Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Imperfect


“Jika kesempurnaan membuatmu senang, maka beri saya waktu untuk mencar ilmu menerima itu. Karena saya terlanjur mengasihi ketidaksempurnaanmu.”

Siapa sih yang tidak pernah merasa insecure? Rasa-rasanya, setiap insan di muka bumi ini pernah mengalaminya dalam satu fase hidupnya dengan kadar yang tentu berbeda-beda. Ada yang minor sehingga beberapa waktu lalu lantas mampu menghempaskannya dari pikiran, tapi tak sedikit pula yang major hingga-sampai mensugesti setiap langkah dalam kehidupannya. Imbasnya, rasa percaya diri pun merosot drastis yang menyulitkannya untuk berpikir positif. Biasanya, efek yang sedemikian besar tersebut dipicu adanya bullying atau body shaming dari lingkungan sekitar. Ujaran semacam “kamu gendutan ya?”, “kamu kurus banget deh, nggak pernah makan ya?”, maupun “kulitmu item banget,” yang umumnya dipergunakan sebagai kalimat pembuka dari suatu basa-basi, tanpa disadari telah menjelma sesuatu yang beracun dan berbahaya. Terlebih lagi, kita hidup di kala dimana media membuat standar kecantikan/ketampanan diluar batas kewajaran yang menciptakan perasaan insecure menjadi semakin membumbung tinggi serta sulit dikendalikan. Menyadari adanya fenomena tidak sehat yang tengah menggerogoti generasi muda kurun sekarang, Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Milly & Mamet) pun berinisiatif untuk mengkreasi tontonan bertajuk Imperfect yang disadur dari buku non-fiksi berjudul sama rekaan sang istri, Meira Anastasia. Melalui buku tersebut serta film ini, pasangan Ernest-Meira mencoba menggaungkan pesan aktual untuk kita semua yang sedang (atau pernah) merasa rendah diri akibat penampilan fisik yang tidak termasuk dalam kriteria tepat. Pesan tersebut berbunyi, “tidak apa-apa untuk menjadi tidak tepat sebab yang terpenting bukanlah menjadi tepat, melainkan menjadi langsung yang bahagia dan memiliki kegunaan bagi sesama.”

Dalam ya?

Meski didasarkan pada buku yang berisi pengalaman-pengalaman Meira dalam menghadapi rasa insekyur karena merasa dirinya tidak memenuhi definisi “elok” yang dipercayai oleh publik, versi layar lebar dari Imperfect bukanlah sebentuk autobiografi. Di sini, Ernest mengkreasi satu huruf fiktif bernama Rara (Jessica Mila) yang secara fisik sama sekali tidak memenuhi ekspektasi dari masyarakat mengenai sosok wanita ideal. Rara digambarkan mempunyai bobot jauh diatas rata-rata, kulitnya terbilang gelap, dan beliau juga tidak melek fashion. Penampilannya seperti dengan almarhum ayahnya dan sangat jauh berbeda dengan sang ibu, Debby (Karina Suwandi), yang dulunya berprofesi sebagai peragawati, dan adiknya, Lulu (Yasmin Napper), yang dielu-elukan di Instagram. Meski kerap dibanding-bandingkan dengan Lulu sekaligus mendapat body shaming dari orang di sekelilingnya, Rara tidak merasa ada yang diubah dari dirinya. Dia menganggap tubuhnya yang jauh dari ideal ini sebagai kutukan yang sebaiknya diterima dengan tulus. Toh sang kekasih, Dika (Reza Rahadian), menerima dirinya secara apa adanya. Tak pernah sekalipun meminta Rara untuk mengubah penampilannya. Jadi mengapa beliau harus mengikuti standar kecantikan yang dangkal ini? Tapi ajaran Rara ini lantas berganti ketika atasannya, Kelvin (Dion Wiyoko), menuntut dia untuk menjalani make over dengan batas waktu satu bulan apabila ingin naik jabatan di kantor. Rara yang tadinya enggan berolahraga serta kerap mengonsumsi junk food pun berusaha mati-matian untuk mengubah penampilannya yang sayangnya turut dibarengi pula dengan perubahan sikap. Secara tiba-datang, baik Dika, Lulu, maupun sahabat karib Rara, Fey (Shareefa Daanish), tidak mampu lagi memahami jalan pedoman dan sudut pandang Rara yang sudah sangat berbeda.



