Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Lights Out


“Sometimes the strongest thing to do is to face your fear.” 

Tahun lalu, seorang mitra mengenalkanku pada sebuah film horor pendek berjudul Lights Out yang diunggah oleh akun berjulukan ponysmasher di YouTube. Durasinya singkat saja, sekitaran tiga menit, tapi daya teror yang dibawanya mampu menciptakan penonton-penonton berhati lemah enggan lagi untuk mematikan lampu hingga periode waktu cukup lama. Efektifitas penempatan metode menakut-nakutinya di tengah terbatasnya durasi dan (pastinya) bujet layak memperoleh acungan dua jempol. Ponysmasher atau David F. Sandberg tidak hanya memberi rasa takjub lewat Lights Out semata karena penelusuran didasari kepenasaran tingkat tinggi akan karya-karyanya mempertemukanku dengan film-film angker lain darinya yang tidak kalah menggedor jantung, seperti Pictured, Cam Closer, serta Coffer. Dengan popularitas kian menjulang akibat masifnya penyebaran Lights Out lewat media umum, tinggal menunggu waktu bagi sang sutradara untuk mendapat usul berkolaborasi dari para petinggi Hollywood. Benar saja, hanya terhitung tiga tahun semenjak versi pendeknya mulai menjumpai penggemarnya, Lights Out mendapatkan kesempatan menghiasi layar-layar bioskop dunia dalam wujud film panjang. 

Karakter penjaga baris lini utama di Lights Out yaitu Rebecca (Teressa Palmer). Bukan tipikal gadis baik-baik mirip kebanyakan heroine di film horor, Rebecca digambarkan enggan merajut komitmen bersama sang kekasih, Bret (Alexander DiParsia), dan memiliki korelasi bermasalah dengan sang ibu, Sophie (Maria Bello), sehingga membawanya pergi dari rumah. Relasi antar ketiga abjad ini perlahan mulai berubah sejak Rebecca mendapatkan panggilan dari sang adik, Martin (Gabriel Bateman). Kesulitan memejamkan mata kala malam hari karena menjumpai kejanggalan pada perilaku Sophie, Martin meminta pertolongan pada Rebecca untuk menampungnya sementara di apartemennya. Kedatangan Martin ternyata mengembalikan kenangan buruk dari era kecil Rebecca terhadap sesosok misterius bernama Diana. Mendapati keberadaan makhluk mistik yang mengerikan nan mengancam setiap kali penerangan dipadamkan, Rebecca mulai mengorek abad lalu Diana yang disinyalir merupakan dalang dari setiap teror di sekitarnya. Dalam investigasinya, Rebecca tidak saja menjumpai fakta memilukan mengenai Diana tetapi juga mengungkap belakang layar kelam keluarganya termasuk kala lalu Sophie dan eksistensi ayah kandungnya. 

Lights Out bukanlah film horor waria penampakan – bila itu yang kau khawatirkan. Guna mencekam penonton, David F. Sandberg banyak mempergunakan trik membangun atmosfir setidaknyaman mungkin yang berarti kau akan sering melihat lorong-lorong panjang nan gelap, situasi sunyi yang serba janggal seakan-akan ada sesuatu disana tapi kamu tidak bisa meyakininya secara niscaya (kebanyakan menyebutnya metode “there or not there”), sampai sekelebatan-sekelebatan yang cepat menghilang sebelum kamu sadari, ketimbang mempersilahkan si hantu menampakkan wujud utuhnya. Dampaknya, riuh rendah jerit tawa penonton di dalam bioskop mungkin akan jarang terdengar kecuali pada menit-menit tertentu dikala Sandberg memutuskan untuk rehat sejenak dari “gangguan rasa” ke penonton dan melepas jump scares berpenempatan efektif yang akan membuat kita terlonjak di kursi bioskop. Hanya saja, mengingat ruang gerak si hantu sangat terbatas adalah di luar jamahan cahaya, trik menerornya cepat sekali kehabisan bahan bakar. Mula-mula membangunkan rasa takut, namun lama kelamaan mulai terbiasa lantaran cenderung repetitif meski bohong sekali kalau menyampaikan sama sekali tidak terperanjat. 

Kekhawatiran adanya pengulangan berkelanjutan bantu-membantu telah mengemuka sedari proyek film ini diumumkan. Sebagai film pendek, teror “jangan coba-coba matiin lampu alasannya adalah ada sesuatu berbahaya dibalik kegelapan” bekerja sangat baik. Tapi saat direntangkan menjadi film panjang berdurasi satu setengah jam, errr... tidak terlalu. Upaya mengisi kekosongan biar penonton tidak terhantam kejenuhan pada risikonya memunculkan gagasan-gagasan penuh tanda tanya seperti bagaimana Diana mampu berada di apartemen Rebecca (tidak akan dijabarkan lebih lanjut demi menghindari spoiler) atau menggelikan utamanya ketika salah satu abjad mengeluarkan kunci mobilnya (tebak sendiri untuk apa!). Dua faktor yang lantas menghindarkan Lights Out dari julukan ‘film horor medioker’ yakni sumbangsih akting manis jajaran pemainnya seperti Teressa Palmer, Maria Bello, serta Gabriel Bateman yang cukup mampu menghidupkan elemen drama keluarga emosionalnya, dan masih adanya teror-teror cermat kreasi David F. Sandberg yang akan membuatmu setidaknya menempatkan tas di depan wajah untuk menghalau pandangan ke layar. Buat seru-usul di periode senggang sih, Lights Out bolehlah.

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : Lights Out"