Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : 3 Srikandi


“Bukan untuk kalian, medali ini untuk negerimu.” 

Siapa menerka 3 Srikandi akan semenghibur ini buat ditonton? Ya, mengedepankan tema “from zero to pendekar” berbasis dunia olahraga cabang panahan yang disarikan dari dongeng konkret kemenangan pertama atlet Indonesia di ajang bergengsi Olimpiade, memang telah sangat mengindikasikan bahwa 3 Srikandi akan sangat melibatkan emosi penonton. Dalam hal ini, terinspirasi dan tersentuh – dua kesan yang bisa dicium dari premisnya saja. Tapi tertawa terbahak-bahak berulang kali? Nyaris dapat dipastikan, sebagian besar calon penonton tidak mengantisipasi 3 Srikandi bakal mempunyai kandungan humor cukup tinggi ditilik dari materi promosi maupun tema dramatis mengenai “perjuangan menuju puncak” yang diusungnya. Sang sutradara, Iman Brotoseno, memilih pilihan untuk melantunkan film layar lebar perdananya ini memakai nada penceritaan cenderung “ringan nan cerah” ketimbang penuh uraian air mata sejalan dengan jiwa-jiwa muda dari tiga tokoh sentral; Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, serta Kusuma Wardhani, yang ceria, dipenuhi energi bergejolak, pula tampaknya mengagungkan prinsip "girls just wanna have fun". And it works! Bahkan mampu dikata, 3 Srikandi adalah salah satu film paling menyenangkan yang aku tonton di layar lebar dalam delapan bulan terakhir. Sangat, sangat menikmati setiap menitnya. 

3 Srikandi memperkenalkan kita kepada tiga atlet wanita cabang panahan, ialah Nurfitriyana Saiman (Bunga Citra Lestari), Lilies Handayani (Chelsea Islan), dan Kusuma Wardhani (Tara Basro). Mereka bertiga mengukir prestasi berikut sejarah bagi dunia olahraga tanah air dengan memboyong medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade Seoul 1988 sehabis keikutsertaan negeri ini selama 36 tahun dalam kompetisi olahraga paling prestisius tersebut. Sepanjang durasi lebih dari 2 jam, penonton menjadi saksi atas jatuh bangunnya para srikandi demi bangun penuh kebanggaan di atas podium. Ada konflik personal yang menyertai masing-masing individu periode mereka ditempa oleh mantan atlet panahan, Donald Pandiangan (Reza Rahadian) atau erat disapa Bang Pandi, yang dikenal sangat keras pula disiplin dalam berlatih. Yana memperoleh saingan keras dari sang ayah (Joshua Pandelaki) yang mengharapkan putrinya untuk fokus menuntaskan studi, lalu Kusuma tidak memperoleh izin resmi ayahnya yang ingin biar dirinya menyambung hidup sebagai Pegawai Negeri Sipil, sedangkan Lilies yang berasal dari keluarga atlet dipusingkan oleh permasalahan asmara menyusul keengganan ibunya (Ivanka Suwandi) merestui korelasi Lilies dengan seorang atlet silat. Deraan persoalan keluarga, belum ditambah beratnya sistem pembinaan yang dibebankan Bang Pandi di tengah waktu pula peralatan serba terbatas, benar-benar menguji kesiapan fisik dan mental para srikandi dalam menghadapi berkelahi di Olimpiade Seoul 1988. 

Memuaskan ialah kata pertama yang terlintas di benak selepas menyaksikan rekonstruksi dari dongeng perjuangan para srikandi guna mencapai mimpi mereka dalam membawa pulang medali di Olimpiade. Ada banyak rasa dihantarkan selama durasi mengalun yang dilontarkan oleh perasaan bersemangat di menit-menit pertama. Meski agak tersendat-sendat di babak introduksi, 3 Srikandi mulai menemukan ritme bercerita yang lezat buat disantap begitu Yana, Kusuma, serta Lilies dipertemukan pertama kali lewat seleksi atlet Olimpiade di Jakarta. Kesan serius yang diperoleh dari latar belakang Yana; ayahnya diperlihatkan selalu murka-marah bahkan tidak memperlihatkan sedikitpun kebanggaan atas prestasi putrinya, maupun Kusuma; berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, meredup sejenak. Celetukan-celetukan lucu arek Suroboyo, Lilies, yang kerap mengucap “matek aku!” didukung tingkah laku sembrononya membawa keceriaan pada film. Dia menyuntikkan kehidupan pada tim yang mampu jadi terlalu serius mengingat Yana yang paling senior diantara ketiga srikandi cenderung kalem, Suma yang sangat mengidolakan Onky Alexander tidak banyak bertutur kata, dan Bang Pandi, well, sangatlah kaku. Salah satu ‘bantuan’ paling membekas dari Lilies yakni dikala dia menyarankan untuk menumpang angkot sebab terlalu lelah berlari yang konsekuensi dari gagasan curang tersebut memberikan ledakan tawa di gedung bioskop. 

