Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Yowis Ben


“Wong-wong kudu paham, suatu saat kene iso dadi keren.” 

Beberapa waktu lalu, Yowis Ben yang menandai untuk pertama kalinya Bayu Skak menempati posisi aktor utama sekaligus sutradara – mendampingi Fajar Nugros, menciptakan kontroversi tak perlu di kalangan netizen-maha-benar lantaran obrolan dalam film sebanyak 80% memakai Bahasa Jawa. Bermacam-macam bentuk kecaman dilayangkan dari menuduh berniat memecahbelah bangsa hingga bernada mengejek yang menyerang ke stereotip masyarakat Jawa. Memiliki segudang bahasa kawasan yang tersebar di seantero Indonesia, tentu bukan sesuatu yang mengherankan jikalau lalu ada film buatan sineas tanah air yang mempergunakan bahasa tempat tertentu untuk keperluan menghantarkan kisah. Dalam beberapa tahun terakhir saja, geliatnya mulai terasa yang diprakarsai oleh film-film asal Makassar yang menerima sorotan di tahun 2016 silam berkat laris manisnya Uang Panai (menembus 500 ribu penonton!) dan film-film dari Yogyakarta seperti Siti (2015) atau Turah (2017) yang langganan wara-wiri ke ajang penghargaan. Yowis Ben tak ubahnya judul-judul tersebut yang bercerita memakai bahasa tempat demi mempertahankan autentisitas (mengingat latar utamanya di Malang, Jawa Timur, yang masyarakatnya memang berbahasa Jawa) dan penebalan pada rasa. Yang kemudian membedakan Yowis Ben dengan judul-judul tersebut hanyalah pada skalanya alasannya adalah film ini diproduksi oleh Starvision yang terhitung sebagai pemain besar di perfilman Indonesia. 

Karakter sentral yang menjadi motor penggagas Yowis Ben ialah siswa Sekolah Menengan Atas bertampang pas-pasan dengan kondisi finansial pas-pasan pula bernama Bayu (Bayu Skak). Tentu saja Bayu bukanlah siswa tenar alasannya adalah bakat atau pencapaian akademiknya di sekolah. Bayu cukup dikenal oleh rekan-rekannya alasannya adalah beliau membantu menjajakan pecel buatan ibunya sehingga memiliki panggilan “Pecel Boy”. Statusnya sebagai siswa jelata ini terperinci membuatnya kesusahan untuk menambat hati para perempuan, terlebih lagi Bayu secara spesifik mengincar siswi-siswi terkenal. Saat Bayu jatuh hati kepada Susan (Cut Meyriska) yang tak ubahnya primadona sekolah, beliau menetapkan untuk melaksanakan perubahan dalam dirinya demi meningkatkan ‘strata sosial’. Bersama dengan sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), yang tengah berusaha menerima perhatian dari kedua orang tuanya, Bayu berinisiatif membentuk grup musik. Dari hasil menyebar pamflet seadanya, dua sahabat ini berhasil merekrut pemukul bedug masjid yang diam-diam memiliki talenta terselubung sebagai drummer, Yayan (Tutus Thomson). Turut bergabung bersama mereka yakni murid pindahan yang digilai alasannya adalah tampangnya, Nando (Brandon Salim). Mengusung nama Yowis Ben yang tercetus dari musyawarah berujung pertikaian, grup musik ini mengusung satu misi: pembuktian diri. Suatu misi yang ternyata mudah saja untuk dicapai hingga lalu cobaan menghadang dalam wujud seorang wanita yang seketika mengancam keutuhan band. 


Ditilik dari sisi gagasan kisah, Yowis Ben sejatinya tidak menghadirkan sesuatu yang baru. Plot formulaiknya mengenai seorang cowok yang membentuk grup musik demi menaklukkan hati seorang pemudi telah beberapa kali kita jumpai dalam film sejenis, termasuk Suckseed (2011) dan Sing Street (2016). Yang lantas memberi keasyikkan tersendiri dalam menyaksikan Yowis Ben yaitu asupan humor yang kental, tembang-tembang renyah di telinga dan penuturannya yang enerjik. Sedari menit pembuka, film yang mengejawantahkan skrip rekaan Bagus Bramanti dan Gea Rexy ini memang telah tancap gas. Perkenalan kepada sosok Bayu ditempuh dengan cara ngelaba yang sekaligus bertujuan untuk membiasakan penonton kepada tone yang diterapkan oleh film. Bisa dibilang, sepanjang Yowis Ben mengalun di separuh awal durasi, canda tawa ialah hidangan utamanya. Canda tawanya bersumber dari humor-humor receh nirfaedah yang (saya meyakini) merupakan santapan sehari-hari simpanse-kera ngalam dan sebagian penonton. Adanya faktor kedekatan ini mempunyai peranan penting terhadap bagaimana humor-humor yang dilontarkan mampu terdengar sangat lucu. Keputusan si pembuat film untuk tetap mempertahankan dialog dalam Bahasa Jawa dengan dialek Malangan harus diakui bukan saja berani tetapi juga tepat guna. Andai dialognya ditranslasi ke Bahasa Indonesia, kelucuan yang ditimbulkan mungkin tidak ‘ger-geran’ seperti ini dan malah bisa jadi berakhir jayus karena memang tidak semua guyonannya cocok diucapkan dalam Bahasa Indonesia. 

Faktor lain yang turut menentukan tersalurkannya banyolan dalam Yowis Ben dengan baik adalah performa jajaran pelakonnya. Baik Bayu Skak, Joshua Suherman, Brandon Salim, serta Tutus Thomson (yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian!) bermain secara santai dan effortless. Mereka menghadirkan chemistry lekat sehingga kita mampu memercayai bahwa keempatnya memang memiliki ikatan persahabatan. Tek-tokan diantara sesama mereka yang dipenuhi jancuk-jancukan terasa amat seru, begitu pula penampilan dari Arief Didu sebagai ‘penasehat spiritual’ Bayu, Erick Estrada sebagai penggemar nomor satu Yowis Ben, dan duo komedian legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo-Cak Sapari, sebagai pelanggan warung pecel yang kian meningkatkan level kelucuan film ini. Jika ada titik lemah, maka itu terletak pada Cut Meyriska yang memegang peranan krusial di separuh final. Aktingnya yang cenderung sinetron-ish memang bukan kesalahan tunggal karena terhitung sedari mencuatnya elemen dramatik, Yowis Ben mulai goyah. 

Kisah percintaan Bayu-Susan yang tereksekusi canggung cenderung tak meyakinkan dan sosok Susan yang tidak pernah tertambat di hati penonton karena pengenalan karakternya hanya sepintas lalu serta karakterisasinya yang tidak konsisten (serius, saya resah. Apakah Susan ini benar-benar menyayangi Bayu?) membuat saya mempertanyakan keputusan si pembuat film untuk memindahkan fokus penceritaan ke dua sejoli ini dan makin dipertanyakan sesudah karakterisasi Susan bertransformasi secara drastis. Andai jalinan pengisahan tetap setia pada teritori persahabatan dan grup musik tanpa harus dipaksa berbelok ke ranah romansa dan drama yang tidak juga tergarap matang, fun factor beserta greget Yowis Ben mampu jadi akan lebih tinggi. Cukup disayangkan mengingat Yowis Ben sejatinya sudah sangat menyenangkan untuk ditonton sebelum jatah tampil Susan datang-tiba diperbanyak.


Note : Yowis Ben dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang komunikatif. Jadi kalian yang tak paham Bahasa Jawa, tak perlu risau bakal dibuat kebingungan.

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : Yowis Ben"