Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Ini Dongeng Tiga Dara


Pertama kali mendengar Nia Dinata akan meng-upgrade film klasik Tiga Dara (1956) gubahan Usmar Ismail yang gres-baru ini dipertontonkan ulang ke khalayak ramai, dua reaksi meluncur bersamaan: bahagia dan was-was. Bahagia karena Nia karenanya kembali menelurkan sebuah karya sehabis lima tahun lamanya vakum dari dingklik penyutradaraan terhitung sejak Arisan! 2, sedangkan was-was lantaran bahan sumbernya yakni sebuah mahakarya dari seorang Bapak Perfilman Nasional. Tentunya kekhawatiran ini tanpa bermaksud sedikitpun meremehkan kapabilitas Nia. Hanya saja, bukankah ada pepatah menyampaikan bahwa “jangan pernah sekali-sekali perbaiki sesuatu yang tidak rusak”?. Well, Nia sih mengaku film terbarunya yang bertajuk Ini Kisah Tiga Dara hanya sekadar terinspirasi dari Tiga Dara alih-alih merekonstruksi, namun mengingat garis utama ceritanya kurang lebih serupa mengenai tiga bersaudari lajang yang kehidupan personalnya direcoki sang nenek – bahkan turut mengambil treatment sebagai film musikal dengan satu dua tembang digubah ulang – komparasi keduanya pun sulit dielakkan. 

Ini Kisah Tiga Dara jelas tidak berada di level yang sama dengan Tiga Dara, malah mampu dikata berada jauh di bawahnya. Menyebutnya “film buruk” memang terdengar terlalu keji mengingat sebagai produk hiburan, Ini Kisah Tiga Dara tidak sepenuhnya gagal. Paruh pertamanya menyuntikkan energi faktual untuk menggembirakan hati. Keceriwisan Oma (Titiek Puspa) tentang status lajang yang disandang oleh ketiga cucu perempuannya; Gendis (Shanty Paredes), Ella (Tara Basro), dan Bebe (Tatyana Akman), terkhusus Gendis yang telah menapaki usia kepala tiga, melontarkan banyak canda tawa. Ketertarikan pun lantas muncul dipicu oleh sedikitnya tiga alasan; pertama, penampilan centil-centil menyegarkan Titiek Puspa yang kemunculannya senantiasa menawarkan keceriaan bagi film. Kedua, kepenasaran mengetahui performa lebih lanjut Tatyana Akman yang tengil nan enerjik dengan debut tugas besarnya ini – sebelumnya dia sempat numpang lewat di Ada Apa Dengan Cinta? 2 – memberinya kesempatan melakoni adegan panas. Dan ketiga, kerinduan terhadap lakon Shanty Paredes yang sedari menit pertama telah menebarkan karisma mencengkram eratnya. 

Mereka bertiga pun tidak mengkhianati akidah saya. Akting dari Titiek Puspa, Shanty Paredes, dan Tatyana Akman yakni alasan utama mengapa Ini Kisah Tiga Dara masih menggenggam kata ‘menghibur’ disamping panorama Maumere, Nusa Tenggara Timur, yang dibingkai begitu manis oleh Yudi Datau sampai-hingga menjadikan keyakinan, angka kunjungan wisata ke lokasi ini akan seketika mengalami peningkatan selepas perilisan Ini Kisah Tiga Dara. Andaikata film ini kekurangan materi bakar pencetus di departemen akting serta kurang cermat menentukan latar, entah bagaimana alhasil. Naskah hasil racikan bersama antara Nia Dinata dengan Lucky Kuswandi cenderung lunglai pula terlalu ramai subplot yang pada kesannya kurang fokus serta menyisakan beberapa pertanyaan mengganjal terkait karakteristik beberapa tokohnya dan motivasi-motivasi atas setiap tindakan mereka termasuk kekurangyakinan ada cinta bersemi diantara Gendis dengan Yudha (Rio Dewanto) atau terhadap obsesi Ella ingin mempunyai Yudha meski Bima (Reuben Elishama) sudah begitu kentara menawarkan rasa sukanya. Selain itu, pertanyaan seperti “apa pekerjaan kekasih Bebe, Kyle (Richard Kyle), sehingga dia mampu menetap begitu lama di hotel milik keluarga Bebe?” juga cukup mengusik kekhidmatan dalam menyaksikan film ini. Memasuki pertengahan hingga paruh selesai, Ini Kisah Tiga Dara berjalan tersendat-sendat. 

Dan omong-omong soal mengganjal maupun mengusik kekhidmatan menonton, tidak ada yang lebih bikin gemas ketimbang elemen musikalnya. Sementara Tiga Dara kian menjulang berkat pengolahan pula penempatan nomor-nomor musikal yang sempurna guna, eksistensi tembang-tembang berikut adegan dansa-dansi di Ini Kisah Tiga Dara justru sangat mendistraksi. Koreografi tarinya terlampau awkward, unfortunately in a bad way, yang ada kalanya berkontribusi meruntuhkan emosi penonton mirip dalam adegan Gendis menangis di dapur dan pemilihan kata untuk lirik-liriknya pun mencoba terlalu keras semoga selaras dengan ketukan sehingga menyisakan rasa gatal di pendengaran serta mengalihkan fokus dari gugatan terhadap kerempongan masyarakat mengenai status akad nikah yang coba diutarakan oleh Nia. Seandainya saja Ini Kisah Tiga Dara tidak dijelmakan sebagai film musikal – mengikuti arus film sumber inspirasinya – yang terlalu banyak memberi “apaan sih moment” dan sepenuhnya dialirkan menggunakan metode penceritaan konvensional akhirnya bisa jadi akan lebih baik karena film sejatinya menghadirkan kesenangan mencukupi dikala berada di mode drama komedi. Ah, sungguh sangat disayangkan.

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : Ini Dongeng Tiga Dara"