Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Shallows


“Get out of the water. Shark!” 

Setelah puas ‘ngerjain’ Liam Neeson melalui tiga film berturut-turut; Unknown, Non-Stop, sampai Run All Night, Jaume Collet-Serra membutuhkan sedikit penyegaran. Dia mencari korban gres untuk disiksanya habis-habisan secara fisik dan mental di film teranyarnya. Pilihan jatuh kepada istri bagus Ryan Reynolds, Blake Lively, yang ndilalah tengah berburu tugas menantang lantaran terinspirasi oleh kinerja jago sang suami di Buried. Dalam The Shallows – begitu judul dari proyek film termutakhir yang ditangani oleh Collet-Serra – Blake Lively diposisikan pada satu situasi yang serupa tapi tak sama dengan Reynolds, adalah terisolasi. Jika Buried sepenuhnya menetapkan interaksi sang bintang film Deadpool bersama makhluk hidup lain mengingat beliau terkubur cukup dalam, maka Lively di The Shallows masih sedikit lebih beruntung alasannya beliau mampu menghirup udara segar, pandangan tak terbatas dan mendapat ‘teman ngobrol’ walau tetap saja beruntung yaitu kata yang terlalu manis buat mendeskripsikannya alasannya adalah Lively terdampar di kerikil karang dengan ukiran luka serius menghiasi sekujur kaki seraya dikelilingi hiu putih ganas yang siap kapanpun buat mencaploknya hidup-hidup. 

Peran yang dimainkan Blake Lively yakni Nancy Adams, seorang mahasiswi kedokteran yang memutuskan untuk mengentikan studinya menyusul meninggalnya sang ibu. Di tengah masa berkabungnya, Nancy berkelana seorang diri ke sebuah pantai tak bernama – penduduk setempat hanya menyebutnya ‘Paradise’ – di Meksiko yang dulunya pernah disinggahi oleh sang ibu guna dijadikan tempat berselancar abad mengandung Nancy. Mulanya, Nancy tak menjumpai ancaman mengintai selama menunggangi ombak di pantai tersebut bahkan ia sempat berbincang-bincang dengan dua peselancar lain. Hanya saja, begitu beliau sedikit mengindahkan larangan dari penduduk setempat untuk berselancar dikala matahari berkemas-kemas kembali ke peraduannya, sebuah konsekuensi diterimanya. Dia menemukan bangkai ikan paus terapung yang kemudian disusul ‘sambutan hangat’ dari seekor hiu besar yang menganggap Nancy telah mengotori makan malamnya. Mendapatkan cinderamata di kaki hasil dari serangan cepat sang hiu, Nancy terhuyung-huyung menyelamatkan diri ke batu karang kemudian mencoba mengobati lukanya. Di sana Nancy bertemu dengan seekor burung camar yang terluka dan keduanya terperangkap di watu karang lantaran sang hiu enggan berhenti berpatroli mengitari Nancy. Protagonis kita lantas dihadapkan pada dua pilihan; menunggu pinjaman datang yang entah kapan sementara lukanya terus memburuk atau menaklukkan sang hiu seorang diri. 

Selain Nancy yang memegang kendali penuh atas pergerakan plot, tidak banyak insan lain yang berlalu lalang sepanjang film. Kita hanya menjumpai seorang warga lokal yang mengantarkan Nancy ke pantai, dua peselancar, adik beserta ayah Nancy (menampakkan diri melalui video call), seorang pemabuk, dan bocah yang bermain-main di bibir pantai seraya menendang-nendang bola. Itupun durasi maksimal kemunculan masing-masing tidak melewati menit kelima. Dengan ‘kesunyian’ semacam ini, jelas peranan Lively dan Collet-Serra sangat krusial. Mereka termasuk berada di garda terdepan untuk menentukan apakah intensitas yang dikedepankan The Shallows mampu terjaga stabil, moody, atau justru kian menukik dari menit ke menit. Apalagi modal cerita teramat sangat sederhana – sepanjang 86 menit, persoalannya sebatas upaya Nancy bertahan hidup di watu karang dari kepungan hiu ganas – sangat berpotensi menggiring film ke jalur nina bobo. Dibalik kesederhanaannya, resiko yang ditanggung The Shallows memang terhitung besar. Beruntunglah Blake Lively punya pancaran karisma berpengaruh untuk ditempatkan sebagai lead dan progress aktingnya (mungkin terhitung sejak The Age of Adaline?) tengah bagus-bagusnya sehingga paling tidak film ini telah mempunyai satu fondasi cantik. 

Melalui The Shallows yang menjadi one-person show bagi Blake Lively, aktris yang karirnya melambung berkat serial Gossip Girl ini kian menandakan kapabilitasnya. Dia memberikan performa magnetis sedari menit-menit pertama periode Nancy bercakap-cakap bersama sang ‘tour guide’ yang secara otomatis mengaitkan simpati penonton ke sosoknya. Kita mengetahui ia ialah eksklusif menyenangkan buat diajak berkawan. Maka saat beliau berselancar dan si pembuat film menetapkan melepas si penebar teror, rasa khawatir terhadap nasibnya terbentuk alasannya adalah beliau terlihat mirip seseorang yang tidak seharusnya tertimpa kemalangan semacam ini. Teriakannya, erangan penuh kesakitannya, dan tangisnya sangat mampu dirasakan. Melihat bagaimana ia berjuang melewati serentetan aral melintang semoga bisa menapakkan kaki kembali di daratan merupakan alasan utama mengapa atensi tertambat ke layar perak. Ada kepedulian untuk menerima balasan atas pertanyaan, “bagaimana ya nasib Nancy berikutnya?,” yang bersumber dari hebatnya Blake Lively merepresentasikan sosok Nancy. Tapi tentu lakon bagus sang aktris akan dimentahkan lagi tanpa pengarahan apik dari sang sutradara. Jaume Collet-Serra nyatanya mempunyai insting kuat terkait kapan saat-dikala yang tepat untuk menggeber ketegangan dan kapan saat-ketika yang sempurna untuk menahannya. 

Sebelum titik puncak yang agak berlebihan dan cukup menurunkan kadar ketegangan yang sebelumnya telah terjaga stabil – peralihan drastis dari ala-ala Open Water ke ala-ala Deep Blue Sea bikin dahi mengernyit – si hiu lebih sering ditampakkan dalam bentuk siluet. Penonton ditempatkan mirip halnya Nancy yang sebenarnya acapkali mendeteksi keberadaan si hiu dari sirip menari-narinya, bila lebih beruntung mendapati bayangannya di bawah air, ketimbang melihat wujudnya secara utuh. Menekankan prinsip “less is more”, daya cekam justru lebih efektif diciptakan oleh Collet-Serra. Bukankah saat kita tidak benar-benar mengetahui mirip apa rupa lawan yang dihadapi itu terasa lebih menyeramkan daripada kita sudah memperoleh citra terang sedari mula? Biasanya, khayalan seketika bermain-main. Itulah kenapa sang tokoh antagonis di The Shallows jarang menampakkan muka demi memperlihatkan rasa tidak nyaman kepada penonton yang berulang kali melewati fase harap-harap cemas. Kemunculannya agak sulit diterka hingga-hingga begitu dia mencuat ke permukaan, memberi imbas kejut cukup tinggi. Dengan deraan teror semacam ini, bersiaplah buat terserang sesak nafas kurun menyaksikan The Shallows yang merupakan film teror hiu terbaik semenjak, emmm... Deep Blue Sea (1999)? di layar lebar.

Exceeds Expectations (3,5/5)



Post a Comment for "Review : The Shallows"