Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Aisyah Biarkan Kami Bersaudara


"Sebaik-baiknya sarjana adalah yang mengabdikan ilmunya untuk masyarakat. Sementara sarjana yang sekedar bekerja itu sarjana kelas dua."

Walau sejatinya secara personal telah mengalami kejenuhan teramat sangat menyaksikan film berembel-embel reliji, Aisyah Biarkan Kami Bersaudara mempunyai dua daya tarik cukup berpengaruh yang menciptakan saya tak kuasa memberi penolakan. Pertama, keterlibatan Laudya Cynthia Bella yang permainan lakonnya tengah menguat, dan kedua, Aisyah Biarkan Kami Bersaudara mengusung gosip agak berbahaya di bawah penanganan salah kaprah mengenai toleransi antar umat beragama. Sempat ketar ketir film ini akan berakhir seperti selayaknya sederet film religi buatan sineas tanah air dalam beberapa tahun belakangan yang guliran penceritaannya kelewat tendensius serta penyampaian pesan moral serba verbalnya justru bikin indera pendengaran panas alih-alih bikin hati adem, kenyataannya Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (baiklah, biar tidak terlalu panjang, sebut saja Aisyah BKB) justru tidak demikian. Dihantarkan elegan tanpa terlihat kelewat kasar untuk mengkhotbahi penonton menimbulkan Aisyah BKB terasa begitu indah, hangat, menyentuh sekaligus penting. Mungkin masih terlalu dini, namun aku mempunyai keyakinan berpengaruh Aisyah BKB akan menjadi salah satu kandidat kuat peraih kategori Film Terbaik di banyak sekali ajang penghargaan film pada akhir tahun ini. 

Bersama Aisyah (Laudya Cynthia Bella), kita memasuki sebuah perkampungan bernama Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang sangat terpencil. Tujuan Aisyah sendiri merantau jauh dari Jawa Barat ke perkampungan ini yaitu untuk mengajar. Yayasan daerah beliau mendaftarkan diri menugaskannya ke NTT. Walau sempat ditentang keras oleh sang ibu (Lydia Kandou) lantaran khawatir putrinya tersebut kesulitan mengikuti keadaan mengingat lingkungan yang sama sekali berbeda, Aisyah tetap teguh pada pendiriannya alasannya ingin mewujudkan impian almarhum ayah: menjadi insan yang berkhasiat bagi sesama. Tidak gampang bagi Aisyah melewati hari demi hari di Dusun Derok. Selain terusan ke dunia luar terhitung ribet yang jangankan memperoleh sinyal seluler, kampung ini bahkan tidak menerima aliran listrik sampai-hingga untuk mengisi baterai ponsel genggamnya Aisyah harus menitipkannya terlebih dahulu ke pedagang sayur keliling, Aisyah juga mendapat penolakan keras dari salah satu muridnya, Lordis Defam (Agung Isya Almasie Benu), hanya karena berbeda agama. Beruntung Aisyah memperoleh bantuan dari Pedro (Arie Kriting) dan para warga sehingga perlahan tapi niscaya cita-citanya dapat terwujud. 

Aisyah BKB ialah film reliji. Itu betul. Tapi beliau bukanlah film reliji konvensional yang hanya mempergunjingkan berita personal satu agama saja melainkan cenderung universal seolah-olah ingin mengingatkan bahwa Indonesia bukan cuma ada Islam. Topik pembahasan utama di film aba-aba Herwin Novianto (Tanah Surga... katanya, Jagad x Code) ini mengenai toleransi antar umat beragama. Si pembuat film mencoba memberikan bahwa tidak ada yang lebih indah ketimbang cinta dan kasih. Salah satu materi promosi film, adalah trailer, memang seolah mengindikasikan masyarakat Dusun Derok yang notabene beragama Nasrani menawarkan ketidaksukaan atas eksistensi guru beragama Islam di kampung halaman mereka. Entah telah menonton filmnya atau belum, beberapa netizen menyalahpahami Aisyah BKB sebagai bentuk propaganda agama tertentu untuk membenci agama tertentu. Kenyataannya, bukan wajah-wajah penuh amarah yang ingin ditunjukkan oleh film ini, melainkan keharmonisan. Bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang untuk bersosialisasi dan paling penting, saling membantu satu sama lain. Bagusnya, konsep soal pluralisme agama tersebut tak didefinisikan kebablasan oleh Herwin maupun sang peracik skenario, Jujur Prananto. 

