Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Jeritan Malam


“Pernahkah kalian merinding di suatu tempat, mencicipi kehadiran sesuatu yang sebelumnya kalian percaya hanyalah permainan imajinasi otak manusia belaka?”

Sebelum diadaptasi ke dalam tontonan layar lebar, Jeritan Malam lebih dulu dikenal sebagai salah satu thread bentukan @morfosis_meta di lembaga Kaskus. Thread yang membungkus satu dongeng seram unggahan si pembuat ini, tanpa dinyana-nyana menjadi buah bibir di kalangan pengunjung dunia maya dan seketika dibukukan. Salah satu alasan paling mendasar yang membuat dongeng tersebut dapat menjaring ketertarikan publik secara cepat adalah fakta (setidaknya berdasarkan si penulis) bahwa narasi yang diutarakan dalam Jeritan Malam bersumber dari pengalaman konkret. Disamping faktor lain yang meliputi: 1) ceritanya terasa akrab dan familiar khususnya bagi masyarakat Jawa di tempat yang masih kerap bersentuhan dengan kebudayaan atau kesenian yang aroma mistisnya cukup kental, dan 2) ada elemen misteri dibubuhkan melalui kalimat pembuka yang menyebabkan ambiguitas sehingga pembaca pun memiliki ketertarikan untuk membaca demi menjawab pertanyaan “benarkah ini semua betul-betul terjadi?.” Oleh versi layar lebarnya yang digarap Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin), elemen misteri ini masih menjadi satu cara yang ampuh dalam menarik atensi. Terlebih lagi, ada satu peringatan dibubuhkan berbunyi kurang lebih “jangan lakukan apa yang telah aku lakukan” yang seketika membuat diri ini dan mereka yang belum pernah menyentuh bahan sumbernya dilingkupi kepenasaranan. Apa yang sebetulnya telah dilakukan oleh si tokoh utama hingga-hingga dia menyerukan peringatan tersebut kepada penonton?

Sesuai dengan bahan sumbernya, Jeritan Malam melempar kita kembali ke tahun 2007 dan memperkenalkan kita kepada seorang mahasiswa S1 berjulukan Reza (Herjunot Ali). Selepas diwisuda, Reza berniat untuk eksklusif terjun ke dunia kerja demi mengumpulkan modal supaya mampu menikahi kekasihnya, Wulan (Cinta Laura Kiehl). Sayangnya, sesudah berbulan-bulan lamanya menganggur dan setelah berpuluh-puluh surat lamaran dikirimkan, Reza tak kunjung menerima panggilan kerja. Hingga kesudahannya, satu perusahaan berkenan untuk memberinya satu posisi di daerah mereka. Mendengar kabar tersebut, Reza terang berbahagia meski Wulan dan kedua orang tuanya (dimainkan oleh Roy Marten bersama D’Ratu) justru merasa cemas. Pasalnya, protagonis kita ini ditempatkan di Banyuwangi yang ribuan kilometer jauhnya dari Bogor. Tidak ada yang tahu apa yang ada di sana, tidak ada yang tahu apa yang tersembunyi di sana. Guna menjamin putra semata wayangnya ini terbebas dari hal-hal tidak diinginkan, sang ayah pun memperlihatkan kujang sebagai pelindung. Sebuah pertolongan yang terpaksa diterima Reza yang sejatinya enggan mempercayai keberadaan dunia mistik. Sesampainya di Banyuwangi, Reza ditempatkan di sebuah mess yang jauh dari pemukiman warga bersama Indra (Winky Wiryawan), Minto (Indra Brasco), dan Pak Dikin (Fuad Idris). Untuk sesaat, mess ini tampak seperti tempat tinggal yang nyaman bagi Reza sampai kemudian ketiga sobat barunya mengungkap bahwa mereka tidak tinggal sendirian di daerah itu. Ada entitas lain dari alam berbeda yang terkadang menampakkan diri sebagai salah satu penghuni mess.


