Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Midnight Special


“I like worrying about you, Alton.” 

Dua orang pria, Roy (Michael Shannon) dan Lucas (Joel Edgerton), pergi terburu-buru meninggalkan motel. Mereka membawa serta seorang bocah berusia delapan tahun yang mengenakan kacamata khusus untuk membantu penglihatannya, Alton (Jaeden Lieberher). Dari sebuah gosip di kaca kaca yang dipirsa Roy pada permulaan film, penonton memperoleh informasi bahwa status Roy ialah buron. Dia dituduh menculik Alton. Sejurus kemudian, kita melihat mereka bertiga menunggangi mobil berkecepatan tinggi dan melintasi beberapa negara bagian mencoba menghindari kejaran pihak berwajib. Untuk sesaat si pembuat film membiarkan penonton meyakini Alton merupakan korban penculikkan kedua laki-laki tersebut sampai di satu titik terkonfirmasi korelasi bahu-membahu antara si bocah dengan Roy. Tidak hanya itu, kita juga mengetahui alasan bahwasanya Roy dan Lucas membawa kabur Alton dari tempat mereka bermukim sebelumnya sehingga ketiganya dikejar-kejar oleh dua pihak yang masing-masing memiliki kepentingan terselubung dibalik alasan ingin menyelamatkan Alton dari cengkraman Roy.  

Jangan terkecoh sinopsis Midnight Special yang seolah mengisyaratkan akan hadirnya gelaran seru bermuatan ‘boom boom bang’ mencukupi di dalamnya alasannya adalah seperti karya-karya Jeff Nichols terdahulu – sebut saja Take Shelter dan Mud – film keempat sang sutradara ini terang tidak dipresentasikan sebagai tontonan eskapisme murni yang dapat kamu nikmati secara santai seraya mencemil berondong jagung sekaligus menyeruput minuman bersoda di gedung bioskop walau ya, bisa dibilang Midnight Special adalah buah karyanya yang paling ngepop. Laju pengisahannya tetap mengalun lambat yang akan sangat menguji kesabaran penonton penggemar film bertempo cergas dan sekalipun Midnight Special seperti bentuk penghormatan Nichols kepada film-film fiksi ilmiah buatan Steven Spielberg semacam E.T. atau Close Encounters of the Third Kind, kau tidak mampu mengharap munculnya spektakel epik dengan visualisasi mencengangkan alasannya adalah disamping bujetnya terhitung minimalis, Nichols tetaplah Nichols yang menganggap abjad adalah elemen paling penting dalam menggerakkan film. 

Masalahnya, barisan karakter yang bersliweran sepanjang film tidak cukup bernyawa karena Nichols tidak cukup memfasilitasi mereka dengan latar belakang. Penonton dibiarkan terus bertanya-tanya, “siapa mereka? Mengapa mereka melaksanakan ini atau itu? Bagaimana ini atau itu bermula?” tanpa pernah ada penjelasan memuaskan untuk semua pertanyaan tersebut. Lantaran tidak mampu mengenal baik setiap huruf termasuk ketiadaan motif jelas yang melandasi setiap agresi mereka, muncul sekat pembatas yang menyulitkan kita untuk benar-benar terhubung secara emosi utamanya kepada hubungan Alton dengan Roy yang seharusnya menjadi kunci. Kepedulian untuk Alton, Roy, Lucas, bahkan ibunda Alton (Kirsten Dunst) gagal tersematkan. Memang ada satu momen yang memunculkan rasa tegang dikala mobil mereka terjebak di antrian panjang, namun selebihnya, Midnight Special bercita rasa masbodoh dan datar. Jajaran pelakonnya pun tidak bisa membantu banyak – terhitung hanya Joel Edgerton yang memberi performa istimewa – terlebih chemistry diantara mereka hanya berada di level “bolehlah”

Padahal Midnight Special bekerjsama punya materi kupasan yang cukup menggiurkan dan berpotensi mengusik pikiran. Coba bayangkan bagaimana jika film fiksi ilmiah ala Spielberg dipertemukan dengan religious theme? Oh ya, Midnight Special terbilang kental unsur religinya. Ada perwujudan Yesus dalam sosok Alton begitu pula Yudas Iskariot serta Pontius Pilatus di aksara lain. Lalu Nichols juga memperbincangkan ihwal pengorbanan, era depan lebih baik, sampai keberadaan agama gres yang berpotensi membawa kehancuran. Menarik, bukan? Hanya saja, bahan dialog semenarik plus sedalam itu gagal terhantarkan dengan baik karena Nichols enggan menggalinya lebih dalam. Penonton lagi-lagi dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengganggu yang tidak juga dijawab oleh si pembuat film. Dengan jalinan pengisahan yang seiring berjalannya durasi kian melonggarkan atensi karena ketiadaan emosi sebagai pencengkeram, mampu menikmati Midnight Special bukanlah masalah gampang. Dibandingkan Take Shelter maupun Mud, Midnight Special jelas sebuah penurunan. Sungguh sayang memeriksa betapa besarnya modal yang dimiliki oleh film ini untuk menjadi mahakarya bagi Nichols.

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : Midnight Special"