Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Hustlers


“I don’t want to be dependent on anybody. I just want to take care of my grandma, maybe go shopping every once in a while.”

Berpatokan pada materi promosi yang ditebarnya dan formasi pemain yang terlibat di dalamnya, mudah untuk menerka Hustlers sebagai film hura-hura belaka yang tidak memiliki kedalaman apapun pada narasinya. Terlebih lagi, premis miliknya yang berbunyi “bagaimana jikalau sekelompok penari erotis melaksanakan penipuan demi menghasilkan uang?” kian memperkuat dugaan tersebut. Memboyong ekspetasi cukup minim dimana sebagian besar dipicu oleh cita-cita untuk bersenang-senang, alangkah terkejutnya aku begitu mendapati bahwa film aba-aba Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) ini bukanlah hidangan dangkal yang meletakkan fokusnya pada aksi kriminal dari para penari telanjang semata. Didasarkan pada satu artikel menggemparkan gubahan Jessica Pressler yang dipublikasikan di majalah New York pada tahun 2015, “The Hustlers at Scores”, Hustlers ternyata turut mengajukan sejumlah topik berisi terkait women empowerment, objektifikasi perempuan, hingga ketimpangan ekonomi. Rentetan topik yang belum apa-apa sudah terdengar berat, ya? Tapi kalau kau lantas menerka bahwa film ini lantas berceloteh kolam profesor yang sedang memberikan kuliah dan mengesampingkan seluruh elemen gegap gempitanya, maka kau juga keliru. Hustlers tidak seberat itu, tetapi juga tidak seringan mirip diperkirakan. Film ini berada di tengah-tengah seperti halnya karakteristik dari para tokoh utama yang diposisikan dalam area abu-debu ketimbang segamblang hitam dan putih menyusul cita-cita si pembuat film untuk tidak menghakimi moralitas mereka.

Dalam Hustlers, abjad yang memegang peranan penting dalam penceritaan yaitu seorang perempuan berdarah Asia, Destiny (Constance Wu), yang terpaksa mengambil pekerjaan sebagai penari erotis demi membiayai kehidupannya beserta sang nenek (Wai Ching Ho). Tanpa mempunyai sedikitpun pengalaman di bidang ini, tentu saja sulit bagi Destiny untuk menarik pelanggan dan untuk sesaat, karirnya tampak tidak memiliki harapan untuk berkembang. Ditengah kekecewaannya, Destiny menyaksikan agresi panggung dari penari senior, Ramona (Jennifer Lopez), yang membuatnya tersihir, terpesona, sekaligus iri. Demi memperoleh “tips menari yang baik dan benar” dari sang ratu, Destiny pun menemui Ramona yang ternyata justru bersedia menjadikannya sebagai anak didik. Berada dibawah gemblengan Ramona, karir Destiny pun melesat cepat melebihi apa yang selama ini dibayangkannya. Keduanya menimbun dollar dari para laki-laki hidung belang kaya raya, keduanya pun menjalin persahabatan diluar jam kerja. Selama beberapa waktu, dua aksara ini hidup serba berkecupan sampai kemudian krisis ekonomi di tahun 2008 memutarbalikkan keadaan. Klub daerah mereka bekerja mulai sepi pengunjung, para pekerjanya didominasi oleh imigran yang rela memberi pelayanan lebih demi uang tambahan, dan Destiny pun kelimpungan mencari penghasilan untuk membiayai bayi yang baru dilahirkannya. Dalam kondisi Destiny yang terpuruk hebat ini, Ramona lagi-lagi datang menyelamatkan. Dia menawarinya posisi dalam sebuah tim, yang juga terdiri atas Mercedes (Keke Palmer) dan Annabelle (Lili Reinhart), dimana tugasnya ialah menipu klien-klien mereka yang kaya raya sehingga mereka bersedia dikenai tarif lebih untuk membayar “jasa” dari Ramona and the gang.


Guna menghantarkan narasi yang menyoroti sepak terjang Destiny di dunia malam yang penuh lika-liku tersebut, Scafaria menggunakan metode penceritaan non-linear. Usai memperkenalkan penonton dengan Destiny di tahun 2007 melalui sebuah adegan pembuka yang ciamik – diawali dengan satu tracking shot panjang yang mengajak kita mengikuti langkah si protagonis dari kamar ganti menuju panggung – kita lantas dilempar menuju ke tahun 2014. Suasanya cenderung hening, hanya ada Destiny dan seorang jurnalis, Elizabeth (Julia Stiles), yang tengah mewawancarainya di sebuah ruang tamu. Melalui adegan ini, si pembuat film hendak mengonfirmasi bahwa Hustlers akan menggunakan dua garis waktu dalam narasi: kala kemudian dan periode kini. Untuk mengulik peristiwa dari kala lalu yang berada di rentang tahun 2007-2013, film mendayagunakan sudut pandang Destiny selama dirinya diwawancara oleh Elizabeth. Kerap maju mundur bagus tanpa diaba-aba plus acapkali tak terdeteksi penanda waktu yang signifikan, cara bertutur Hustlers ini pada awalnya terasa membingungkan. Membuat saya kebingungan untuk beberapa saat. Tapi setelah mulai terbiasa, aku justru mengapresiasi pendekatan Scafaria sebab setidaknya ada rasa penasaran yang turut dipantik olehnya. Satu rasa ingin tau yang muncul dari pertanyaan, “apa bergotong-royong yang telah dilakoni oleh Destiny dan Ramona hingga-hingga hubungan mereka tak lagi hangat mirip dulu?.” Film tak seketika mencekoki kita dengan tindak kriminal yang membawa keuntungan sekaligus mudarat bagi para protagonis, melainkan mendedah terlebih dahulu motif yang melatarinya. Motif yang membuat kita mampu memafhumi tindakan mereka.

