Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Post


“If the government wins, The Washington Post will cease to exist.” 

Hanya berpatokan pada siapa-siapa yang terlibat, The Post sebetulnya telah terdengar begitu menggiurkan. Betapa tidak, film ini mengawinkan dua pemain drama besar, Tom Hanks dengan Meryl Streep, di garda terdepan departemen akting dan dibesut oleh Steven Spielberg yang telah memberi kita film-film legendaris mirip E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Jurassic Park (1993), serta Saving Private Ryan (1998). Seolah ini belum cukup untuk membuat kita buru-buru memesan tiket bioskop, The Post turut menyodorkan materi cerita yang seksi terkait keterlibatan media massa di Amerika Serikat – khususnya The Washington Post – dalam mengungkap skandal militer yang berlangsung dibawah pemerintahan Richard Nixon pada awal dekade 70-an. Bukan, bukan mengenai Watergate yang menghebohkan itu, melainkan bocornya dokumen-dokumen diam-diam setebal 4000 halaman lebih yang disebut Pentagon Papers. Dalam dokumen yang meliputi data-data dari tahun 1945 sampai 1967 tersebut, terpapar analisa mendalam yang menyatakan bahwa negeri Paman Sam sejatinya tidak mempunyai kans untuk berjaya dalam Perang Vietnam. Alasan terbesar yang lantas membuat Amerika Serikat kekeuh bertahan dan enggan menarik pasukan dari medan tempur yakni ketidakrelaan untuk menanggung rasa malu alasannya adalah kekalahan atau dengan kata lain, gengsi. 

Jatuhnya dokumen negara super rahasia ini ke tangan para jurnalis di The New York Times menjadi cikal bakal bagi The Post dalam memulai guliran pengisahannya. Dari sini, Steven Spielberg membagi fokus penceritaan menjadi dua cabang yang masing-masing dikomandoi oleh Katherine Graham (Meryl Streep) selaku penerbit dan Ben Bradlee (Tom Hanks) selaku editor direktur. Melalui sosok Katherine, penonton mendapati dongeng cenderung personal mengenai wanita pertama yang menempati posisi tertinggi dalam bidang penerbitan surat kabar di Amerika Serikat. Katherine mewarisi The Washington Post usai suami dan mertuanya berpulang. Meski mempunyai kemampuan bersosialisasi yang mumpuni – terbukti dari lingkaran pertemanannya yang mencakup politikus-politikus besar, namun Katherine tidak cukup luwes dalam berbisnis. Keputusan-keputusan yang diambilnya, termasuk saat menjual saham perusahaan secara terbuka, acapkali dipengaruhi oleh penasehat-penasehatnya yang seluruhnya pria. Sedangkan melalui sosok Ben, penonton memperoleh kisah mengenai upaya para jurnalis untuk mengangkat derajat The Washington Post yang selama ini dianggap sebatas koran lokal receh. Pasca mengetahui The New York Times mempunyai bahan info yang berpotensi menggemparkan seluruh negara, Ben pun menitahkan anak buahnya untuk mengejar sang sumber info sehingga mereka tidak saja dapat meningkatkan reputasi surat kabar tetapi juga menjalankan kewajiban untuk memberitakan kebenaran kepada masyarakat.

Tatkala menonton The Post, ada dua hal yang mesti banget dipersiapkan, ialah kesabaran dan konsentrasi. Selepas disuguhi hidangan berupa para tentara negeri adikuasa kewalahan dalam melayani serbuan Vietkong kemudian dilanjut pembobolan berkas-berkas penting milik Departemen Pertahanan terkait kekerabatan Amerika Serikat dengan Vietnam yang menciptakan intensitas di permulaan film, The Post mulai menstabilkan lajunya di level ‘pelan’. Letupan-letupan besar disisihkan terlebih dahulu demi memberi ruang bagi penonton untuk berkenalan secara intim dengan dua karakter kunci dalam film; Katherine dan Ben, sekaligus memahami secara utuh rentetan peristiwa yang tengah dihadapi oleh The Washington Post. Ya, sebelum bergerak lebih jauh, Spielberg selaku tukang kisah mencoba untuk memastikan bahwa penonton benar-benar memahami wacana posisi Katherine, urgensi dalam meyakinkan para investor saham, obsesi Ben, serta kebohongan-kebohongan yang disembunyikan pemerintah melalui Pentagon Papers. Kelihaian Spielberg dalam bercerita menciptakan materi kisah yang rada-rada njelimet ini terasa menarik buat disimak alih-alih menjemukan. Ketertarikan memang tidak serta merta terbentuk melainkan muncul sedikit demi sedikit seiring bergilirnya durasi. Seiring didapatnya gambaran lebih utuh mengenai apa yang sejatinya hendak disampaikan oleh The Post