Selepas menonton Imperfect di layar lebar, ada satu hal yang aku lakukan, adalah menyeka air mata. Bukan alasannya adalah filmnya sebegitu pedihnya hingga meremas-remas emosi, melainkan sebab aku mencicipi sebuah kebahagiaan yang muncul berkat pesan indah yang diutarakannya. Mengenai mendapatkan diri sendiri secara apa adanya, mengenai kebahagiaan yang akan mengikuti ketika kita sudah bisa berdamai dengan diri sendiri. Sebagai seseorang yang pernah mengalami body shaming (ditambah lagi, bullying) selama bertahun-tahun lamanya karena saking kurusnya, saya bisa memahami bagaimana perasaan Rara dan aksara-karakter lain yang mengalami insecure dengan bentuk tubuhnya. Dampaknya memang sangat merusak sebab pada akhirnya, ada rasa percaya diri yang diobrak-abrik sehingga iktikad untuk bisa menjangkau mimpi pun turut dibentuk goyah olehnya. Imperfect mencoba untuk berkontribusi dalam memutuskan rantai beracun ini dengan membangun kesadaran penonton mengenai efek yang mampu disebabkan oleh body shaming seraya membesarkan hati mereka yang tengah terjatuh. Seperti halnya film-film Ernest terdahulu, penyampaiannya pun dikondisikan untuk senantiasa ringan-ringan saja dan dipenuhi dengan canda tawa di sepanjang durasi supaya bisa diterima oleh penonton secara luas. Ya, jika kamu tiba ke bioskop dengan pengharapan dapat menemukan obat pelepas penat, Imperfect masih sangat mampu untuk memenuhinya. Bahkan bagi saya, inilah film terlucu dari Ernest. Setiap karakter diberi amunisi untuk melontarkan humor yang sebagian besar diantaranya mulus mengenai target, tapi ada dua sumber kelakar terbesar dalam film yang terdiri dari “genk kantor Rara” dimana kita dihadapkan dengan Rey yang ceplas ceplos serta Wiwid (Devina Aureel) yang cenderung telmi, serta “genk anak kos” yang mempertemukan penonton dengan empat penghuni kos di rumah Dika yang pembawaannya nyentrik. Dari dua kubu berbeda ini, aku dibuat tergelak-gelak berulang kali oleh Shareefa Daanish, Devina Aureel, Zsazsa Utari, dan Kiky Saputri yang mesti diakui mempunyai comic timing juara.  

