Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Ada Apa Dengan Cinta? 2


“Rangga, yang kau lakukan ke aku itu... jahat.” 

Empat belas tahun silam, Cinta (Dian Sastrowardoyo) melepas kepergian sang kekasih hati, Rangga (Nicholas Saputra), yang bertolak ke New York di bandara. Diabadikan dalam sebuah adegan yang ikonis, perpisahan dramatis tersebut berujung kecupan pertama. Rangga pun meninggalkan secarik kertas berisi puisi berlarik cantik untuk Cinta yang dalam salah satu baitnya berbunyi, “saya akan kembali dalam satu purnama untuk mempertanyakan kembali cintanya.” Tersisip komitmen besar yang meredakan kegundahan hati Cinta karena ditinggal Rangga melintasi benua lain. Paling tidak, ada sedikit kejelasan dari sang pujangga untuk Cinta – serta penonton – bahwa dirinya tidak akan membiarkan api asmara tersebut padam begitu saja hanya alasannya adalah jarak. Happily ever after? Dalam impian kita sebagai pengamat kisah percintaan Cinta dan Rangga selepas menonton Ada Apa Dengan Cinta?, tentu saja demikian. Namun kita perlu mengingat, realita tidak selalu berbanding lurus dengan ekspektasi terlebih tidak sedikit pula kisah pedih dibalik sebuah long distance relationship. Kemungkinan demi kemungkinan dalam perjalanan asmara keduanya pun terbuka lebar. Apakah benar mereka akibatnya bersatu? 

Bagi Miles Films – atau dalam hal ini, Mira Lesmana dan Prima Rusdi sebagai otak di belakang naskah – kemungkinan paling masuk akal untuk diangkat di Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC2) adalah kekerabatan antara Cinta dengan Rangga tidak berjalan semestinya. Indikasi kegagalan mereka dalam membina relasi jarak jauh memang telah terendus sejak film pendek LINE dua tahun silam dan jadinya melalui AADC2, dikonfirmasi secara resmi. Saya tidak perlu menjabarkan detil sabab musabab retaknya tali cinta diantara mereka sebab akan sangat berpengaruh terhadap kesenanganmu dalam menonton AADC2. Dua hal yang bisa ditegaskan, mereka tidak lagi bersama dan tidak lagi berkomunikasi. Masing-masing memilih untuk menjalani hidupnya di Jakarta dan New York seraya berusaha keras menekan memori-memori yang masih terus menerus menyeruak ke permukaan. Ya, sejatinya masih tersisa rasa sekalipun korelasi asmara tersebut telah dinyatakan kandas. Ketidaksanggupan Cinta dan Rangga untuk berdamai dengan masa kemudian alasannya adalah ada dilema yang belum tuntas diantara mereka merupakan pemicu utama bergulirnya konflik di AADC2

Mengapa cerita cinta mereka tidak berjalan semestinya? Adakah orang ketiga diantara Cinta dan Rangga? Lalu, apapun balasan untuk pertanyaan kedua, kenapa keduanya masih terjebak nostalgia serta enggan move on? Bagaimana juga kehidupan pula kepribadian mereka sesudah empat belas tahun berlalu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkecamuk hebat di benak semenjak AADC2 membuka gelarannya yang sekaligus menunjukan kekuatan aksara Cinta maupun Rangga hingga-sampai kepenasaran kita pun ikut terusik. Dengan bahasa gambar mengalir begitu lancar yang mengakibatkan setiap menitnya terasa renyah buat dinikmati, Riri Riza menjlentrehkan satu demi satu jawaban atas segala pertanyaan yang mungkin kau pertanyakan sebelum menyimak AADC2. Jawaban-jawaban tersebut mempunyai landasan motif kuat dan dilontarkan secara masuk logika, termasuk alasan setiap abjad menginjakkan kaki di Jogja dan pemanfaatan Jogja sebagai latar utama film. Dalam AADC2, Jogja tidak semata-mata dimanfaatkan sebagai pelengkap – untuk menerima tangkapan gambar anggun, contohnya – melainkan mempunyai donasi untuk mempertajam konflik. Menguatkan abjad. Menilik betapa besar kecintaan dua huruf utama terhadap seni, maka adakah kota lain lebih tepat sebagai ajang pertemuan kembali Cinta dengan Rangga selain Jogja yang notabene yakni kota budaya? Rasa-rasanya kok tidak ada. 

