Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Willoughbys


“All I wanted was a great family.”

Di awal film, seekor kucing bermulut tajam (disuarakan oleh Ricky Gervais) telah memberi peringatan kepada para penonton bahwa The Willoughbys bukanlah tontonan keluarga yang konvensional. Dia berujar, “bila kau menyukai cerita ihwal keluarga yang tetap bersama serta saling mencintai dalam suka dan duka kemudian semuanya berakhir senang selamanya, ini bukan film untukmu. Paham?” Suatu pengantar yang sejatinya diperkenalkan oleh Lemony Snicket’s A Series of Unfortunate Events – dan lalu menjadi ciri khas bagi franchise tersebut – yang sedari awal mewanti-wanti untuk tak mendamba guliran pengisahan yang riang bangga alasannya si pengarang membawanya ke ranah lebih gelap. Tak sepenuhnya bermuram durja atau sarat akan tangis kepiluan tentu saja mengingat bagaimanapun juga sasaran utamanya yakni seluruh keluarga. Hanya saja, penonton cilik butuh bimbingan untuk melahap kontennya yang berisi humor-humor nyeleneh bertabur sarkasme dan narasi yang melibatkan info-info “mengerikan” mirip kriminalitas, maut, sampai pembunuhan. The Willoughbys yang sedikit banyak mengingatkan pula kepada The Addams Family ini menyodorkan ketiga berita tersebut dengan premis yang membuat hamba terperanjat saking gelapnya. Disadur dari novel bertajuk sama rekaan Lois Lowry, film membawa pengandaian berbunyi, “bagaimana kalau menjadi yatim piatu yaitu jalan terbaik bagi belum dewasa untuk menerima kebahagiaannya?” yang sudah barang tentu bukan sesuatu yang lazim bagi film animasi untuk segala usia.

The Willoughbys memperkenalkan kita pada keluarga Willoughby yang dahulu periode mempunyai nenek moyang yang dikenal penuh kehangatan, gemar berpetualang, serta memperlihatkan sumbangsih besar pada ilmu pengetahuan. Akan tetapi, setelah beberapa generasi, satu-satunya DNA tersisa dalam keluarga ini yaitu rambut berwarna merah yang ibarat benang rajut. Bapak dan Ibu Willoughby (Martin Short beserta Jane Krakowski) lebih gemar mengisolasi diri di ruang tamu seraya saling bercumbu rayu dan merajut ketimbang berpetualang atau melaksanakan percobaan ilmiah. Parahnya lagi, meski keduanya tampak saling mencintai, mereka sama sekali tak membagikan cinta untuk keempat anak mereka; Tim (Will Forte), Jane (Alessia Cara), serta si kembar Barnaby (Sean Cullen). Usai menemukan bayi yang ditelantarkan di depan rumah pada suatu malam, keempat bocah ini lantas menerima pandangan baru untuk memperoleh kebahagiaan yang selama ini diidamkan dengan mengenyahkan kedua orang tua mereka. Caranya, mengirim sang ayah dan sang ibu dalam perjalanan wisata berbahaya dimana maut mengintai setiap dikala. Para bocah ini berharap, si orang renta akan tewas dalam perjalanan ini dan mereka pun menjadi yatim piatu. Sebuah keinginan yang janggal ya? Dua orang tua yang luar biasa egois tersebut toh pada alhasil bersedia pergi berlibur dan keduanya menitipkan bawah umur mereka pada seorang pengasuh “tak kompeten” berjulukan Linda (Maya Rudolph). Meski para bocah mulanya curiga dengan kehadiran si pengasuh, nyatanya mereka justru menemukan makna keluarga yang bahwasanya dari Linda.


Menonjolkan kesan sebagai film keluarga tak biasa mengikuti premisnya yang terbilang gulita, The Willoughbys nyatanya tak benar-benar memboyong penonton ke dalam rangkaian adegan yang berpotensi mencuat dalam mimpi jelek. Segalanya masih mampu ditolerir kecuali fakta bahwa kedua orang bau tanah dalam film ini teramat egois kepada bawah umur mereka sampai pada tahap enggan menyediakan makanan layak santap di meja makan. Jika berani menggugat, maka bersiaplah untuk dikirim ke ruang bawah tanah penuh batu bara. Keji, bukan? Sebuah pemantik konflik yang sejatinya menarik perhatian, sama halnya dengan visi Kris Pearn selaku sutradara dalam memvisualisasikan tampilan fisik keluarga Willoughby – mengandung warna merah serta kumis melintang ala Pak Raden. Yang lalu menjadikan percikan api yang telah dipantik ini agak meredup ialah, laju pengisahannya tak selalu mulus. Ingat soal misi untuk mengenyahkan kedua orang bau tanah sehingga para bocah Willoughby dapat hidup tentram dengan menjadi yatim piatu? Well, penonton gres akan mendapatinya sehabis film menapaki menit ke-30. Itupun sehabis dijejali sebuah subplot kurang menggairahkan menghadirkan dua abjad diluar keluarga, seorang bayi dan pemilik pabrik permen, yang motif keberadaannya semata-mata semoga para bocah mampu keluar dari rumah mereka. Keduanya tahu-tahu muncul, tahu-tahu menghilang entah kemana, kemudian tahu-tahu muncul lagi. Tak pernah benar-benar menambah bobot ke dalam pengisahan, kecuali turut berkontribusi pada melambatnya alur yang menciptakan durasi sepanjang 90 menit acapkali terasa lebih panjang dari semestinya... kecuali dikala film memasuki babak titik puncak yang anehnya justru amat bergegas. Duh.

Ya, The Willoughbys memang terhadang problematika berupa laju penceritaan dengan intensitas naik turun serta ramainya konflik yang belakangan melibatkan antagonis lain ialah Layanan Anak Yatim yang dandanannya ibarat biro Men in Black. Yang kemudian menyokong film semoga tetap menjerat penonton hingga final – selain visual warna-warninya yang boleh jadi disukai penonton cilik – yaitu kapabilitas para penyulih suara. Berterimakasihlah kepada Ricky Gervais, berterimakasihlah kepada Maya Rudolph, berterimakasihlah kepada Will Forte, dan berterimakasihlah kepada Martin Short beserta Jane Krakowski yang energinya menimbulkan karakter-aksara mereka terasa memiliki nyawa. Tanpa para pelawak-pelawak kelas wahid ini, diri ini enggan membayangkan apa jadinya The Willoughbys sebab rentetan humor bernada agak gelap yang dilontarkannya pun acapkali meleset dari target. Mengurungkan rencana untuk membuka lisan lebar-lebar balasan tawa, dan menyisakan realita berupa wajah dengan ekspresi datar. Saya pribadi tak akan menyebut film ini jelek, bahkan masih bersedia merekomendasikannya kepada penggemar tontonan animasi untuk disimak selagi senggang. Apalagi hamba masih menjumpai beberapa momen mengasyikkan mirip trik mengusir calon pembeli rumah memakai jebakan-jebakan "maut" atau montase yang menampilkan orang tua terbebas dari marabahaya periode berpetualang berkat kekuatan cinta. Hanya saja, memeriksa betapa menggugah dan uniknya premis yang disodorkan dimana tawa, air mata, serta kegembiraan dimungkinkan untuk hadir sepanjang waktu, cukup disayangkan The Willoughbys berakhir menjadi menu generik yang gampang menguap dari ingatan.

Note : Ada satu adegan bonus di penghujung end credit.

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : The Willoughbys"