Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Suicide Squad


“Let’s do something fun” 

Tatkala pertarungan dua satria komik paling ikonik berakhir luar biasa lempeng – sangat jauh dari kesan gegap gempita seperti diperkirakan – begitu diinterpretasikan ke bahasa gambar oleh Zack Snyder, skeptisisme terhadap film-film adaptasi DC Comics selanjutnya menggelembung. Tidak terkecuali kepada rilisan terbaru dari DC Extended Universe, Suicide Squad, yang dikomandoi sutradara jempolan, David Ayer (End of Watch, Fury). Munculnya pemberitaan mengenai pengambilan gambar ulang menyusul dikecamnya Batman v Superman: Dawn of Justice di bermacam-macam media hiburan telah mengirimkan sinyal mengkhawatirkan terkait hasil simpulan Suicide Squad. Betul saja, begitu gerombolan penjahat kelas kakap berkarakter nyeleneh ini dilepas ke pasaran, setidaknya terdapat dua kabar bertolak belakang dihantarkan sekaligus kepada mereka yang telah mengantisipasi kemunculannya; menggembirakan dan berada di ambang memilukan. Menggembirakan alasannya adalah Suicide Squad sedikit lebih baik ketimbang Dawn of Justice (setidaknya sekali ini tidak dibuat terkantuk-kantuk. Silahkan bernafas lega!), sedangkan memilukan lantaran problematika yang menggerusnya tidak jauh berbeda dari film pendahulu kendati telah memperoleh sokongan dari tim-tim ahli. 

Plot Suicide Squad bertolak sempurna setelah Dawn of Justice tutup kisah. Seorang agen inteligen utusan pemerintah Amerika Serikat, Amanda Weller (Viola Davis), mencoba meyakinkan atasannya untuk membentuk tim penyelamat dunia – jaga-jaga seandainya Superman lainnya menciptakan kekacauan – yang terdiri atas sekumpulan pelaku tindak kriminal. Alasan utamanya sederhana; mereka tidak memiliki nilai tawar. Seandainya tim ini melakukan kesalahan fatal, mudah bagi pemerintah menyangkal begitu saja keberadaan mereka dan jika perlu, menghabisi personel tim tanpa perlu khawatir ada pihak-pihak yang merasa kehilangan. Terpersuasi, Amanda diberi izin membentuk tim berjulukan Task Force X, atau lalu lebih dikenal sebagai Suicide Squad. Konfigurasinya mencakup penembak jitu Deadshot (Will Smith), mantan psikiater yang menjadi edan Harley Quinn (Margot Robbie), anggota gang berkekuatan api Diablo (Jay Hernandez), pembunuh bayaran asal Australia Boomerang (Jai Courtney), dan kriminal berkulit selayaknya buaya Killer Croc (Adewale Akinnuoye-Agbaje). Dibawah supervisi eksklusif dari Rick Flag (Joel Kinnaman), mereka harus menyingkirkan ego masing-masing untuk bersatu padu melawan kekuatan jahat yang berusaha menaklukkan dunia. 

Potensi besar menjadi film pembiasaan komik paling menggemparkan di tahun 2016 atau malah dalam beberapa tahun terakhir sebetulnya telah berada pada genggaman Suicide Squad. Ingat bagaimana kita diluar dugaan diajak bersenang-bahagia oleh film superhero tetangga, Guardians of the Galaxy, dua tahun silam sekalipun barisan karakternya masih sepenuhnya gila bagi penonton kebanyakan? Kedua film tersebut intinya mempunyai landasan serupa mengenai sekelompok antihero – khusus untuk Suicide Squad kita memanggilnya supervillain – yang dipaksa bekerja sama guna memerangi sosok lebih keji daripada mereka. Membawa tingkah laku pastinya asing dibandingkan kebanyakan para superhero sejati yang lebih sering berkelakuan normal mengingat menyandang status role model, ada keasyikkan tersendiri menyimak interaksi diantara personil. Di Suicide Squad, abjad berjiwa eksentrik bisa ditemukan dalam sosok Harley Quinn, Boomerang, Killer Croc, dan sesekali Deadshoot. Merekalah penyumbang sebagian besar amunisi humor – oh ya, ada tawa canda disini. Tenang saja! – pada film. Walau tidak sedikit diantaranya gagal mengenai target abad dilesakkan, setidaknya masih terdapat beberapa celetukan berikut kelakuan mereka, utamanya Harley, yang mengundang derai tawa. 

