Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Temen Kondangan


“Kamu itu nggak pernah mikirin kata saya atau diri kau sendiri. Tapi orang lain.”

Sebagai seseorang yang sering kemana-mana sendiri, bagi saya menghadiri sebuah resepsi pernikahan tanpa gandengan bukanlah suatu duduk perkara yang mesti dikhawatirkan. Entah itu kondangannya sahabat baik atau mantan sekalipun. Tapi ternyata, “dateng ke nikahannya mantan” mampu menjadi dilema pelik khususnya bagi kaum hawa yang belum dianugerahi pasangan. Saking bermasalahnya, sampai-sampai terbit satu golden rule berbunyi: jangan tiba sendirian. Sebuah aturan yang tadinya sempat hamba kira sebagai guyonan belaka untuk menggerakkan narasi film terbaru MNC Pictures, Temen Kondangan, hingga kemudian dua orang mitra dari medium berbeda (maksudnya, dunia maya dan dunia kasatmata gituuu…) mengungkapkan keresahan yang pernah dialaminya. Keresahan tersebut bermula usai dia menerima seruan kawinan dari sang mantan, sementara pada ketika itu ia masih menyandang status jomlo. Meski sobat ngobrol saya ini sempat kepikiran untuk mengajak teman lelakinya sebagai gandengan, belakangan beliau tak berkeberatan untuk datang sendiri bersama rombongan dari sobat-teman sepermainannya dulu. Sungguh sebuah cerita menggelitik yang sedikit banyak menyadarkan saya bahwa pergulatan batin yang dihadapi oleh huruf utama dalam Temen Kondangan memang faktual adanya terutama bagi mereka yang kerap menganggap penting omongan orang.

Dalam Temen Kondangan, aksara yang dirundung keresahan tersebut berjulukan Putri (Prisia Nasution). Untuk mereka yang hidupnya tak bergantung pada pandangan netizen, mendatangi kondangan mantan seorang diri atau malah menentukan untuk tidak mendatanginya tentu bukan menjadi soal. Namun bagi Putri yang terhitung sebagai influencer kenamaan di Instagram dimana warganet punya dampak besar terhadap hidupnya, tiba ke kondangan sang mantan, Dheni (Samuel Rizal), tanpa gandengan yakni sebuah problem pelik. Beberapa orang mungkin akan bilang, “yaudah sih ngga usah dateng” atau “halah, nggak perlu diunggah di IG deh bila kayak gitu,” mirip disarankan oleh asistennya, Sari (Chika Waode). Tapi dua hal yang membuat Putri tidak mampu serta merta mengelak yakni: 1) ia sudah berjanji untuk menerima tantangan sahabat-sahabat sepergaulannya dengan hadir di nikahan Dheni bersama pasangan sebagai bukti bahwa beliau sudah move-on, dan 2) nikahan Dheni digadang-digadang sebagai salah satu ijab kabul terbesar tahun ini karena kedua orang renta mempelai merupakan pengusaha besar yang cukup besar lengan berkuasa. Sebagai solusi atas permasalahannya, Putri pun mengajak sobat semasa SMA-nya, Yusuf (Reza Nangin), yang tanpa sengaja ditemuinya untuk menemaninya. Untuk sesaat, Yusuf tampak seperti solusi bagi si abjad utama hingga dua laki-laki lain, Galih (Gading Marten) dan Juna (Kevin Julio), mendadak hadir di resepsi pernikahan Dheni dengan mengaku sebagai pendamping Putri. Nah lho!


Pun begitu, identitas dari dua huruf pria ini tidak pernah diniatkan sebagai twist bagi Temen Kondangan alasannya adalah penonton telah mengetahui siapa mereka sedari awal. Galih ialah atasan Putri yang sempat menggodanya dengan menyampaikan bersedia untuk menemaninya ke kondangan, sementara Juna yaitu sepupu Sari yang tadinya disewa oleh Putri tapi tak kunjung menunjukkan respon dikala dihubungi. Dua karakter ini, berikut dengan Yusuf, nyatanya menghadirkan persoalan tambahan bagi sang protagonis karena ternyata mereka memendam agenda sendiri-sendiri. Melalui huruf-huruf inilah, film lantas memanen kelucuannya. Jenis kelucuan yang boleh jadi tidak berlaku untuk semua orang sebab Temen Kondangan ternyata berniat mendefinisikan kata “rusuh” di tagline secara harfiah. Guna membuat kesan rusuh nan heboh inilah, film instruksi Iip S Hanan (sebelumnya menggarap sinetron Tukang Ojek Pengkolan) ini pun tidak aib-malu untuk mengandalkan banyolan-lawakan nyeleneh semacam “tarian Ular Berbisa” guna memantik gelak tawa. Tak jarang diantaranya memang urung mengenai sasarannya, lalu berakhir garing. Tapi dikala mampu mengenai sasaran, saya yang tidak pernah keberatan disuguhi humor receh ini pun dibentuk terbahak-bahak olehnya. Entah sumbernya dari interaksi serba canggung antar huruf yang didesain mempunyai perangai luar biasa asing, atau situasi-situasi yang tidak berjalan semestinya balasan ulah tak berkesudahan satu dua aksara yang enggan duduk manis seraya menyantap menu dari katering.