Yang sedikit unik kali ini, Ernest tak sekadar menggunakan abjad-huruf tersebut sebagai pemancing tawa belaka. Mereka dilibatkan ke dalam narasi utama, dan keberadaan mereka turut difungsikan untuk melontarkan dua komentar berbeda. Dari “genk anak kantor”, kita memperoleh topik pembicaraan wacana pemujaan terhadap sosok ideal. Sedangkan melalui “genk anak kos”, kita mendapati topik tentang memandang ketidaksempurnaan dari perspektif lain. Apakah benar apa yang selama ini kita anggap “ketidaksempurnaan” yakni sesuatu yang buruk, atau justru itu membuat kita sebagai langsung yang unik dan berciri khas? Apabila bahan renungan ini belum cukup menggugah, maka tunggu sampai kau mendapati problematika yang mendera Rara. Tidak mirip ditampakkan dalam trailer (dimana banyak orang mencibir keputusan Ernest mengubah si protagonis menjadi anggun), ada alasan-alasan masuk logika nan kompleks yang mendorong Rara untuk bertransformasi, dan perubahan tersebut tidak lantas dipilih oleh si pembuat film sebagai solusi atas segala permasalahan yang merongrongnya. Imperfect tidak berceloteh sedangkal itu. Justru, ada tantangan lain yang harus ditaklukkan tatkala Rara menentukan untuk memenuhi ajakan sang atasan. Tantangan yang tidak pernah dipersiapkannya dikala beliau mendamba mempunyai tubuh ideal ini. Satu alasannya, alasannya Rara memiliki pandangan cethek bahwa kesempurnaan fisiknya dapat menuntaskan seluruh problematikanya. Itulah mengapa, beliau cenderung menganggap remeh persoalan Lulu yang dipikirnya tidak seberapa dibanding masalahnya alasannya sang adik memiliki wajah yang rupawan. Tapi benarkah orang-orang yang dinilai “sempurna” ini terbebas dari duduk perkara berkenaan dengan insecure? Bukankah mereka rentan untuk terjebak dalam pertemanan maupun hubungan palsu karena fisik seringkali dijadikan pertimbangan utama? Dalam film ini, Ernest menegaskan bahwa setiap orang mempunyai rasa insekyurnya sendiri-sendiri. Termasuk mereka yang sepertinya telah sangat sempurna.



Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan satu pola dari sejumlah renungan yang diajukan oleh Imperfect melalui sederet studi perkara yang disodorkannya. Ernest menyelipkannya ditengah-tengah guliran pengisahan yang berhasil dihantarkannya secara lancar dan penuh sensitivitas. Pengarahan beserta penulisan naskah yang menjadi kekuatan utama Imperfect ini ditunjang oleh lakon apik dari jajaran pemain. Disamping personil geng yang mencuri perhatian, film juga memiliki Jessica Mila (beneran menaikkan bobotnya sampai 10 kg dan menghitamkan kulitnya lho!) yang menawarkan performa terbaik sepanjang karirnya dalam Imperfect. Dia berubah menjadi sebagai tokoh utama yang mudah dicintai pada paruh pertama, kemudian lalu berangsur-angsur menjadi agak menyebalkan di paruh final ketika dirinya “tersesat” dan mempertanyakan tentang tujuannya untuk berubah. Apakah sebab semata-mata ingin dihormati, atau justru sebab beliau menyayangi tubuhnya sendiri sehingga merasa perlu untuk menjalani pola hidup sehat? Mendampinginya untuk menggerakkan elemen dramatik dalam film adalah Reza Rahadian yang sekali lagi menyodorkan akting mengesankan. Di tangannya, Dika tampil sebagai langsung yang simpatik. Dia tampak menyayangi Rara, dia tak pernah menghakimi Rara, dan beliau pun senantiasa menunjukkan pertolongan untuk Rara. Adegan yang menunjukkan Dika sedang bercanda tawa bersama ibunya, Ratih (Dewi Irawan), mengenai waxing menjadi satu momen emas bagi Reza Rahadian di sini. Terlihat seperti pasangan ibu-anak betulan, euy! Yang juga layak mendapatkan kredit tersendiri yakni Yasmin Napper yang bermain elok sebagai Lulu serta Karina Suwandi sebagai seorang ibu yang disalahpahami. Adegan pertengkaran yang melibatkan Rara, Lulu, dan Debby tak saja menawarkan kemahiran lakon dari ketiga pemain, tetapi juga mempersembahkan satu momen mengesankan bagi Imperfect yang akan membuat matamu berkaca-kaca dan seketika merindukan keluarga di rumah. Karena pada momen ini juga, penonton diingatkan bahwa keluarga semestinya menjadi pihak yang paling mampu diandalkan untuk membantu mengenyahkan insekyur. Keluarga semestinya saling mendukung satu sama lain, keluarga semestinya tidak menghakimi, keluarga semestinya tidak menjatuhkan, dan keluarga semestinya memberikan rasa kondusif dalam diri.

Outstanding (4/5)



Post a Comment for "Review : Imperfect"