Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Spider-Man: Into The Spider-Verse

 

“One thing I know for sure. Don’t do it like me, do it like you.” 

Hanya dalam periode waktu satu dekade, publik telah menerima setengah lusin film (!) mengenai abjad superhero milik Marvel Comics, Spider-Man, yang terbagi ke dalam tiga semesta penceritaan. Yang pertama tergabung dalam trilogi gubahan Sam Raimi dengan Tobey Maguire sebagai bintang utamanya, lalu yang kedua adalah reboot pertama yang memosisikan Andrew Garfield di garda terdepan, dan yang terakhir adalah reboot kedua yang diniatkan sebagai bagian dari Marvel Cinematic Universe. Ketiga-tiganya mempunyai abjad sentral serupa yakni Peter Parker dan jilid pertama dari ketiga franchise ini pun mempunyai origin story kurang lebih senada (perbedaan paling mencolok ada pada usia) sehingga muncul sekelumit pengharapan: tolong, jangan ada reboot lagi! Di saat aku – dan mungkin jutaan penonton lain – telah puas dengan keberadaan Spider-Man: Homecoming (2017) yang mengenalkan kita pada Tom Holland, Sony Pictures selaku pemilik hak cipta untuk adaptasi superhero ini menciptakan pengumuman mengejutkan. Kita akan menerima versi layar lebar lain yang menyoroti sepak terjang Spidey dalam memberangus kejahatan. Untuk sesaat diri ini ingin berteriak, “whaaaattt?”, hingga kemudian aku mendapati bahwa versi terbaru ini akan dicelotehkan dalam format animasi dan si tokoh utama bukan lagi Peter Parker melainkan Miles Morales yang notabene merupakan karakter kulit gelap pertama di balik kostum Spidey. Hmmm… interesting

Mengaplikasikan judul Spider-Man: Into the Spider-Verse, film yang digarap oleh tiga sutradara ini; Bob Persichetti, Peter Ramsey, dan Rodney Rothman, mengenalkan penonton pada seorang akil balig cukup akal berjulukan Miles Morales (disuarakan oleh Shameik Moore) yang tinggal di Brooklyn bersama ayahnya yang seorang polisi, Jefferson Davis (Brian Tyree Henry), dan ibunya yang seorang perawat, Rio Morales (Luna Lauren Velez). Demi kala depan lebih cerah, Jefferson menyekolahkan Miles di sebuah sekolah asrama terpandang dimana siswa-siswinya memiliki jiwa kompetitif tinggi. Miles memang mempunyai otak encer, tapi dia merasa kehidupan di sekolah ini mengekang jiwa mudanya yang menyukai kebebasan. Sebagai bentuk pelarian dari tekanan untuk memenuhi ekspektasi besar sang ayah, Miles kerap mengunjungi sang paman, Aaron Davis (Mahershala Ali), dan mencorat-coret dinding dengan grafiti. Kehidupan Miles yang cenderung tak tentu arah menyusul kebimbangannya untuk mengikuti kata hati atau menuruti pengharapan orang tua ini perlahan mulai berubah sesudah seekor laba-keuntungan menggigitnya. Miles seketika mempunyai kekuatan mirip halnya Peter Parker atau Spider-Man (Chris Pine) yang dielu-elukannya, tapi dibenci oleh Jefferson. Ditengah-tengah upayanya beradaptasi dengan kekuatan barunya, Miles berjumpa dengan sekelompok Spider-person dari semesta berbeda seperti Peter Parker (Jake Johnson), Spider-Woman (Hailee Steinfeld), Spider-Noir (Nicolas Cage), Spider-Ham (John Mulaney), dan Peni Parker (Kimiko Glenn), usai sebuah portal ke dimensi lain terbuka. 


