Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Captain America: Civil War


“Sorry, Tony. You know I wouldn't do this if I had any another choice. But he's my friend.” – Steve 
“So was I.” – Tony 

Usai pertarungan (seharusnya) akbar antara Batman dengan Superman berakhir dengan dengusan panjang penuh kekecewaan alasannya kesalahpahaman diantara mereka begitu mudahnya diselesaikan menggunakan kata kunci “Martha” plus aku juga masih galau kenapa mereka harus dipaksa berselisih, tidak banyak ekspektasi dibenamkan untuk Captain America: Civil War yang secara garis dongeng, well, boleh dikata mempunyai cukup banyak keserupaan. Kedua film ‘beda pengasuh’ ini sama-sama mengulik ihwal suatu masa kurun insan dibayangi ketakutan terhadap para pahlawan berkekuatan super karena kehancuran masif yang mereka tinggalkan dari setiap pertempuran. Seperti halnya sang tetangga pula, instalmen ketiga dari rangkaian film Captain America ini pun mempertemukan beberapa satria berkekuatan super untuk saling sabung otot sehingga kekhawatiran “terlalu penuh sesak kemudian fokus pun lenyap entah kemana” terus membayangi. Dan lebih lagi, Civil War menerima tongkat estafet secara tidak langsung dari Winter Soldier yang standarnya terhitung tinggi. Meski Marvel Cinematic Universe (MCU) terus mematahkan skeptisisme khalayak ramai dalam setiap rilisan terbaru mereka, ketakutan Civil War akan berakhir semenjana sulit dielakkan. 

Alih-alih memperoleh medali kehormatan – atau minimal, dielu-elukan – agresi heroik Avengers di Sokovia dan Lagos, Nigeria, ternyata memperoleh kecaman keras dari masyarakat. Tindakan mereka yang menimbulkan melayangnya puluhan nyawa tidak bersalah dinilai telah melampaui batas. Guna meredam kekacauan besar ini, PBB pun turun tangan dengan melepas Perjanjian Sokovia yang secara terperinci menyatakan pemerintah memiliki kontrol penuh terhadap Avengers sehingga kelompok superhero ini memerlukan persetujuan atas setiap aksi mereka. Kemunculan perjanjian tersebut lantas membagi Avengers ke dalam dua kubu yang masing-masing diwakili oleh Steve Rogers (Chris Evans) dan Tony Stark (Robert Downey Jr.). Steve berada di pihak ‘kontra’ beranggapan perjanjian ini sama sekali tidak memihak Avengers dan hanya akan mengekang mereka untuk mencapai misi “perdamaian dunia”, sedangkan Tony yang memilih untuk ‘pro’ merasa perlu adanya pengawasan dari pemerintah demi meminimalisir adanya kerusakkan yang tidak diinginkan. Perseteruan antar superhero yang dipicu perbedaan pandangan ini kian memanas menyusul kemunculan sahabat lama Steve, Bucky Barnes (Sebastian Stan), yang konon menjadi tersangka utama peledakan bom di Wina kurun penandatanganan Perjanjian Sokovia tengah berlangsung. 

Meremehkan Captain America: Civil War berbuah tamparan cukup keras. Anthony dan Joe Russo – atau kita sebut saja, Russo bersaudara – kembali mengambarkan bahwa mereka memang pilihan sempurna untuk mengomandoi film pembiasaan komik Marvel. Ditetapkan untuk mengalun sepanjang dua setengah jam lebih, Civil War tidak pernah berbenturan dengan kata “melelahkan” apalagi “membosankan”. Plotnya padat berisi, gelaran adegan laganya layak diacungi dua jempol, dan selera humornya yang cenderung ugalan-ugalan begitu menyegarkan suasana. Bahkan, penonton telah dikondisikan memberi perhatian lebih sedari menit-menit awal yang mengobarkan semangat. Operasi di Lagos yang berakhir kisruh paska Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) meledakkan sebuah bangunan dalam upayanya menyelamatkan Steve sekaligus masyarakat setempat ialah titik lontar sebelum kita dibawa melesat menyimak ‘perang saudara’ penuh kehebohan yang juga emosional. Tidak berselang usang, kita diberikan gambaran oleh si pembuat film perihal “apa yang sedang terjadi” dan “apa yang dipermasalahkan” sebagai bekal untuk memahami perseteruan pelik antar personil Avengers yang disoroti sepanjang durasi mengalun. 