AADC2 merupakan upaya Miles Films mendefinisikan kembali genre ‘film romantis’ yang belakangan ini bersinonim bersahabat dengan “untaian obrolan-obrolan indah, puitis, nan berima” maupun “mendayu-dayu nggak ketulungan”. Tentu bahasa-bahasa puitis masih menghiasi, tapi masih sesuai konteks kisah menyelidiki kegemaran Rangga dalam merangkai puisi dan tidak pula diaplikasikan menyeluruh ke percakapan-percakapan antar aksara. Apa yang diobrolkan oleh Cinta dan Rangga periode mengitari Jogja semalaman, ada kalanya ngalor ngidul tak terang. Mulanya bersitegang demi mengonfirmasi alasan kepergian tanpa pamit salah satu dari mereka, kemudian sesudah masing-masing berdamai kisaran bahan percakapan tidak jauh-jauh dari “bagaimana kehidupanmu saat ini?” dengan sesekali usil semacam “kau pilih siapa dikala pemilu?.” Terkesan remeh temeh, memang, tapi terang sangat natural seperti layaknya percakapan dua orang yang pernah mempunyai dongeng istimewa dan tidak berjumpa selama ratusan purnama. Tidak pernah terasa membosankan untuk didengarkan alasannya pergerakannya yang dinamis, sangat hidup, remaja, penuh kejenakaan, dan tidak jarang menyentuh yang akan membawamu memasuki fase ‘baper’. Romantis? Jelas. 

Chemistry jago Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra adalah kunci dari AADC2. Seperti halnya jajaran pemain lini utama lain – mirip Adinia Wirasti (Karmen), Titi Kamal (Maura), dan Sissy Priscillia (Milly) – jiwa keduanya telah menyatu dengan abjad yang mereka mainkan seakan-akan mereka memang Cinta dan Rangga di kehidupan faktual. Keromantisan film bersumber dari chemistry bernyawa antar dua aksara utamanya. Interaksi keduanya dengan segala kecanggungan mereka, yakni hal paling menarik, bagi saya, untuk disimak dari AADC2. Perhatikan baik-baik ekspresi Cinta yang kerap salah tingkah atau Rangga yang mirip ada percampuran antara bingung dengan malu kurun mereka saling bertukar obrolan. Sebuah interpretasi sempurna sasaran untuk dua jiwa yang membisu-diam masih menyimpan rasa satu sama lain. Laju pengisahan pun sengaja dilambatkan demi memberi kesempatan lebih bagi penonton untuk mengobservasi pasangan yang telah tumbuh dewasa ini. Penonton pun dibuai, ikut merayakan nostalgia anggun diantara mereka sehingga harapan melihat keduanya rujuk kembali mengangkasa. Perasaan yang persis seperti saat menyaksikan Jesse dan Celine bertemu kembali sesudah terpisah hampir satu dekade di Before Sunset. Dengan demikian, bukankah AADC2 sudah mampu dikatakan sukses sebagai sebuah film romansa alasannya kemampuannya untuk membuat para penontonnya terhubung ke dua abjad utamanya? 

Penonton gampang terhubung selain sebab bangunan karakter kokoh, AADC2 mengusung pula problematika yang dekat dengan realita seperti sulitnya melupakan mantan yang menggoreskan banyak cerita indah dalam kenangan, peliknya berkata jujur kepada pasangan sebab terhalang tingginya ego, hingga susahnya berdamai dengan era lalu yang telah melukai hati. Menariknya, mengingat masalah utama seserius ini, si pembuat film tidak lantas membenamkan AADC2 ke dalam kemuraman durja melainkan menentukan nada cenderung lebih cerah dibanding sang pendahulu diikuti bejibunnya sempalan humor-humor yang kebanyakan diserahkan kepada Milly sekalipun hampir setiap tokoh utama menerima kesempatan untuk ngelaba di hadapan penonton mengikuti suasana persahabatan Genk Cinta yang terasa lebih lekat dan lebih hangat. Dan kehangatan persahabatan Genk Cinta inilah yang memperlihatkan greget untuk AADC2 disamping tentunya dongeng percintaan Cinta dengan Rangga yang membuai. Kombinasi keduanya – masih ditambah satu dua subplot – menghantarkan penonton mencicipi berbagai macam emosi selama menyaksikan AADC2 sehingga penantian panjang untuk sekuel ini terbayar memuaskan. Jika ada dua kata paling pas untuk mendeskripsikan AADC2, maka itu ialah “juarak!” dan “ngangenin” alasannya sehabis menontonnya ada rasa rindu besar untuk ingin kembali menontonnya lagi, dan lagi.

Outstanding (4,5/5)

Post a Comment for "Review : Ada Apa Dengan Cinta? 2"