Didasarkan pada materi sejenis dengan Keluarga Tak Kasat Mata (2017) yang hasil alhasil tergolong memprihatinkan, aku tentu mulanya skeptis pada Jeritan Malam. Tapi sokongan bujet sampai 20 miliar rupiah (konon, inilah film horor termahal di Indonesia!) dan proses syuting yang berlangsung cukup panjang hingga 54 hari, rupanya memberikan hasil yang sebanding. Jeritan Malam mampu terhidang sebagai tontonan horor yang cukup memuaskan. Selayaknya film-film lain produksi Soraya Intercine Films, satu hal yang mampu dipuji ialah production value dalam film ini yang tersusun atas pengambilan gambar, pewarnaan, penyuntingan, tata suara, hingga tata artistik memberi kesan “mahal”. Ada upaya lebih untuk menghindarkannya dari tontonan yang dikerjakan secara serampangan dari sisi teknis, dan itu nampak. Saya langsung mengapresiasi sektor ini yang untungnya turut disokong oleh kemampuan Rocky Soraya dalam mengkreasi sederet momen angker. Alih-alih bergantung pada jumpscares demi menciptakan penonton terlonjak dari dingklik bioskop, si pembuat film lebih sering mengandalkan atmosfer yang mengusik kenyamanan guna membangkitkan rasa takut. Kita mengendus sisi misterius dari mess yang menyimpan kala kemudian kelam, kita dibikin merinding oleh hutan gelap yang tampak terang bukan area yang semestinya dimasuki manusia biasa, dan kita pun bergidik tatkala sosok-sosok dari alam seberang menampakkan wujud aslinya. Divisualisasikan dengan tata rias beserta efek khusus mumpuni, sedikitnya ada dua momen yang membuat bulu kuduk saya meremang ialah: 1) penghuni pohon, dan 2) kepala buntung.

Kapabilitas Rocky dalam mengkreasi trik menakut-nakuti ini dibarengi pula dengan guliran pengisahannya yang mesti diakui efektif dalam menambat atensi. Memang betul rangkaian dialognya yang menggunakan Bahasa Indonesia baku (khususnya dikala Reza berbincang dengan Wulan) terdengar janggal di indera pendengaran, dan beberapa adegan terasa repetitif sekaligus berpanjang-panjang seolah ingin mengisi kekosongan durasi mirip saat Reza terbangun pada tengah malam atau epilog yang agak preachy. Namun Jeritan Malam yang naskahnya diolah oleh Ferry Lesmana bersama Donny Dhirgantoro ini setidaknya mampu memancing ketertarikan aku dengan satu pertanyaan: apa sebetulnya yang sedang dihadapi oleh Reza? Ndilalah, penokohan si huruf utama ini pun terbilang menarik. Adanya satu tragedi di kala kecil mendorongnya untuk tumbuh sebagai eksklusif yang enggan memercayai mistisisme maupun hal-hal mistik. Baginya, semua peristiwa dapat dijabarkan menggunakan nalar sehat. Penggunaan voice over yang menarasikan pedoman-fatwa Reza turut membantu kita untuk mengenal pribadinya lebih dalam. Dia ialah sosok yang cukup kompleks, walau kegigihannya dalam menegasikan kejadian mistis membuatnya terasa menjengkelkan. Bisa jadi, ini ada keterkaitannya dengan interpretasi kurang sempurna dari Herjunot Ali yang acapkali terasa hampa secara emosi. Saya yang memakai kacamatanya untuk memandang setiap adegan, tidak pernah benar-benar merasakan pergolakan batinnya. Padahal, dia tengah dirundung serentetan pertistiwa mengejutkan yang menggoyahkan persepsi sekaligus egonya sebagai insan modern yang akil.


Syukurlah, Herjunot didampingi oleh Winky Wiryawan dan Indra Brasco yang menghadirkan chemistry meyakinkan sebagai dua sobat yang diteror memedi. Keduanya membantu mencairkan suasana di tengah situasi yang mendebarkan, keduanya pun sanggup menciptakan kita peduli kepada mereka berkat pembawaan yang santai nan asyik. Bukankah Reza terbilang beruntung mampu mengembangkan mess dengan Indra dan Minto? Hanya saja, persahabatan mereka sayangnya terjalin di daerah angker yang kian dikacaukan oleh eksistensi Reza. Ketimbang menghormati para penunggu, huruf utama film ini justru menawarkan kepongahannya sebagai manusia dengan menyepelekan eksistensi para lelembut. Bentuk kesombongan yang berujung pada petaka ini menjadi semacam pengingat sekaligus pesan untuk penonton Jeritan Malam bahwa kita tidak hidup sendirian di muka bumi. Ada hal-hal gaib yang sulit terjelaskan yang sebaiknya tidak kita usik atau pandang rendah alasannya siapa yang tahu apa konsekuensi yang menanti atas tindakan kita.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Jeritan Malam"