Berhubung film tampaknya diniatkan untuk semata-mata tampil seheboh dan serusuh mungkin, narasi gubahan duo penulis skenario Rino Sarjono dan Fauzan Adisuko pun memilih untuk tidak menyediakan banyak ruang bagi tumbuh kembangnya karakter dan konflik. Bahkan, bentuk keresahan manusia modern seperti omongan orang yang nyelekit, ketergantungan pada media sosial, hingga ketidaksanggupan untuk mengikhlaskan yang sempat disentil beberapa kali (dan sejatinya menggigit pula!) pun tak diulas lebih mendalam. Sebuah pilihan yang menghadirkan problematika tersendiri bagi Temen Kondangan khususnya begitu film menginjak pertengahan durasi. Mengambil latar penceritaan nyaris sepenuhnya di gedung resepsi dalam kurun waktu beberapa jam saja, maka sudah barang tentu membutuhkan naskah beserta penceritaan yang amat kokoh supaya film berlangsung lancar tanpa ada momen “dipertanyakan”. Temen Kondangan sayangnya tak disertai oleh dua komponen tersebut sehingga ada kalanya saya merasa jalinan pengisahan di film ini berputar-putar dan cenderung jalan di tempat sampai sempat memunculkan celetukan, “kemudian mau dibawa kemana selepas ini?”. Dalam upaya menuntaskan hambatan yang merundung pengisahan, film justru memunculkan cabang-cabang konflik untuk abjad pendukung yang kurang krusial dan justru berdampak pada meredupnya fokus terhadap Putri yang notabene tokoh utama. Kita memang melihat ia berubah ke arah lebih baik, tapi proses perubahannya ini tak dikedepankan secara mendetil padahal saya pribadi (dan mungkin penonton lain) berharap bisa mengikuti transformasinya mengingat sebagai aksara pun beliau sejatinya mudah untuk disukai.


Untungnya, sekalipun bermasalah di sektor narasi, Temen Kondangan ditopang pula oleh pemain ansambel yang solid. Kerelaan para pelakon untuk tampil gila-gilaan menjadi satu alasan mengapa film masih bisa terhidang sebagai sebuah hidangan yang sangat mengasyikkan dan nikmat buat disantap. Berada di garda terdepan, Prisia Nasution melakukan “penebusan dosa” usai terjebak di film-film kelas B yang meredam potensinya dengan mempertontonkan keahliannya berolah tugas sekaligus ngelaba. Di tangannya, aksara Putri yang bisa tampak menyebalkan dalam interpretasi kurang sempurna malah terlihat menyenangkan untuk diajak berkawan. Kesan bersahabatnya menguar besar lengan berkuasa dengan celetukan-celetukan yang acapkali membuat hamba tergelak berkat comic timing mengagumkan. Istimewanya lagi, Prisia pun bersedia memberikan effort lebih untuk tugas sereceh ini dengan menggunakan obrolan Bahasa Sunda (yang menurut ia, sama sekali tidak dipahaminya), alih-alih sebatas menjumput dialeknya. Sebuah usaha yang jarang-jarang dilakukan oleh aktris tanah air, khususnya dalam genre yang sejatinya tidak memerlukan akurasi berbahasa. Selain Prisia, Temen Kondangan turut terbantu oleh performa Gading Marten yang memang selalu mampu diandalkan untuk menghidupkan peran komedik, Reza Nangin yang lucu dalam kenelangsaannya sebagai personil grup musik tak dianggap, Kevin Julio yang kegenitannya sebagai playboy bikin geli, Imelda Therinne yang memberi sedikit sentuhan dramatik, sampai Olivia Jensen dalam comeback yang apik sebagai manten yang terbakar api cemburu. Jajaran pemain ini tahu betul bagaimana caranya menciptakan kerusuhan melalui tindak tanduk lebay tanpa harus membuatnya terlihat menjengkelkan dan tetap bisa memantik gelak tawa. 

Acceptable (3/5)          

Post a Comment for "Review : Temen Kondangan"