Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Rudy Habibie


“Jadilah seperti mata air. Jika air yang keluar dari sana jernih, maka semuanya akan ikut jernih. Jika yang keluar dari sana kotor, maka semuanya jadi kotor.” 

Kala dipasarkan di bioskop-bioskop tanah air empat tahun silam, Habibie & Ainun produksi MD Pictures mencatat rekor gemilang. Setidaknya 4,5 juta pemirsa berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop guna menjadi saksi kebesaran cinta Bacharuddin Jusuf Habibie bersama sang cinta sejati, Hasri Ainun Besari, selisih tipis dengan pencapaian jumlah penonton Laskar Pelangi yang sebelumnya telah ditahbiskan sebagai film Indonesia paling banyak disimak. Dengan torehan segemilang ini maka terdengar masuk akal saat MD Pictures mencetuskan gagasan adanya film kelanjutan. Tentu bukan meneruskan guliran kisah asmara Pak Habibie dengan almarhumah istrinya, melainkan membedah sisi lain dari kehidupan Pak Habibie atau dengan kata lain mengkreasi ‘Habibie Universe’. Upaya pertama diberlakukan di Rudy Habibie. Meski dijual menggunakan suplemen Habibie & Ainun 2, kenyataannya film isyarat Hanung Bramantyo ini lebih mengarah prekuel ketimbang sekuel. Fokusnya pun berbeda alasannya sekali ini lebih ditekankan pada usaha-usaha awal mantan Presiden Republik Indonesia tersebut kala berusaha memperjuangkan mimpinya untuk menjadi kenyataan. 

Bersama sang peracik skenario, Gina S. Noer, Hanung Bramantyo menentukan dua fase penting dari kehidupan Pak Habibie, ialah abad dia menjalani abad kecilnya di Sulawesi dan semasa mengenyam dingklik kuliah di Jerman, sebagai sorotan utama film. Selama setengah jam pertama, penonton menerima kesempatan untuk melongok lebih jauh keluarga Habibie cilik (Bima Azriel) yang terpaksa mengungsi dari Parepare ke Gorontalo alasannya adalah dibombardir Jepang. Selama fase ini pula, kita mendapati isu terkait bagaimana keinginan untuk membuat pesawat terbang mulai terbentuk dalam diri Habibie. Ada peran besar dari sang ayah (Donny Damara) yang senantiasa mengobarkan mimpi Habibie dengan terus menerus mengingatkannya untuk menjadi “mata air” bagi orang lain, atau dengan kata lain menjadi manusia yang berkhasiat. Amanat sang ayah ini memecut semangat Habibie dewasa atau dekat disapa Rudy (Reza Rahadian) dalam mewujudkan cita-citanya menciptakan pesawat bagi Indonesia sampai-hingga Rudy pun bertolak ke Jerman guna mengemban ilmu di universitas ilmu teknik terkemuka, RWTH, sekalipun bergotong-royong secara finansial kurang menunjang. 

Jika Habibie & Ainun cenderung lebih hening tatkala memaparkan kisahnya, maka Rudy Habibie semacam antitesisnya. Meletup-meletup, senada dengan gejolak Rudy dalam merealisasikan mimpi besarnya. Selama durasi mengalun yang mencapai 142 menit, penonton berulang kali dihantam gulungan-gulungan ombak berwujud emosi. Sebut saja apa yang kamu harapkan bisa dapatkan dari Rudy Habibie. Catatan perjuangan yang menginspirasi? Check. Momen-momen mengharu biru yang menguras air mata? Check. Kejenakaan lontaran-lontaran humor? Check. Atau malah mungkin, ketegangan hasil dari eksistensi momen-momen genting? Check. Ya, Rudy Habibie menunjukkan paket komplit yang jarang kau temui di kebanyakan film buatan dalam negeri. Rudy Habibie memberikan kita apa yang mampu disebut sebagai “emotional rollercoaster” alasannya adalah film ini hampir tiada henti membolak-balikkan emosi penonton dalam tempo yang juga mampu dikata cepat. Satu hentakan selesai, disambut hentakan lain, lalu muncul hentakan lain, dan begitu seterusnya sehingga panjangnya durasi tidak terlalu menjadi soal terlebih lagi pergerakan plotnya cukup lancar, mengasyikkan pula dinamis. 

Kita mungkin dibuat bertanya-tanya pada mulanya mengenai durasi, “mengapa membutuhkan waktu lama bagi Hanung hanya untuk sekadar membicarakan pergulatan Habibie dalam mewujudkan impiannya di negeri orang?.” Nyatanya, memang ada banyak hal yang dibicarakan oleh Rudy Habibie. Persahabatannya bersama mahasiswa lain dari Indonesia; Liem Keng Kie (Ernest Prakasa), Peter Manumasa (Pandji Pragiwaksono), Poltak Hasibuan (Boris Bokir), serta Ayu (Indah Permatasari) yang menyeretnya untuk bergabung ke organisasi mahasiswa Indonesia berjulukan PPI, lalu perselisihannya dengan anggota Laskar Pelajar yang dikomandoi Panca (Cornelio Sunny), timbul tenggelamnya iktikad diri Rudy terhadap kapabilitasnya hingga – tentu ini dilarang ketinggalan – kisah percintaannya bersama mahasiswi medis asal Polandia, Illona Ianovska (Chelsea Islan). Seperti halnya Ainun, Illona adalah perwujudan dari ungkapan “dibalik kesuksesan seorang laki-laki, ada sosok wanita besar lengan berkuasa dibelakangnya” dengan keberadaannya sepanjang film tidak semata-mata didayagunakan untuk memunculkan jalinan romansa yang menyesakkan dada tetapi juga salah satu alasan utama mengapa Rudy enggan menyerah pada mimpinya. 

Plot yang bercabang-cabang ini memang terkesan penuh sesak, namun jika ditelusuri, kesemuanya mempunyai donasi besar pada pembentukkan abjad Habibie di lalu hari. Memberikan gambaran lebih menyeluruh ketimbang Habibie & Ainun mengenai seperti apa sosok B.J. Habibie bekerjsama. Disajikan dengan bubuhan macam rasa yang memungkinkanmu tertawa, gemas, hingga menyeka air mata, potensi kejenuhan maupun kelelahan akhir banyaknya subplot beserta rentang waktu penyajian yang lama pun sanggup diminimalisir. Apiknya permainan emosi, salah satunya disebabkan oleh adanya parade akting brilian di Rudy Habibie. Well, kita sudah tahu seperti apa kecemerlangan Reza Rahadian kurun bertransformasi menjadi Habibie di film sebelumnya, disini pun dia ‘sinting’ mirip biasa, dan kali ini energi positifnya dalam berlakon menular kepada para lawan mainnya, khususnya Chelsea Islan, Indah Permatasari, dan Ernest Prakasa yang berhasil meningkatkan kemampuan berolah peran masing-masing. Selain itu, Rudy Habibie juga dianugerahi tata produksi menawan, yaitu imbas khusus cantik, skoring musik megah – meski ada kalanya sedikit berlebihan – dan tangkapan gambar anggun yang menghadirkan kesan mewah plus mahal disamping mempunyai peranan menunjukkan rasa pada film.

Outstanding (4/5)



Post a Comment for "Review : Rudy Habibie"