Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Eiffel... I'm In Love 2


“Dalam korelasi cowok dan cewek, itu cuma ada dua. Pacar atau mantan pacar. Kaprikornus nggak ada tuh yang namanya sahabat.” 

Reuni Cinta dengan Rangga usai terpisahkan selama ratusan purnama dalam Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) yang memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus, telah menginspirasi para produser untuk menghidupkan kembali cerita cinta pasangan-pasangan fiktif kenamaan di perfilman Indonesia. Upaya tersebut bisa ditengok melalui Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) yang menjadi saksi kebesaran cinta Fahri kepada Aisha dan paling gres yaitu Eiffel… I’m in Love 2 (2018) yang sekali lagi mempertemukan kita dengan dua sejoli Tita-Adit. Keputusan untuk memberi kisah kelanjutan bagi Eiffel… I’m in Love (sekadar info, Lost in Love yang dibintangi oleh Pevita Pearce tidak pernah dianggap sebagai sekuel resmi) tentunya bukan tanpa alasan jelas. Film pertamanya yang didasarkan pada novel laku rekaan Rachmania Arunita mampu mendatangkan 3 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop sekaligus membuat tren “film percintaan remaja dengan latar negeri orang.” Soraya Intercine Films tentu ingin mengulang kembali fenomena tersebut terlebih nostalgia bersama Cinta-Rangga dan Aisha-Fahri tempo hari terbilang sukses dari segi finansial. Yang lalu menjadi pertanyaan ialah, apakah sebuah sekuel bagi cerita percintaan Tita-Adit yang digarap ole Rizal Mantovani ini memang benar-benar diperlukan? 

Demi menyegarkan ingatan penonton sekaligus menguarkan aroma nostalgia, Eiffel… I’m in Love 2 membuka gelarannya dengan opening credit berhiaskan foto-foto adegan dari film pertamanya. Berlangsung selama kurang lebih dua menit, pembuka ini cukup ampuh dalam meningkatkan mood sehingga terbersit sekelumit rasa tidak tabah untuk mengetahui sejauh mana dongeng kasih Tita (Shandy Aulia) dengan Adit (Samuel Rizal) telah berkembang sesudah kita tidak lagi mendengar perkembangannya selama belasan tahun. Hanya beberapa menit usai film memulai pengisahannya, penonton menyadari bahwa Tita tidak benar-benar berubah – dalam artian masih manja dan ibunya tetap bersikap kelewat protektif kepadanya – serta relasi Tita dengan Adit yang telah dibina selama 12 tahun masih infinit-infinit saja sekalipun LDR (long distance relationship) dan diwarnai pertengkaran saban hari tiap kali saling berkomunikasi. Tak pernah naik level dari ‘tunangan’, Tita mulai berharap Adit akibatnya akan mengajaknya ke pelaminan pasca ia beserta keluarganya diajak pindah sementara ke Paris untuk mengurus bisnis restoran milik orang tua Adit yang terbengkalai. Harapan Tita yang menggebu-nggebu ini perlahan tapi pasti mulai pupus tatkala Adit memberikan ketidaksiapannya dan muncul orang ketiga dalam relasi mereka

Tidak banyak ekspektasi yang disematkan masa melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Eiffel… I’m in Love 2. Pasalnya, sekalipun cukup menikmati jilid pertamanya, aku tidak pernah benar-benar menggemarinya. Tita-Adit terang bukan Cinta-Rangga yang mempunyai daya tarik begitu berpengaruh hingga-sampai kelanjutan relasi mereka pun dinanti-nantikan. Sikap netral (cenderung mendekati pesimis, sejujurnya) ternyata membawa kejutan tersendiri bagi saya. Tanpa dinyana-nyana, Eiffel… I’m in Love 2 sanggup dihadirkan sebagai tontonan percintaan yang memikat, anggun-anggun menggemaskan, sekaligus jenaka. Ya, ini ialah kejutan manis di permulaan tahun 2018. Perjalanannya yang berlangsung selama 117 menit memang tidak selamanya berlangsung mulus. Selepas opening credit yang dikemas cakep, Eiffel… I’m in Love 2 agak tergagap-gagap dalam memberikan kisahnya. Salah satu faktor pemicunya terletak pada barisan pemain pendukung dengan performa ibarat robot. Mereka terlihat mirip tengah mengingat-ingat dialog apa yang hendak diucapkan. Konsekuensinya, selama belasan menit pertama, film tak begitu nikmat untuk dikudap terutama setiap kali Tita berinteraksi dengan keluarganya. Berharap sekali bioskop menyediakan fitur fast forward atau minimal mute sehingga meniadakan suara. Gangguan ini bertahap mulai tereduksi tatkala latar film berpindah ke Paris. 

Chemistry Shandy Aulia dan Samuel Rizal yaitu kunci utama yang membuat Eiffel… I’m in Love 2 terasa bernyawa. Dinamika diantara keduanya masih mirip yang kita saksikan 15 tahun lalu, bahkan kali ini lebih asyik. Ada keseruan tersendiri menyaksikan mereka gotong royong baik ketika ribut-ribut yang memunculkan elemen komedi menyegarkan maupun saat bermesraan yang menghadirkan elemen romantis yang bikin senyum-senyum. Disamping itu, pendewasaan huruf menyebabkan Tita dan Adit tidak lagi semenyebalkan dulu. Tita mampu menunjukkan ketegasan dalam mengambil keputusan, sementara Adit tampak lebih bertanggungjawab. Adegan rekonsiliasi usai perang masbodoh yang berlangsung di menara Eiffel tidak saja menjadi salah satu adegan paling romantis dalam sejarah film percintaan tanah air, tetapi juga memberi klasifikasi masuk akal mengenai hubungan asmara Tita-Adit yang tidak kunjung diboyong ke pelaminan. Adegan ini sendiri berkontribusi besar terhadap Eiffel… I’m in Love 2 sehingga membuatnya terasa layak ditonton. Yang turut mendongkrak dalam menaikkan kelas Eiffel… I’m in Love 2 ialah production value-nya yang tidak main-main. Pemilihan kostum yang turut mempertegas karakteristik tiap tokoh, bidikan gambar yang membingkai sudut-sudut Paris dengan begitu manis, dan iringan musik yang menebalkan cita rasa romantis. Kombinasi ketiganya membantu memberi kesan glamor sekaligus mahal pada film. Inilah alasan mengapa film ini tidak mampu disebut sekelas FTV. Just saying. Kelanjutan dongeng percintaan Tita-Adit mungkin tidak benar-benar dibutuhkan, tapi Eiffel… I’m in Love 2 memperlihatkan bahwa ini bukanlah sebuah sekuel yang sia-sia.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Eiffel... I'm In Love 2"