Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Conjuring 2


"After everything we’ve seen there isn’t much that rattles either of us anymore. But this one, this one still haunts me."

Umumnya, sekuel dari sebuah film yang sukses secara kualitas mengalami kendala berarti dalam melampaui – atau well, minimal menyamai – pencapaian dari instalmen pertama. Hanya segelintir judul yang sanggup membuyarkan ‘kutukan’ ini dan semakin mengerucut begitu kita membicarakan film dari teritori horor mengingat bukan kasus gampang untuk mengkreasi trik menakut-nakuti yang tidak sekadar pengulangan dari seri pendahulu demi memenuhi cita-cita khalayak yang pastinya berharap lebih. Sulitnya menjumpai sekuel film angker dalam level “bagus” inilah yang mendasari skeptisisme menyambut kehadiran The Conjuring 2 sekalipun masih ada nama James Wan (Insidious, The Conjuring) di belakang kemudi. Ya mau bagaimana lagi, jilid perdananya merupakan salah satu film horor terbaik dalam beberapa dekade terakhir dengan teknik menebar teror kelas wahid dan ungkapan ‘lightning never strikes the same place twice’ lebih sering terbukti benar ketimbang keliru. Makara untuk meminimalisir kekecewaan, satu-satunya pengharapan yang kemudian diboyong masuk ke gedung bioskop hanyalah, “semoga masih ada satu-dua momen pemantik jeritan lepas!.” 

The Conjuring 2 membawa pasangan Warren, Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine (Vera Farmiga), ke Enfield, London enam tahun selepas kejadian seram yang menimpa keluarga Perron di film pertama. Kali ini, mereka mencoba membantu seorang single parent dengan empat orang anak berjulukan Peggy Hodgson (Frances O’Connor) untuk membersihkan aktifitas supranatural di rumahnya yang telah berlangsung selama beberapa bulan. Aktifitas tersebut tidak sekadar meliputi benda-benda bergerak secara misterius, bunyi-bunyi abnormal, serta penampakan-penampakan, melainkan juga termasuk adanya roh jahat yang bersarang dalam tubuh salah satu putri Peggy, Janet (Madison Wolfe). Tingkah laris janggal Janet sendiri dinilai berlebihan oleh sejumlah pihak sehingga ada kecurigaan bahwa perkara ini tidak lebih dari akal-akalan Peggy demi memperoleh rumah pengganti dari pemerintah. Lorraine pun sempat dihadang keraguan untuk melanjutkan menangani perkara ini karena kebenaran mengenai Janet yang kerasukan mulai dipertanyakan dan adanya penglihatan yang menawarkan Ed dibunuh oleh sesosok iblis berkostum biarawati. 

Siapa mengira petualangan supranatural kedua pasangan Warren masih akan memberi sensasi ketakutan yang sama? Ungkapan ‘lightning never strikes the same place twice’ terperinci sama sekali tidak berlaku disini. Terlonjak jago dari dingklik bioskop, berteriak-teriak kemudian diikuti tawa gemas guna melepas stres, serta meringkuk bagus di balik jaket ialah reaksi yang sangat mungkin kamu alami sepanjang menyimak The Conjuring 2. Dan, menghela nafas penuh kelegaan merupakan hal pertama yang aku lakukan usai menonton The Conjuring 2 di bioskop lantaran hampir sepanjang durasi dibentuk sesak nafas. Hanya mengharap ada satu dua momen mengerikan, nyatanya James Wan memperlihatkan lebih dari itu. Memang sih tidak ada adegan legendaris macam ‘hide and clap’ mirip sang predesesor, tapi The Conjuring 2 mempunyai penyebaran teror yang lebih merata dan berlimpah tanpa pernah terasa murahan apalagi mubazir. Penampakan para memedi memiliki hubungan kuat dengan pergerakan kisah – bukan asal nongol sesuka hati agar penonton terkaget-kaget – dan kemunculannya pun diatur sedemikian rupa diiringi musik menghantui gubahan Joseph Bishara sehingga sekalinya muncul, istighfar maupun sumpah serapah dari lisan penonton seketika menggema.