The Post bukanlah Spotlight (2016) yang meletakkan sebagian besar fokus penceritaannya pada pengejaran informasi. Di sini, duo penulis skrip, Liz Hannah dan Josh Singer, turut memecah fokusnya ke pergulatan batin si penerbit yang dihadapkan pada pilihan dilematis: memilih sobat-sobat politikusnya yang terang merupakan pilihan aman atau mempersilahkan para jurnalisnya untuk mempublikasikan kebohongan yang ditutup rapat oleh pemerintah selama bertahun-tahun meski konsekuensinya yakni dijauhi oleh investor serta dipenjara karena dianggap menyalahi UU spionase. Tentu dibutuhkan keahlian bercerita yang tinggi agar dua cabang ini tidak terasa penuh sesak atau timpang sebelah. Spielberg, mirip telah diperkirakan, bisa menyeimbangkan dua fokus penceritaan tersebut sehingga keduanya dapat berjalan beriringan dan saling menopang. Cerita milik Ben memang mesti diakui lebih menggigit sebab menyoroti pada jurnalisme investigasi. Akan tetapi, dongeng milik Katherine tidak lantas melempem sekalipun cakupannya personal terkait upayanya memperoleh doktrin dari dirinya sendiri maupun pria alpha di sekelilingnya. Ditunjang oleh akting gemilang Meryl Streep, kita bisa memahami keragu-raguannya, ketakutannya untuk berbuat kesalahan, harapannya untuk menerima respek dari pria-pria di sekitarnya yang memandangnya sepele, kemauannya belajar dari kesalahan, serta keberaniannya dalam mengambil keputusan. 

Ndilalah, Meryl Streep mempunyai lawan main yang tak kalah piawainya dalam berolah tugas, Tom Hanks. Sosok Ben yang menyala-nyala memberi keseimbangan di saat sosok Katherine cenderung lebih kalem. Keduanya mulai sering bertatap muka tatkala dua cabang kisah saling beririsan yang sekaligus menandai terdeteksinya eskalasi ketegangan dalam The Post. Ketegangan mampu tercium dengan terang pasca anak buah Ben menginformasikan bahwa beliau telah mendapatkan materi gosip yang diperlukan. Yang tidak disangka-sangka, adegan conference call yang berlangsung di rumah Katherine dan Ben demi mencapai mufakat mampu menciptakan diri ini berada dalam fase “dag dig dug” sekaligus meremas-remas kursi bioskop. Terhitung sedari momen emas ini, The Post secara konstan menghadirkan guliran pengisahan yang mencekam serta mencengkram. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara film ini, tapi kita tidak ambil pusing karena yang diinginkan ialah menyaksikan proses para jurnalis di The Washington Post mencapai muara tersebut. Bagaimana mereka menyusun artikel bernas dari dokumen negara setebal ribuan halaman, bagaimana mereka memperjuangkan kebebasan pers di ketika sang presiden mengancam akan membredel tempat mereka mencari penghasilan, dan bagaimana mereka menawarkan tanggung jawab kepada masyarakat yang dianggap perlu mengetahui kebohongan-kebohongan pemerintah. Mengusung gosip yang begitu relevan dengan akil balig cukup akal ini yang mana kebebasan pers tengah terancam dan gosip bohong kian marak dijumpai, tak salah kiranya menyebut The Post sebagai film yang penting disimak oleh siapapun.



Note : Satu lagi yang berkesan dari The Post, film ini memberi kita detil kecil mengagumkan perihal cara kerja mesin cetak surat kabar. Ya, kita tidak hanya diajak berkeliling ruang kerja jurnalis tetapi juga diajak mengunjungi percetakan!

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : The Post"