Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Knives Out


“The family is truly desperate. And when people get desperate, the knives come out.”

Saat menyaksikan Knives Out garapan Rian Johnson (Looper, Star Wars: The Last Jedi) di layar lebar beberapa hari yang lalu, ada satu komentar yang seketika terlontar dari verbal aku selepas lampu bioskop dinyalakan: “wow!” Ya, aku dibentuk jatuh hati oleh karya terbaru Johnson ini hingga-sampai saya tidak kesulitan untuk memberinya label sebagai “salah satu pengalaman sinematik paling mengasyikkan di tahun 2019.” Sebuah label yang tak pernah aku perkirakan akan disandang oleh Knives Out, meski saya eksklusif telah memberikan ketertarikan jago untuk menyantap film ini sedari bahan promosinya ditebar. Pemicunya adalah, penyesuaian ekspektasi selepas menyimak versi terbaru dari Murder of the Orient Express (2017) yang tidak terlampau menggairahkan. Ada tiga persamaan yang menyatukan dua judul tersebut: 1) keduanya berdiri di jalur misteri dengan narasi ‘whodunit’ yang mengajak penonton untuk menerka-nerka si dalang pembunuhan, 2) keduanya mengedepankan pelakon-pelakon ternama untuk mengisi departemen akting, dan 3) keduanya mempunyai keterkaitan dengan novel rekaan Agatha Christie – well, dalam masalah Knives Out, lebih ke terinspirasi pada pola pengisahannya. Memiliki sederet persamaan semacam ini, mau tidak mau antisipasi yang sesungguhnya telah menjulang tinggi tadi lantas dibarengi dengan ekspektasi yang berada di level sedang. Saya tentu tidak mau dibentuk kecewa untuk kedua kalinya, saudara-saudara! Untuk itulah diri ini lantas menekan pengharapan kala bertandang ke bioskop yang ternyata oh ternyata, malah berbuah elok tatkala mendapati bahwa Knives Out sanggup bangun jauh di atas pencapaian “saudara tirinya” dan memberi aku sebuah menu hiburan yang sangat memuaskan.

Dalam Knives Out, penonton diperkenalkan kepada keluarga Thrombey yang tajir melintir berkat karir sang kepala keluarga, Harlan (Christopher Plummer), yang sukses sebagai penulis novel misteri. Dalam ulang tahunnya yang ke-85, Harlan mengundang seluruh keluarganya untuk hadir yang terdiri dari: 
    
1) Linda si putri sulung (Jamie Lee Curtis) beserta suami, Richard (Don Johnson), dan putranya yang gemar foya-foya, Ransom (Chris Evans).
2) Walt si bungsu (Michael Shannon) yang sekarang menjalankan perusahaan penerbitan milik sang ayah beserta istri, Donna (Riki Lindhome), dan putranya yang mempunyai pandangan politik mengkawatirkan, Jacob (Jaeden Martell).
3) Janda dari putra Harlan yang telah meninggal, Joni (Toni Collette), beserta putrinya yang baru saja kuliah di akademi tinggi ternama, Meg (Katherine Langford).

Disamping keluarga inti, pesta ini turut dimeriahkan oleh Marta (Ana de Armas) yang bertugas sebagai perawat pribadi Harlan. Akan tetapi, segala gegap gempita dan keriuhan yang mewarnai pesta seketika berubah secara drastis keesokan harinya tatkala Fran si asisten rumah tangga (Edi Patterson) menemukan majikannya telah membujur kaku di ruang kerjanya. Untuk sesaat, pihak kepolisian menarik kesimpulan bahwa ajal Harlan disebabkan oleh bunuh diri. Tapi benarkah demikian? Seorang detektif swasta kenamaan, Benoit Blanc (Daniel Craig), yang disewa oleh seorang misterius untuk mengusut ajal Harlan pun mencurigai kesimpulan tersebut karena si penulis novel ditemukan dalam keadaan leher tergorok. Terlebih lagi, setiap anggota keluarga yang dimintai keterangan perihal “apa yang terjadi di pesta ulang tahun?” belakangan diketahui berbohong mengenai fakta-fakta tertentu. Seolah ada yang berbahaya disana, seolah ada yang ingin ditutupi disana. Bahkan Marta yang tidak mampu berdusta alasannya tubuhnya akan seketika bereaksi apabila ia berbohong, ternyata turut menyimpan satu belakang layar besar mengenai maut Harlan. 



