Review : Shy Shy Cat
“Buat apa aku minta ke kamu? Minta itu ke Allah. Dan dari dulu yang saya minta ke Allah cuma kau.”
Apabila kau berasal dari kota kecil, atau malah pelosok desa, rasa-rasanya pernah berada di fase diteror dua kasus. Pertama, kesulitan menjumpai pekerjaan sesuai minat talenta dengan gaji memadai sehingga bayangan soal meninggalkan kampung halaman lalu menjajal cari peruntungan hidup di metropolitan terus menerus menyembul. Dan kedua, diburu-buru menikah dengan ‘bahaya’ akan dijodohkan jikalau belum kunjung menemukan calon pendamping hidup era menapaki usia tertentu. Melalui kolaborasi ketiganya bersama Adhitya Mulya sehabis Test Pack: You Are My Baby dan Sabtu Bersama Bapak, Monty Tiwa mencoba merangkum (plus menertawakan) kegelisahan-kegelisahan ini ke bentuk sebuah tontonan komedi romansa sarat kritik sosial yang dimeriahkan barisan bintang-bintang ternama berjudul Shy Shy Cat. Dalam kaitannya sebagai sentilan sentilun, film memang cenderung terbata-bata untuk memenuhi segala potensinya. Tapi dalam tatarannya sebagai menu yang diperuntukkan bagi para pencari obat pelepas penat, Shy Shy Cat terhitung merupakan salah satu yang paling berhasil tahun ini.
Konflik di Shy Shy Cat bermula dari panggilan telepon yang diterima Mira (Nirina Zubir) saat dirinya tengah merayakan hari jadi ke-30. Orang tuanya menagih komitmen yang diikrarkan beberapa tahun silam soal pulang kampung di usia 30 jika jodoh belum kunjung merapat ke Mira. Mengetahui akan dijodohkan dengan Otoy (Fedi Nuril), sahabat kala kecil yang sejauh ingatan Mira bisa melayang yaitu sosok menjengkelkan, dia pun merancang skenario penggagalan upaya taaruf bersama dua sahabatnya, Jessy (Acha Septriasa) dan Umi (Tika Bravani). Membawa prasangka-prasangka buruk atas kampung halamannya, betapa terkejutnya Mira tatkala mendapati Desa Sindang Barang yang menahun ditinggalkannya telah berkembang begitu pesat. Bahkan Otoy yang diperkirakannya hanya akan bikin ilfeel, konkret-nyatanya menjelma menjadi cowok idaman di desa sehingga menggoyahkan denah sandiwara mereka. Tidak hanya mengacaukan segala bentuk planning untuk menghindari perjodohan dengan Otoy, perubahan-perubahan tak diantisipasi ini nyatanya turut berdampak pada terujinya tali persahabatan ketiganya.
Berbincang soal komedi, pendefinisian paling sempurna bagi Shy Shy Cat yakni heboh, norak serta luar biasa konyol – semuanya in a good way. Ya, bom tawanya tidak serta meledak beberapa menit seusai film lepas landas, namun setahap demi setahap dan berangsur tidak terkontrol semenjak Mira beserta rombongan menginjakkan kaki di Desa Sindang Barang. Guyonan-guyonannya bercita rasa ‘liar’ dengan kebanyakan berhasil mengenai target yang disasar berkat lakonan asing pula dari barisan pemainnya. Diantara ensemble cast-nya yang rata-rata bermain sangat baik mirip Nirina Zubir, Soleh Solihun, serta Titi Kamal, dua pelakon paling bertanggung jawab atas meledaknya riuh tawa penonton adalah Tika Bravani dan Acha Septriasa. Ketepatan Tika dalam menghantarkan dagelan sejatinya tidak perlu dipertanyakan lagi alasannya adalah kita pernah melihatnya menggila di Hijab, namun di Shy Shy Cat, dia membawanya ke level lebih sinting yang akan membuatmu yakin bahwa dia adalah aktris Indonesia ber-coming timing paling menakjubkan dikala ini. Tengok saja mulut polosnya periode mengucap, “mau berjalan-jalan di desa yang indah ini,” yang merupakan salah satu momen terbaik di Shy Shy Cat.
Sedangkan Acha Septriasa, well, it’s a pleasant surprise. Acha bukannya gila dengan genre komedi huru-hara, hanya saja perannya sebagai aktris esek-esek jelmaan Sally Marcellina berjulukan Jessy Bomb disini yaitu pertama kalinya Acha tampil begitu effortless dalam ngelawak. Setiap kemunculannya menaikkan level keriaan bagi film, hingga-sampai ada rasa rindu menyergap tatkala sosoknya menghindar sejenak dari sorotan. Saking primanya performa dari para bintang ini, terlebih dikala mereka memberikan dagelan, sedikit banyak mengampuni terpinggirkannya plot. Semangat ngelaba Shy Shy Cat yang kelewat tinggi berdampak ke berkurangnya kuota bercerita. Obrolan bertopik kearifan lokal nan mengikat yang akan gampang relate ke banyak penonton seperti perjodohan, nikah muda, kalangan muda-mudi yang lebih menentukan mengikuti gelombang urbanisasi ketimbang membangun desa sendiri, sampai pentingnya menyeimbangkan bisnis dengan agama maupun sebaliknya, yang kentara diniatkan sebagai materi melontarkan kritik sosial tidak pernah terjamah lebih jauh. Andai saja duo Adhitya Mulya dan Monty Tiwa memilih fokus pada topik tertentu kemudian mengembangkannya, bisa jadi Shy Shy Cat akan sekuat Get Married jilid awal atau Kapan Kawin?. Agak disayangkan memang alasannya bahwasanya potensi besar telah terpampang kasatmata dengan dipunyainya satu dua momen cukup menggelitik pikiran, elok sekaligus haru di titik tertentu.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Post a Comment for "Review : Shy Shy Cat"