Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : My Stupid Boss


“Impossible we do, miracle we try.” 

Coba bayangkan, bagaimana rasanya kalau kamu bekerja di negeri orang dan menerima komando dari seorang atasan bersemboyan “Bossman always right” serta memiliki prinsip “impossible we do, miracle we try”? Belum apa-apa, hanya membayangkannya saja sudah terdengar seperti mimpi buruk, bukan? Nasib apes memiliki bos luar biasa gila ini dialami Diana (Bunga Citra Lestari) kurun menetap di Kuala Lumpur, Malaysia, mengikuti sang suami, Dika (Alex Abbad). Begitu mendengar calon atasannya ialah warga Indonesia mirip dirinya dan merupakan kawan usang sang suami, beliau berpikir “apa sih yang mungkin salah?.” Adanya satu dua kesamaan mampu jadi akan memudahkan mereka untuk saling berinteraksi dan segala bayangan cantik mengenai calon atasan seketika buyar tak bersisa pada perjumpaan pertama. Ternyata oh ternyata, laki-laki berkumis lele dengan rambut setengah botak dan perut menggelembung yang minta dirinya dipanggil “Bossman” (Reza Rahadian) ini sangat mungkin memperoleh nominasi, bahkan memenangkan, penghargaan Atasan Paling Menjengkelkan apabila penghargaan semacam itu benar-benar ada. Tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak Diana bekerja dengan Bossman akan membuatnya tersiksa lahir batin sedemikian rupa.  

My Stupid Boss merupakan hasil visualisasi Upi (Realita Cinta dan Rock ‘n Roll, Belenggu) dari rangkaian buku laku berjudul sama karya Chaos@work yang menceritakan pengalaman-pengalaman konyol sang pengarang dalam menghadapi tingkah laku sang atasan. Seperti halnya materi sumber, My Stupid Boss pun lebih ibarat sekumpulan bagan komedi yang dirajut menjadi satu mempergunakan teknik penyuntingan ketimbang satu cerita utuh. Sepanjang film penonton hanya disodori segmen demi segmen yang mempertontonkan ‘kekejaman’ Bossman dalam menyiksa para bawahannya tanpa ada kisah yang berkesinambungan. Tiada dibekali skrip kokoh dengan guliran penceritaan mengikat dan barisan aksara yang simpatik untuk menambat atensi penonton, Upi bahwasanya mengambil keputusan sangat beresiko. Apabila lontaran-lontaran humor yang dijadikan pegangan utama tidak mencukupi kandungan gregetnya, My Stupid Boss sangat berpotensi berakhir sebagai peristiwa. Dibutuhkan konsistensi menjaga derai tawa biar penonton tidak harus menghadapi kelelahan atau malah kantuk berat. Ini jelas bukan masalah gampang. My Stupid Boss pun sempat beberapa kali berada dalam posisi nyaris kehabisan materi bakar sehingga besar lengan berkuasa pada melambatnya laju film di beberapa titik. 

Untungnya, My Stupid Boss memiliki lebih banyak stok lelucon yang mengenai target ketimbang meleset. Saat sasaran dikenai, kelucuannya bisa sangat-sangat lucu. Dengan penghantaran guyonan sering sempurna sesuai waktu, misi untuk meledakkan bioskop memakai tawa berkepanjangan dapat dicapai. Pepesan kosong terhindarkan dan keputusan nekat Upi mempertahankan film selayaknya kumpulan denah komedi pun terbayarkan. Menghibur dan mengasyikkan, seketika menjadi padanan kata yang cocok bagi My Stupid Boss. Semenjak Diana menjejakkan kaki di kantor barunya, kemudian mencium adanya ketidakberesan dalam sosok Bossman – beserta rekan-rekan kerjanya – perut penonton telah dikocok-kocok tanpa ampun. Dan ini terus berlanjut pada menit-menit berikutnya. Bagi kau yang pernah merasakan berada di posisi Diana, level kekocakannya sangat mungkin berlipat ganda. Memang sih, seperti telah disinggung juga di paragraf sebelumnya, megap-megap alasannya bahan candaan mulai mengering tak mampu terhindarkan terlihat dari adanya repetisi-repetisi, namun untuk ukuran sebuah film yang kontennya melulu ngebanyol tanpa mempergunakan momen dramatik di sela-sela (well, kecuali pada bagian konklusi yang kemunculannya juga terasa dipaksakan dan sama sekali tidak perlu) maupun momen berintensitas tinggi, My Stupid Boss terhitung berhasil menjaga laju film secara konstan untuk senantiasa berada di atas garis ‘mampu dinikmati’ hingga tutup durasi. 

Setidaknya ada dua kunci keberhasilan My Stupid Boss. Pertama, timing ngelaba yang pas. Kedua, performa mempesona jajaran pemainnya. Tidak peduli seberapa bosan kau melihat wajah Reza Rahadian wara-wiri di banyak sekali judul film layar lebar – hingga-sampai mengeluh, “Reza lagi, Reza lagi” – sangat sulit menampik fakta bahwa beliau ialah bintang film mahir. Menunjukkan totalitasnya dalam bersandiwara, Reza bertransformasi secara mulus menjadi Bossman yang tindak tanduknya akan membuatmu gemas bukan kepalang. Bahkan, hanya melihat gestur muka Bossman saja tanpa perlu ia mengucap sepatah katapun menggunakan logat Jawanya yang kental, kita sudah serasa ingin memelintir kumis lelenya. Ngeselin! Bagusnya akting Reza turut menular ke pelakon lain. Sosok Diana atau Kerani yang agak-agak judes dimainkan Bunga Citra Lestari dengan luwes dan jalinan chemistry-nya bersama Reza tampak meyakinkan tanpa sedikitpun mengingatkan kita kepada Habibie & Ainun (which is good!). Sedangkan para karakter pendukung seperti Dika, Sikin (Atikah Suhaime), Adrian (Bront Palarae), Azhari (Iskandar Zulkarnain), Mr. Kho (Chew Kinwah), dan Bu Boss (Melissa Karim) juga memperlihatkan donasi penting biar ajaran humor tetap mengalir lancar dengan kredit khusus diberikan kepada Chew Kinwah yang kemunculan khasnya tidak pernah gagal mengundang gelak tawa. 

Adegan favorit : Bossman ‘menghilang’ sejenak, para pekerja merayakannya penuh suka cita dengan iringan lagu Cindai kepunyaan Siti Nurhaliza.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : My Stupid Boss"