Review : Transformers: The Last Knight
“It has been said throughout the ages, that there can be no victory, without sacrifice.”
Ladies and gentleman, Transformers is back.
Berkaca pada kualitas dari Transformers: Age of Extinction yang letoy, banyak pihak – terutama mereka yang bukan berasal dari kalangan penggemar – bertanya-tanya, “kenapa sih Michael Bay tidak berkenan membiarkan franchise Transformers beristirahat dengan damai? Apa lagi sih yang hendak dikulik lewat pertempuran antar robot yang plotnya begitu-begitu saja?.” Well, sekalipun kritikus kerap mencibirnya sinis dan Bay seolah telah mengendur semangatnya dalam menggarap instalmen keempat, pihak studio tentu tak akan secara sukarela memberhentikan franchise tarung robot yang didasarkan pada produk mainan ciptaan Hasbro ini terlebih dikala masih sanggup mengumpulkan miliaran dollar dari peredaran di seluruh dunia. Hey, bagaimanapun juga ini ialah bisnis sehingga saat uang masih mengalir deras ke brankas, kenapa mesti berhenti? Dilandasi alasan “money talks” – yang secara implisit bermakna, banyak khalayak ramai yang tetap menginginkan Transformers berlanjut – dikreasilah jilid kelima oleh Paramount Pictures yang diberi subjudul The Last Knight. Konon kabarnya, The Last Knight akan menjadi salam perpisahan bagi Michael Bay kepada anak asuhnya ini. Jikalau benar demikian, maka The Last Knight merupakan salam perpisahan yang layak dari Bay untuk Transformers.
Apakah Optimus Prime (Peter Cullen) adalah salah satu aksara favoritmu dalam franchise Transformers? Apabila jawabanmu ya, bersiaplah untuk sedikit menelan kekecewaan sebab beliau tak memperoleh banyak jatah tampil di The Last Knight. Pemicunya, perjalanan menjumpai Sang Pencipta ke Cybertron. Ketidakhadiran pemimpin Autobots di muka bumi berdampak pada kekacauan besar-besaran sehingga sejumlah pemerintah pun memutuskan untuk membentuk Transformers Reaction Force (TRF) untuk menghancurkan para Transformers tak peduli di faksi mana mereka berpihak. Hanya pendekar kita, Cade Yeager (Mark Wahlberg), yang masih menaruh doktrin pada para robot dan keputusannya tersebut harus dibayar mahal dengan menjadi buron pemerintah yang memaksanya untuk bersembunyi dari peradaban dunia. Keberadaan Yeager sendiri lantas terendus usai TRF bekerja sama dengan Decepticon untuk melacak Yeager beserta keluarga Autobots-nya. Dalam upayanya melarikan diri, Yeager memperoleh sumbangan dari robot C-3PO kw, Cogman (Jim Carter), yang mengabdi pada seorang kaya hebat sejarah yang mengenal amat baik sejarah Transformers, Sir Edmund Burton (Anthony Hopkins). Menurut Burton, bumi tengah berada di ambang kehancuran akibat planning bacin Cybertron dan disamping Optimus Prime, Yeager dan seorang profesor di Universitas Oxford bernama Viviane (Laura Haddock) merupakan impian terbaik yang dimiliki bumi dikala ini.
Dibandingkan Age of Extinction yang bagi saya secara personal yakni jilid terlemah dalam rangkaian film Transformers – dan sungguh teramat ‘zzz’ sampai-hingga ingin bobo di dalam bioskop – The Last Knight bisa dikata sebentuk peningkatan. Tentu saja Transformers ialah Transformers, jadi kalau kamu memang tidak pernah benar-benar menyukainya sedari awal, atau malah justru membencinya, ini tidak berarti banyak. Peningkatan yang bisa dijumpai di The Last Knight ialah munculnya kembali sisi excitement yang sempat menguap di jilid sebelumnya. Untuk menjumpainya pun bahu-membahu tidak gampang alasannya penonton mesti bertahan dibawah deraan satu jam pertama yang mampu dikata menjemukan pula bertele-tele. Adegan pembukanya memang seketika bang bang boom dengan latar menggugah selera pada zaman kegelapan Inggris dimana para Transformer rupa-rupanya telah mendarat di bumi dan mempunyai andil dalam berjayanya Raja Arthur, namun begitu film beralih ke era kini kemudian guliran pengisahan berkutat pada korelasi Yeager dengan sampaumur yatim piatu usia belasan, Izabella (Isabela Moner), daya cengkramnya merosot cukup drastis. Sarat akan dialog-obrolan tidak terlalu yummy buat dinikmati, sesak akan lontaran-lontaran humor yang kering, dan gelaran laganya pun direduksi. Damn. Andaikata Michael Bay memadatkannya, toh Izabella tak juga punya bantuan penting pada penceritaan ke depan, The Last Knight bakal terasa lebih nyaman buat dinikmati.
Terbukti sejak kita mengucap ‘adios!’ pada Izabella dan diterbangkan ke Inggris, film mulai menggeliat. Selain film akibatnya memasuki inti penceritaan usai sebelumnya melulu berbasa-basi kedaluwarsa, pemicu lainnya yakni pemandangan indah Inggris (!) serta performa penuh suka cita dari Anthony Hopkins. Terbekatilah Bay beserta seluruh jajaran tim Transformers alasannya adalah berhasil merekrut Hopkins yang menyuntikkan aneka macam energi ke dalam The Last Knight dengan comic timing-nya yang jempolan. Interaksinya bersama Cogman menghadirkan derai tawa yang tulus dengan momen paling berkesan yang melibatkan keduanya ialah saat Cogman memberi iringan musik drastis di tengah-tengah dialog serius antara Yeager, Burton, dan Viviane. Lucu sekali. Performa enerjik Hopkins nyatanya turut berimbas ke Mark Wahlberg yang sekali ini menciptakan sosok Yeager tampak lebih berkarisma sebagai lead dan Megan Fox kw, maksud saya Laura Haddock, yang kehadirannya lebih dari sekadar suplemen maupun damsel in distress. Keduanya menampilkan chemistry dalam tataran bisa diterima sehingga alih-alih berharap mereka diinjak Decepticon, kita berharap mereka mampu menyelesaikan misi menyelamatkan bumi secara tepat dalam klimaks yang dihamparkan mengasyikkan serta gegap gempita oleh Michael Bay. Sebuah titik puncak yang sedikit banyak membantu memosisikan The Last Knight sebagai sebuah spektakel menghibur, seru, dan lucu.
Note : 1. The Last Knight mempunyai sebuah adegan perhiasan yang terletak di sela-sela bergulirnya credit scene. Tidak butuh waktu usang untuk menantinya.
2. Jika di kotamu menyediakan The Last Knight dalam format 3D, IMAX 3D, atau SphereX 3D, jangan ragu untuk memilihnya. Kualitas 3D-nya terbaik.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Post a Comment for "Review : Transformers: The Last Knight"