Sosok Lilies sendiri dimainkan sangat anggun oleh Chelsea Islan dalam lakon terbaiknya, sejauh ini. Meng-handle sesi komedik secara sempurna – logat Suroboyoannya juga cukup nampol, meski bagi aku penghantaran Mario Irwinsyah (berperan sebagai Denny, kekasih Lilies) lebih luwes – Chelsea juga bersinar saat momen dramatik menghampirinya. Oh ya, sekalipun terkesan ditempatkan sebagai comic relief semata, kenyataannya cobaan hidup yang dihadapi oleh Lilies lebih berat ketimbang Yana maupun Kusuma. Itulah kenapa karakter ini tampak paling menonjol sekaligus menantang buat dimainkan. Pun demikian, bukan berarti Bunga Citra Lestari, Tara Basro, dan Reza Rahadian bermain kondusif-aman saja. Masing-masing dari mereka juga mempertontonkan atraksi berolah tugas yang tidak kalah hebatnya. BCL tampil prima sebagai Yana yang aura kepemimpinannya menguar besar lengan berkuasa (berkaca pada fakta bahwa beliau bergabung di menit-menit terakhir semakin memberi nilai plus), Tara Basro yang tampak ayu dan effortless ialah ‘si anak tengah’ pemberi keseimbangan, sementara Reza Rahadian... perlukah kita membahasnya panjang lebar? Berhasil memberikan dua sisi berbeda dari Donald Pandiangan sehingga menciptakan sosoknya tidak tampak mirip psikopat yang kerjaannya marah-murka saja, kita lagi-lagi harus mengakui bahwa ia yakni bintang film brilian dan lalu memaklumi kenapa banyak produser ingin merekrutnya. Ya, beliau sangat bagus. Chemistry-nya bersama BCL, Tara Basro, serta Chelsea Islan pun sama kuatnya sehingga memudahkan penonton untuk terhubung ke personil utama.

Tapi 3 Srikandi bukan semata-mata soal akting bagus pemain – termasuk juga Donny Damara dan Indra Birowo. Skenario renyah racikan Swastika Nohara yang didalamnya mengandung pula sentilan-sentilun ke dunia olahraga tanah air diejawantahkan ke bahasa gambar secara menarik oleh Iman Brotoseno. Seperti telah sedikit disinggung sebelumnya, permulaannya memang kurang lancar, tapi sehabis memasuki menit puluhan, pesonanya sulit dibendung. Berbagai macam emosi hadir silih berganti. Entah itu tergugah semangat melihat upaya penuh kesungguhan para srikandi untuk mewujudkan harapan mereka, tertawa-tawa menyimak interaksi kocak ketiga atlet bersama sang pelatih, hingga tersentuh yang mencuat dari beberapa momen salah satunya menyaksikan luapan tangis bahagia para tokoh sentral begitu misi mereka mampu terlaksana. Emosi-emosi tersebut mencuat sebagai hasil dari kombinasi ciamiknya olah tugas, pengarahan, dan naskah yang mendapat acuan juga dari departemen teknis; tata busana, rias, artistik, hingga pemilihan lagu-lagu pengiring, yang tertata cukup detil sehingga nuansa 80-an terpancarkan. Para penonton dari generasi 1980-an dijamin akan bersorak-sorak kegirangan seiring melubernya nostalgia disana-sini mirip dilakukan oleh kakak saya saat Onky Alexander numpang lewat atau tembang “Ratu Sejagad”-nya Vonny Sumlang berkumandang. Ya, ada banyak kesenangan yang ditampilkan 3 Srikandi hingga-sampai cita-cita menontonnya lagi langsung muncul tatkala mengenang momen-momen terbaik dari film.

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : 3 Srikandi"