonan yang istimewa atau menawarkan pembaharuan di genrenya, setidaknya The Gallows tidak mengabaikan satu faktor yang membuatnya masih cukup layak buat disimak: fun.

Acceptable

Post a Comment for "Review : The Gallows"