Oleh Scafaria, para penari erotis ini digambarkan seperti halnya insan biasa, alih-alih mengikuti stigma publik maupun stereotip dari film sejenis. Mereka yakni ibu bagi seseorang, pasangan bagi seseorang, serta sahabat baik bagi seseorang. Selama menit-menit awal yang mengalun enerjik dengan iringan tembang bercorak R&B, kita melihat klub erotis selaiknya tempat kerja pada umumnya yang memiliki hierarki, sekaligus diwarnai dengan persaingan maupun persahabatan. Ada beberapa abjad menarik yang hilir pulang kampung – terutama Cardi B dan Lizzo dalam tugas singkat – tapi satu hal paling penting, dari sinilah kita menyaksikan korelasi antara Destiny dan Ramona mulai bertumbuh. Mereka mempunyai momen elok di atap, mereka juga mempunyai momen manis di “lantai dansa” dimana Ramona menginformasikan kepada sang teman sekaligus penonton bahwa tari erotis bukan hanya perkara meliuk-liukkan badan secara acak. Butuh teknik cukup rumit yang memang dipelajari secara intens oleh Jennifer Lopez selama 2,5 bulan. Keseriusan sang diva dalam mempelajari seni tari erotis ini terpampang positif dalam performanya yang mengagumkan sebagai Ramona. Kita mampu terpukau pada pesonanya yang menyengat ahli, kita mampu kagum pada kegigihannya, dan kita pun bisa jatuh hati pada perilaku bersahabatnya. Meski posisinya hanyalah bintang film pendukung, tapi Hustlers tak akan segreget ini tanpa kehadiran J.Lo. Kehadirannya senantiasa menunjukkan energi pemanis dalam sejumlah adegan, entah dikala mengajak kita bersenang-senang dengan plot penipuan atau dikala menghadapkan kita pada satu momen mengharu biru yang membuat air mata tumpah di depan kantor polisi.


Tunggu, tunggu, apakah perhatian yang senantiasa tertuju pada J.Lo ini berarti Constance Wu tidak gilang gemilang dikala melakonkan Destiny? Jangan salah sangka dulu. Wu pun tampil apik di sini sekalipun kerap dibayang-bayangi oleh J.Lo. Dalam Hustlers, Wu mempunyai kesempatan untuk mempertontonkan range emosinya yang cukup luas melalui peran yang simpatik. Dia hanyalah seorang cucu yang ingin berbakti pada nenek yang telah membesarkannya dan dia ialah seorang ibu yang ingin bertanggungjawab pada periode depan sang buah hati. Satu adegan yang membuat hati ini tersayat-sayat yakni saat Destiny pontang-panting mengantarkan putrinya ke sekolah sesudah satu malam yang jelek hanya untuk mendapati pandangan penuh penghakiman dari orang bau tanah lain dan kejutan memilukan di rumah. Pada titik tersebut aku merasa tersentil; mengapa kita mampu menilai seseorang buruk hanya dari penampilannya sementara kita sama sekali tidak tahu apa yang telah dilaluinya? Scafarina sendiri memang berniat menempatkan aksara Destiny berikut pengalaman-pengalamannya sebagai corong untuk menyuarakan komentar. Baik itu soal penghakiman publik, objektifikasi yang ditunjukkan dari pengalaman aksara tersebut di klub erotis selepas masa krisis, sampai ketimpangan ekonomi dimana keadaan finansial serba terbatas memaksanya untuk bertindak apapun termasuk menapaki ranah kriminal bersama Ramona. Yang kemudian menjadi pertanyaan yakni, dimana letak women empowerment dari film ini? Apakah Hustlers berniat menjustifikasi tindak kriminal mereka dengan dalih pembelaan perempuan atas penindasan para lelaki?

Hustlers, untungnya, tidak sedangkal itu. Pemberdayaan wanita lebih dikaitkan pada kerelaan para wanita ini untuk saling bekerja sama dalam mengentaskan permasalahan, alih-alih saling menjatuhkan demi laba pribadi. Si pembuat film pun tidak pernah memberikan pernyataan bahwa tindakan mereka semestinya didukung. Dia mempersilahkan kita untuk memahami motifnya, tapi kita tidak pernah diperkenankan untuk membenarkannya. Ada konsekuensi yang diberikan kepada huruf-karakter ini atas keserakahan serta batas-batas yang telah dilanggar. Terdengar berat, ya? Tapi memang begitulah Hustlers bernarasi. Tidak sekadar mengajak kita bergembira dengan tarian, musik-musik menghentak, serta agresi penipuan yang dilumuri excitement dan gelak tawa, tetapi juga menciptakan kita tersentuh, tersentil, sekaligus merenung.

Outstanding (4/5) 


Post a Comment for "Review : Hustlers"