Siapa yang menyangka kalau menyaksikan Spidey bergelantungan diantara gedung-gedung pencakar langit di kota New York dalam format animasi ternyata menghadirkan sebuah pengalaman sinematis yang berbeda dan mengasyikkan? Jangan keburu pesimis terlebih dahulu dengan dalih “ini cuma film kartun” alasannya animasi yang ditawarkan oleh Spider-Man: Into the Spider-Verse bukan seperti film animasi yang kerap ditengok di layar kaca atau versi home video-nya. Ada bujet besar yang diinvestasikan oleh Sony Pictures Animation di sini dengan hasil final mirip perpaduan antara rekaan komputer (CGI) dengan tabrakan tangan (2D) yang besar kemungkinan akan membuatmu takjub. Lebih-lebih, jikalau kamu gemar membaca komik. Memang sih tidak ada detil mencengangkan macam film produksi Pixar – dan memang bukan itu tujuannya – tapi pilihan kreatif untuk menghadirkan Spider-Man: Into the Spider-Verse dalam format animasi memungkinannya tersaji bak “komik hidup”. Ini termasuk adanya balon obrolan untuk menampung pikiran-pikiran si protagonis dalam bentuk goresan pena serta munculnya goresan pena sejenis “Kapoow!” guna memberi efek bombastis pada langgar tanpa suara. Unik, bukan? Yang juga unik adalah desain karakternya yang mungkin akan mempunyai impak berbeda apabila diterjemahkan ke dalam live action mirip Kingpin (Live Schreiber) si villain utama yang memiliki badan besar cenderung kotak dengan kepala kecil, Spider-Ham yang kartun banget sekaligus mengingatkan pada salah satu tokoh di Looney Tunes, dan Peni Parker yang corak animasinya kentara dipengaruhi oleh anime asal Jepang. 

Si pembuat film turut memperdayakan pilihan kreatifnya ini untuk mengkreasi tata sabung yang liar macam momen titik puncak besarnya yang melibatkan berbagai dimensi ruang waktu, maupun tata laga dengan sentuhan humor macam momen pertemuan pertama kali antara Miles dengan Peter Parker dari semesta berbeda. Dua hal yang harus diakui sulit dibayangkan mampu muncul dalam format live action tanpa harus menjadi norak dan kacau. Disamping menaruh banyak perhatian terhadap pembuatan animasi sehingga ambisi ‘tidak pernah kamu lihat sebelumnya’ dapat terpenuhi, trio sutradara tak pernah sekalipun abai soal narasi yang naskahnya dikerjakan oleh Rothman bersama Phil Lord (The Lego Movie). Untuk ukuran film yang mengincar pasar keluarga, Spider-Man: Into the Spider-Verse terbilang mempunyai penceritaan kompleks. Bukan saja soal keberadaan dimensi lain yang secara cerdas dapat diurai tanpa pernah bikin otak keriting (dan bisa pula dipahami penonton cilik. Bravo!), tetapi juga pergulatan langsung Miles Morales beserta sang mentor, Peter Parker, dan motivasi Kingpin yang bukan sebatas menguasai dunia. Miles mengalami kebimbangan dalam menentukan jalan hidup yang membenturkannya pada konflik dengan sang ayah dan sang paman, sementara Peter Parker yang tidak lagi muda berjaya sedang bertikai dengan istrinya, Mary Jane. Terdengar sangat berat, ya? Di atas goresan pena sih memang sepertinya begitu. Tapi percayalah, dalam eksekusinya tidaklah demikian. Sekalipun emosi tetap terasa ditonjok-tonjok (utamanya di adegan berbicara dari balik pintu), ada penyeimbang yang sempurna dalam wujud humor segar dan adu seru demi menjaga semangat penonton dalam menyaksikan Spider-Man: Into the Spider-Verse yang merupakan salah satu film terbaik Spidey ini. 

Note : Spider-Man: Into the Spider-Verse memberi penghormatan terakhir pada Stan Lee (yang masih muncul sebagai cameo) dan Steve Ditko di pertengahan end credit. Pada penghujung credit, ada sebuah adegan bonus sangat lucu bagi kau yang bersedia bertahan selama 14 menit.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Spider-Man: Into The Spider-Verse"