Tidak ada adegan Aisyah mengikuti perayaan Natal meski ia diperlihatkan membantu murid-muridnya menyusun pohon Natal atau Aisyah terpaksa menyantap daging babi untuk makan malamnya sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah mengingat tidak ada pilihan lain (well, kecuali mi instan) sementara ia juga memiliki masalah pencernaan. Tidak ada. Sikap toleran yang ditunjukkan Aisyah, begitu pula murid yang akrab dengannya, Siku Tafares (Dionisius Rivaldo Moruk), dan penduduk kampung masih sebatas sesuai porsi. Demi menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang mendadak menempatkannya sebagai minoritas, Aisyah tidak lantas menanggalkan pedoman-fatwa agama yang diyakininya. Penduduk kampung juga tidak menunjukkan pelarangan atau menyusahkannya. Satu-satunya kebencian yang diterima oleh Aisyah berasal dari Lordis Defam. Itupun dilandasi alasan kuat dan masuk logika. Tumbuh bersama seorang paman yang pemarah, Lordis dicekoki ajaran bahwa Aisyah akan menghancurkan gereja-gereja di sekitar mereka. Mengingat gosip mengenai penghancuran gereja oleh ormas Islam tengah merebak kemudian Lordis plus beberapa mitra, pada mulanya, mampu jadi belum pernah mengenal berkawan langsung dengan seseorang beragama Islam, ketakutan berbuah kebencian ini mampu dipahami. 

Pun begitu, Aisyah BKB tidak menghabiskan waktunya untuk sekadar membahas persoalan tersebut. Si pembuat film lebih asyik memotret momen-momen kebersamaan Aisyah bersama para muridnya beserta warga kampung yang seringkali menyentuh hati. Kita melihat Aisyah yang aura meneduhkannya berhasil dipancarkan oleh Laudya Cynthia Bella menerapkan sistem pengajaran menyenangkan kemudian sesekali mengajak murid-muridnya berjalan-jalan ke kota, membantu Bu Dusun mengambil air, sampai menunjukkan solusi atas kurangnya air bersih di desa. Adanya chemistry manis antara Bella dengan para pelakon lain khususnya Dionisius Rivaldo Moruk dan Arie Kriting (dalam lakon terbaiknya!) semakin memberi iktikad bahwa setiap penduduk mempunyai relasi dekat yang sangat baik satu sama lain. Maka saat ada satu momen penuh kebaikan muncul – Roger Ebert selalu berkata, kebaikan lebih sering membuatnya emosional ketimbang kesedihan – diiringi musik grande dari Tya Subiakto, sulit menahan anutan air mata. Adegan mendekati penghujung film yang melibatkan ibu-ibu perkampungan ini berpotensi menceramahi, namun skrip, akting, musik, dan pengarahan cermat membawanya sebagai salah satu highlight bagi film yang inspiratif ini. Inspiratif? Ya, alasannya saya juga memiliki akidah para penonton akan tergerak hatinya untuk berbuat sesuatu yang berkhasiat bagi sesama selepas menyaksikan Aisyah BKB. What a lovely movie!

Adegan favorit : Ada tiga. Pertama, saat Aisyah makan malam bersama para penduduk desa untuk pertama kalinya. Kedua, periode ibu-ibu kampung menemui Aisyah. Dan terakhir, adegan 'serah terima' sajadah. Bikin hati berdesir saking indahnya.

Outstanding (4/5)



Post a Comment for "Review : Aisyah Biarkan Kami Bersaudara"