Kuncinya, performa jitu gugusan pelakonnya. Margot Robbie dan Will Smith sama-sama tampak sangat menikmati memainkan aksara mereka yang tengil. Keberadaan keduanya begitu menjulang di tengah-tengah riuhnya aksara yang bersliweran sepanjang film. Selain mereka, Suicide Squad turut diperkuat tangguhnya akting Jared Leto sebagai Joker yang meninggalkan kesan seram tanpa harus menduplikasi penampilan jago Jack Nicholson dan Heath Ledger sekalipun jatah tampilnya hanya sekejap saja (oh ya, beliau lebih ke cameo – sisipkan emoji tears) dan Viola Davis. Kehebatan Davis dalam menaklukkan peran-peran menantang kembali terbukti disini. Amanda Weller, dibalik kemeja maupun tampilannya yang rapi jali seperti mak-mak kantoran biasa, ternyata menyimpan sisi gelap yang jauh lebih mengancam daripada para personil Suicide Squad dan villain-nya sendiri. Amanda ialah perwujudan dari istilah tenang-damai menghanyutkan atau meminjam ucapan Deadshot, “she is just a mean lady.” Kamu tidak mau berurusan dengannya, kecuali berharap dijemput akhir hayat. Sedangkan barisan pemain pendukung... anggap saja mereka tidak ada. Well, bukannya Joel Kinnaman, Jai Courtney, Jay Hernandez, Adewale Akinnuoye-Agbaje, dan lain-lain yang bahkan tidak bisa diingat keberadaannya menyuguhkan lakon jelek. Hanya saja, tuturan Suicide Squad enggan mengizinkan abjad mereka buat berkembang dan inilah salah satu perkara besar dari film ini. 

Begini. Ketika kamu menghadiri sebuah pesta, lalu berkenalan berbasis basa-basi yang berarti tidak sampai 5 menit dengan katakanlah lebih dari 7 tamu, berapa persen kemungkinan mampu mengingat kesemuanya sehabis satu jam berlalu? Kecuali kamu memiliki daya ingat tajam, besar kemungkinan hanya separuhnya yang masih meninggalkan impresi. Suicide Squad, kurang lebih semacam itu. Kita mengenal Harley Quinn serta Deadshot alasannya mereka dikondisikan memperoleh jatah tampil paling tinggi pula mendapat backstory mencukupi, menyusul lalu Diablo. Tapi apa kita memahami siapa anggota squad semacam Captain Boomerang, Killer Croc dan huruf-huruf lainnya? Keberadaannya antara ada dan tiada, sampai-hingga diri sendiri lupa bahwa mereka ikut serta masa separuh perjalanan telah dicapai. Apa kelebihan mereka? Apa yang menciptakan mereka unik? Dan paling penting, apa bantuan yang mereka berikan pada tim kecuali sebagai komplemen sehingga mampu disebut ‘squad’? Bisa dibilang, tidak ada signifikansinya andaikata huruf-huruf ini dilenyapkan. Begitu salah satu dari mereka menghilang, sulit untuk peduli dan begitu salah satu dari mereka menyebut Suicide Squad sebagai “family” di penghujung film, kesan janggal justru menyergap alasannya adalah kita tidak pernah melihat munculnya unsur-unsur senyawa di sekitaran mereka. Lebih lagi, tim ini lebih ibarat sekumpulan antihero ketimbang what-so-called supervillain. Hey, mereka bahkan kalah kejam dari Amanda! 

She’s the real villain, I guess. Karena antagonis utama yang dihadapi Suicide Squad pun errr... cemen. Oke, dari segi kekuatan memang menakjubkan walau sangat tidak berimbang hingga-hingga di satu titik mengira tim Ghostbusters akan datang memperlihatkan pertolongan. Tapi motivasinya sangat tempo dulu (hmmm... apa tidak ada yang lebih meyakinkan selain menguasai dunia?) dan penyelesaiannya terlampau gampang. Saya juga gres menyadari bahwa beliau lah yang harus ditaklukkan para ‘satria’ kita sehabis menit melewati angka 60 lebih. Sheesh. Terlalu banyaknya yang ingin diceritakan – disamping Suicide Squad versus si jahat, masih ada cabang lain soal asmara Harley-Joker yang sengaja diada-adakan demi memberi kesempatan Joker untuk muncul serta percintaan Flag-June (Cara Delevingne) yang tragis – justru menghambat laju plot utama dan mengikis ruang bagi perkembangan karakter yang seharusnya menjadi sorotan. Beruntung Suicide Squad masih dikaruniai barisan pemain-pemain berlakon bagus, humor cukup lucu, sekaligus isian lagu-lagu pengiring asyik alasannya adalah tanpa kombinasi ketiganya, film ini sangat mungkin berakhir hampa. Ya, sehampa ekspresi Cara Delevigne saat berkembang menjadi menjadi Enchantress. 

Note : Oh ya. Bertahanlah di kursi bioskop begitu film usai alasannya ada sebuah mid-credits scene yang sayang buat dilewatkan.

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : Suicide Squad"