Memilih berada di ‘Tim Captain America’ atau ‘Tim Iron Man’ mungkin terdengar mudah sebelum kita menonton Civil War dengan keberpihakan didasari oleh impresi yang didapat masing-masing individu terhadap kedua abjad tersebut dari barisan film keluaran Marvel Studio terdahulu. Akan tetapi, masalah bergabung di tim mana mampu jadi berkembang kompleks selepas kita menjadi saksi mata atas pertarungan Steve dengan Tony. Kita tidak bisa serta merta menyalahkan Steve yang berpendapat pemerintah sukar dipercaya dan keberadaan Avengers kemungkinan akan terancam disebabkan Perjanjian Sokovia ini, namun kita juga tidak mampu mengatakan keberpihakan Tony yaitu salah hanya alasannya adalah hati nuraninya berteriak-teriak mendapati fakta puluhan (mungkin malah ratusan?) keluarga kehilangan sanak saudara di setiap pertempuran yang mereka jabani. Kedua kubu mengemukakan alasan sama-sama logis untuk keputusan yang mereka ambil dengan ‘benar salah’ berada di level berimbang. Landasan motifnya berpengaruh sekaligus menjauhi kesan artifisial sehingga kita lantas mafhum kenapa genderang perang antar sesama personil Avengers harus ditabuh. Keberadaan sempilan subplot bernada personal untuk beberapa abjad kunci dihantarkan sesuai porsinya tanpa mendistraksi plot utama dan malah sangat membantu mengukuhkan simpati penonton kepada mereka. 

Ya, durasi panjang dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Civil War. Tidak hanya untuk memaparkan cerita yang sekali ini kompleksitasnya begitu terasa (bagusnya, tanpa harus kehilangan fokus, tidak berbelit-belit serta tetap mengikat sekalipun plot penuh cabang) melainkan juga menjalankan tugasnya sebagai film superhero yang mengambil jalur ‘popcorn movie’ yakni menghibur. Dalam artian, kau mampu mengharapkan setumpuk gelaran tabrak beserta pertarungan bergotong-royong disini. Operasi di Lagos hanyalah pemantik, selanjutnya kau masih akan mendapati aksi ber-set piece besar nan mendebarkan yang menggunakan kata kunci “jalan raya”, “bandara”, hingga “Siberia”. Khusus untuk “bandara”, well, saya harus menyampaikan bahwa ini ialah adegan pertempuran paling mengasyikkan yang pernah aku saksikan dalam sebuah film superhero.

Agak susah mendeskripsikannya tanpa harus membocorkan satu dua momen krusial, namun yang terang, Spider-Man (Tom Holland) beserta Ant-Man (Paul Rudd) ialah kunci kesenangan dari adegan yang mengombinasikan keseruan berkelahi dengan kesejukan humor ini. Kamu akan bersorak sorai, tertawa lepas, tegang, hingga pada kesannya berada di satu titik selepas jatuhnya korban ingin mengajukan pertanyaan kepada masing-masing huruf entah itu Steve, Tony, T’Challa (Chadwick Boseman, si Black Panther yang keren), Natasha (Scarlett Johansson) atau siapapun, “apakah perang saudara ini memang seharusnya terjadi?.” Melihat reaksi masing-masing dari beberapa adegan, kentara mereka ingin sekali berkata “tidak”. Tapi sayangnya mungkin untuk saat ini peperangan itu memang harus terjadi dan tidak peduli “siapa menang siapa kalah”, Civil War telah menghadirkan spektakel gegap gempita yang sekaligus menempatkannya sebagai produk terunggul Marvel Studio sejauh ini. 

Note: Bertahanlah di bangku bioskop hingga film benar-benar tuntas sebab Civil War mempunyai DUA ‘adegan bonus’ yang letaknya berada di tengah-tengah closing credit dan penghujung film.

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : Captain America: Civil War"