Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Black Panther


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan berkelahi yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya memiliki pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya mempunyai jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda abnormal bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini bisa tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai pembagian terstruktur mengenai singkat ini yang lalu dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam insiden pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal sumbangan dari tiga wanita jago; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan ihwal jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan bisa menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pendekar berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan menciptakan hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang mampu kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan adu mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, hero yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang dibutuhkan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kurun disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya mampu menciptakan penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun cita-cita untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di teladas merupakan salah satu adegan berkelahi terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi imbas kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya mampu lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa yaitu Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi kemudian membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini menciptakan Black Panther mempunyai greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama mitra (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan tubruk cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther bangkit kokoh yakni elemen teknisnya. Tengok saja imbas visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther ialah performa ansambel pemainnya yang bisa menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan menawarkan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira yaitu dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker menawarkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa huruf-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi kematian dari banyak sekali departemen seperti ini, tak mengherankan jikalau kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender berpengaruh sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther mempunyai dua adegan embel-embel dikala credit scene bergulir yang memperlihatkan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Black Panther"