Usai menengok bahan promosinya, kemudian membaca sinopsis dari Knives Out, kesan “tontonan misteri yang seru” memang menguar kuat. Untungnya, apa yang tampak menggiurkan di permukaan ini sanggup ditranslasikan ke dalam bahasa gambar dengan baik oleh Johnson. Mengalun cukup panjang sampai mencapai 130 menit, kenyataannya Knives Out tak pernah sekalipun menghadirkan momen-momen membosankan dan justru, semangat terus dibentuk membara sedari menit pembuka hingga adegan epilog. Si pembuat film enggan untuk berbasa-kedaluwarsa barang sejenak dan eksklusif membawa kita kepada inti persoalan melalui prolog: maut Harlan. Dari sini, kita lantas disuguhi adegan wawancara menggelitik yang mempunyai dua fungsi krusial, yaitu 1) untuk memberi gambaran kepada penonton mengenai apa yang terjadi di detik-detik jelang maut Opa Harlan dari banyak sekali sudut pandang, serta 2) untuk menjabarkan karakteristik berikut latar belakang dari karakter-huruf inti. Yang kemudian kian meningkatkan ketertarikan aku kepada film yakni adanya fakta-fakta yang ditutupi. Baik anggota keluarga Harlan maupun Marta tidak sepenuhnya berkata jujur yang tentu saja membuat diri ini bertanya, “mengapa?.” Mengikuti acuan dari dongeng misteri berbasis whodunit, Johnson yang juga bertindak selaku penulis skenario tentu saja memosisikan setiap karakter tersebut sebagai tersangka. Tidak ada yang benar-benar mampu dipercaya, tidak ada yang benar-benar bisa dibebaskan dari tuduhan. Mereka semuanya memiliki motif sama berpengaruh untuk membunuh Harlan dan ini dikonfirmasi melalui satu adegan penting (damai, tidak akan aku sebutkan kok!) yang sekaligus menciptakan aku ingin mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang definisi “keluarga”.


Penyalahgunaan kata “keluarga” ini sendiri menjadi salah satu komentar sosial yang diajukan oleh Johnson selain tentang masyarakat berkantong tebal, insting bertahan hidup insan yang berbahaya, dan imigran gelap di Amerika Serikat. Berat? Tenang saja, sisipan komentar dan narasinya yang mengedepankan soal pemeriksaan kasus pembunuhan tidak lantas membuat Knives Out terasa njelimet. Johnson melantunkannya secara ringan yang terbukti dari pekatnya kandungan humor dalam film ini. Entah dari tindak tanduk Benoit Blanc yang nyentrik, pertikaian tak berkesudahan antar anggota keluarga Thrombey, hingga pertukaran obrolan para karakter yang acapkali lucu. Bagusnya, adanya elemen komedik yang seabrek ini tak lantas mendistraksi penonton dari elemen misteri dan pilihan kreatif tersebut malah memudahkan kita untuk mencerna penyampaian dari si pembuat film yang sejatinya kompleks. Penonton diajak bersenang-bahagia oleh Johnson sehingga tanpa tersadar kita pun mengikuti permainan sang sutradara dengan turut membuat hipotesis atas kasus yang diselidiki oleh Blanc. Bagi penonton yang jeli, petunjuk besar bergotong-royong sudah ditebar sedari awal yang dapat mengungkap siapa dalang dibalik terbunuhnya Harlan. Jika kau yaitu bagian dari penonton yang jeli, jangan kira Knives Out yakni suguhan misteri yang “gampang” dan tidak menyimpan tantangan lain. Film masih menghadirkan dua pertanyaan besar yang tak kalah penting: 1) mengapa, dan 2) bagaimana. Bagi saya langsung, Knives Out lebih condong ke tipe whydunit and howdunit ketimbang whodunit alasannya adalah letak keasyikkannya justru terletak pada pertanyaan “mengapa dan bagaimana si pelaku melaksanakan pembunuhan?” yang memperlihatkan kemahiran Johnson dalam menyusun belahan-cuilan kisah ketimbang “siapa yang melakukannya?.” 

Disamping cara bercerita Johnson yang asyik nan lancar hingga-sampai durasi panjangnya terasa seperti satu kedipan mata saja – tentunya editor juga punya peranan signifikan disini (!), keunggulan Knives Out bersumber pula dari pemain ansambelnya yang gi-la. Setiap dari mereka memiliki bantuan pada penceritaan termasuk K Callan sebagai si nenek buyut berusia 100 tahun lebih, dan setiap dari mereka diberi kesempatan untuk mempunyai momen penting. Tak ada yang tersia-siakan begitu saja. Tapi dari riuhnya pelakon ini, ada empat nama yang layak memperoleh kredit lebih yaitu Daniel Craig yang sanggup lepas dari bayang-bayang James Bond dengan tampil lucu sekaligus nyentrik sebagai si detektif, Ana de Armas yang mampu menciptakan kita bersimpati (tapi juga curiga) kepada Marta, Chris Evans yang bisa meyakinkan kita bahwa karakternya memang layak disebut “parasit keluarga”, dan Toni Collette yang tindak tanduknya senantiasa dipertanyakan alasannya Joni adalah definisi dari istilah bermuka dua. Berkat performa pelakon yang benar-benar hidup ini, Johnson pun tak mengalami kesulitan untuk menghadirkan Knives Out sebagi suatu sajian misteri menghibur yang didalamnya penuh dengan kelokan-kelokan cerita yang mengejutkan. Kamu akan dibentuk tegang olehnya, kamu akan dibentuk ingin tau olehnya, dan kau juga akan dibentuk tertawa tergelak-gelak olehnya. Keren!

Outstanding (4,5/5) 


Post a Comment for "Review : Knives Out"