Ya, The Conjuring 2 memang hero dalam urusan menakut-nakuti penonton entah itu menggunakan jump scares efektif atau atmosfir serba tidak mengenakkannya yang tercium kuat utamanya di paruh awal. Wan tidak berbasa-basi terlebih dahulu – atau menunggu penonton menyiapkan mental – alasannya begitu lampu bioskop dipadamkan, kita ditarik memasuki rumah Amityville yang merupakan salah satu perkara paling terkenalnya pasangan Warren. Bahkan hanya sesaat sesudah duo protagonis menyelesaikan kasus tersebut, sorotan langsung berpindah ke keluarga Hodgson. Memberi sekelumit citra terkait keluarga malang ini, teror kembali menghujam selepas Peggy bermain-main memakai papan Ouija. Kali ini benar-benar tiada ampun. Bulu kuduk merinding, tenggorokan tercekat, dan ada kalanya ingin mengalihkan pandangan dari layar. Suasananya begitu mengganggu, penampakan iblisnya pun sangat menyeramkan. Alih-alih bergantung pada komputer, tim produksi menetapkan untuk mendayagunakan kehebatan tim tata rias plus pencahayaan dalam mengkreasi tampilan si setan. Hasilnya, meyakinkan! Saking meyakinkannya, penonton berhasil dibentuk percaya bahwa apa yang mereka lihat di layar ialah sesosok iblis bukannya insan berdempul tebal (...atau jangan-jangan memang benar?). Yikes! 

Pun demikian, sumber kekuatan The Conjuring 2 tidak semata-mata berasal dari keahliannya menebar rasa takut, melainkan juga bagaimana film ini membuat rasa haru. Ada hati yang besar dibalik tampilan serba seramnya. Usai pasangan Warren mendarat di London, laju film sempat melambat namun tidak lantas membosankan untuk memberi ruang bernafas bagi penonton. Pada titik inilah, momen dramatik mulai tumbuh berkembang. Kita mengenal lebih jauh pasangan Warren, kita juga memperoleh suplemen gosip soal keluarga Hodgson. Wan menebalkan sisi humanis dan drama sentimentil untuk mendekatkan penonton dengan barisan aksara dalam film. Kita peduli terhadap apa yang para protagonis alami. Seolah-olah pasangan Warren dan keluarga Hodgson ialah orang-orang yang kita kenal baik di kehidupan konkret, bukan sekadar abjad dalam film. Inilah nilai lebih bagi The Conjuring 2 dibanding kebanyakan film horor kala kini yang sekaligus mengangkat derajatnya. Nilai lebih lainnya, para pelakonnya memberi kontribusi akting ciamik dalam menghidupkan huruf masing-masing terutama duo Vera Farmiga-Patrick Wilson yang chemistry bagusnya membuat kita iri, luluh, serta terenyuh melihat kemesraan pasangan Warren. 

Memberi label The Conjuring 2 ‘lebih menyeramkan atau tidak lebih menyeramkan’ dari jilid pertama, tergantung seberapa jauh kau menyukai film perdananya. Apabila bagimu The Conjuring yakni sebuah tontonan horor yang sangat gemilang, mampu jadi apa yang ditawarkan Wan disini tidak akan membuatmu terpesona. Tapi bila kau menganggap seri pendahulu tidak sebagus yang diobrolkan banyak orang, well, The Conjuring 2 akan gampang memikat hatimu dan menilai tingkat keseramannya lebih tinggi ketimbang sang abang. Pada kesannya, mengesampingkan kemana keberpihakanmu, rasa-rasanya kita dapat menyepakati film ini sebagai salah satu menu horor paling angker keluaran negeri Paman Sam dalam beberapa tahun terakhir. Berkat The Conjuring 2, kita tidak akan lagi memandang sama para biarawati serta tidak akan lagi mampu mendengar tembang “Can’t Help Falling in Love” maupun “Hark! The Herald Angels Sing” tanpa harus bergidik ngeri. Well done, James Wan!

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : The Conjuring 2"