Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

[Special] Kritik Film Bukan Sekadar Caci Maki


Persinggungan saya dengan website Qubicle yang singgah di halaman http://qubicle.id terjadi untuk pertama kalinya sekitar dua bulan silam menyusul disebarkannya pintasan ke sebuah artikel menarik terkait minat aku terhadap dunia perfilman melalui jejaring sosial Twitter. Meski ketertarikan pada Qubicle tidak serta merta terbentuk, tanpa disadari, sesungguhnya hampir saban ahad saya melakukan kunjungan kesana entah untuk sekadar iseng-iseng belaka atau dilandasi cita-cita mencari artikel informatif sebagai bahan menambah wawasan (duileeee!). 

Tapi iya, lho. Kamu bakal menjumpai beragam konten menggugah pikiran di Qubicle yang konsepnya sendiri seperti perpaduan antara media umum dengan blogging platform (semisal blogspot atau wordpress). Dalam artian, kita tidak dikondisikan hanya memperoleh tetapi juga mampu membagikan. Qubicle memungkinkan para penggunanya untuk mengkreasi konten-konten kreatif sesuai minat bakat dalam format beraneka rupa mirip tulisan, foto, rekaman musik, hingga video. Dengan mengusung konsep selayaknya media sosial, para pengguna juga mampu saling berinteraksi maupun membangun jaringan. Menarik sekali, bukan? 

Apabila kau ingin berkenalan lebih jauh dengan Qubicle, mampu kunjungi: 
- Facebook : Qubicle 
- Twitter : @Qubicle_id 
- Instagram : @Qubicle_id 


Saat ini sih status aku di Qubicle lebih ke pengguna pasif karena gres memanfaatkannya sekadar untuk bahan bacaan maupun tontonan. Kebetulan, ada cukup banyak konten yang mewakili passion aku ke film disana. Salah satu temuan periode berselancar di Qubicle beberapa hari lalu adalah mengenai kritik film (http://qubicle.id/story/mencar ilmu-jadi-kritikus-film-1 dan http://qubicle.id/story/berguru-jadi-kritikus-film-2). Mengingat blog Cinetariz berisikan ulasan-ulasan film yang bahasa kerennya bisa pula disebut sebagai kritik, maka rasanya tepat kalau pokok kupasan kali ini ialah artikel tersebut yang membicarakan soal “apa sih kritik film itu?” dan “bagaimana sih cara merangkai kritik film yang sempurna?.” Terlebih, definisi ‘kritik’ bagi sebagian orang masih rancu dengan disalahartikan sebagai suatu cara untuk menjatuhkan. 

Artikel bertajuk “Belajar Menjadi Kritikus Film” hasil goresan pena Martin Johnindra yang terbagi ke dalam dua bab menjadi penting alasannya pembaca diberikan paparan singkat, terang, sekaligus padat berisi untuk memahami seperti apa kritik film yang bekerjsama. Menurut narasumber artikel tersebut, Makbul Mubarak – dosen film di Universitas Multimedia Nusantara, kritik film terperinci berbeda dengan caci maki. Bahkan Ekky Imanjaya, seorang kritikus film tanah air, pernah suatu waktu berujar melalui wawancara di media online Cinema Poetica yang dipublikasikan pada 16 Februari 2016 bahwa kritik semestinya dilontarkan secara jujur pula santun. Tidak semestinya pula sang penulis merendahkan atau menyerang film yang dikritiknya. 

Makbul mempunyai aliran senada dengan Ekky yang lantas disarikan oleh Martin ke dalam bentuk artikel berformat tips sehingga memudahkan pembaca menangkap poin-poin penting yang hendak disampaikan si narasumber. Beberapa langkah yang disarankan Makbul untuk diaplikasikan pembaca semoga mampu menjadi kritikus film sebenar-benarnya, antara lain: 

• Perlu digarisbawahi, kritik dan mencaci adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Saat kau menulis kritik, itu artinya tengah menunjukkan value kepada suatu film dan value ini harus mampu dipertanggungjawabkan. 
• Pertanggungjawaban juga dibutuhkan pada paparan argumen. Penulis tidak mampu hanya sekadar menuliskan kata sifat untuk memperlihatkan bagus atau tidaknya suatu film. Dibutuhkan elaborasi terhadap kata sifat itu sehingga pembaca ulasan mampu memahami mengapa film tersebut mengasyikkan, mengapa film tersebut menakutkan, dan seterusnya. 
• Kudu mengetahui target pembacanya karena sangat menentukan pemakaian gaya bahasa maupun kedalaman pembahasan. Kebutuhan pembaca di media massa ternama terperinci berbeda dengan katakanlah blog atau jejaring sosial. 
• Syarat wajib dan mutlak dipenuhi seorang kritikus film yakni memiliki kecintaan pada film. Bagi Makbul, cinta saja tidak cukup alasannya seorang kritikus film perlu pula menonton sebanyak mungkin film tanpa pandang bulu. Tidak mampu lagi mengotak-ngotakkan semisal, “ah, aku nggak suka nonton film dari negara A" atau “yah, kok pemainnya si anu”. Yang berarti, dikala kau memilih konsentrasi ke katakanlah film Indonesia, sebisa mungkin kamu harus menonton semua film buatan Indonesia walau seburuk apapun itu demi memperluas referensi. 
• Menentukan perspektif paling bijak biar tidak berakhir seakan-akan ‘memperkosa’ filmnya. Pertama, tidak semua film diciptakan untuk keperluan yang sama dan tidak semua diciptakan setara sehingga setiap film membutuhkan perspektif berbeda karena tentu akan sangat tidak adil apabila A Copy of My Mind beserta London Love Story ditelaah menggunakan teropong yang sama. Ini mengantarkan kita ke poin kedua ialah mencari daerah bagi setiap film yang diproduksi. Sebuah film bisa saja bernilai di satu tempat, di satu waktu, serta di satu penonton, dan tidak bernilai di tempat lain, waktu lain, serta penonton lain. Kritikus mempunyai peranan besar membantu film tersebut sehingga bisa menemukan tempat yang membutuhkannya. 
• Dapat menulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Artikel Martin yang dipublikasikan di Qubicle ini, harus diakui, sangat membantu bagi siapapun yang berminat menulis kritik film serta siapapun yang mempunyai keingintahuan besar terkait bagaimana sebaiknya sebuah kritik film dilontarkan. Berdasarkan serentetan poin yang diutarakan Makbul, terperinci menulis kritik film tidaklah semudah yang diperkirakan banyak orang. Membutuhkan effort lebih sehingga goresan pena tidak berasa mentah atau sekadar cuap-cuap kosong belaka. Keberadaan goresan pena ini diperlukan bisa mengubah persepsi masyarakat kebanyakan yang agak salah kaprah terkait kritik tidak saja ke produk kebudayaan melainkan juga ke semua lini kehidupan.

Post a Comment for "[Special] Kritik Film Bukan Sekadar Caci Maki"