Review : The Underdogs
“Kita dari Sekolah Menengan Atas nggak berubah sebab kita do nothing. Makanya sekarang kita harus do something."
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena Youtubers di tanah air telah meningkat secara drastis. Bisa dikata, saban hari adaaaa saja pengguna gres situs mengembangkan video Youtube yang menjajal peruntungannya di dunia maya. Bagi sebagian pihak, Youtubers layak untuk diidolakan. Kreativitas mereka dalam mengkreasi konten menjadi bahan santapan yang begitu menarik buat disimak sehingga berlangganan beberapa terusan lalu mantengin layar gawai berjam-jam pun rela dilakukan. Sementara bagi sebagian pihak lain, Youtubers layak untuk dicaci. Cukup sering saya mendengar beberapa orang (entah di dunia aktual atau netizen) mencibir kualitas konten dari video yang dibentuk atau semata-mata menyerang kepribadian si pembuat tanpa pernah benar-benar memahami motivasi dibalik pembuatan kanalnya. Apa betul sesederhana ingin merengkuh popularitas? Bukankah mungkin saja mereka membuatnya sebab disinilah letak passion mereka? Bidang ini memang memberi iming-iming surgawi berupa mendaki tangga popularitas secara instan. Namun dibalik itu semua, membutuhkan proses panjang yang juga tidak bisa dikata gampang. Seolah menyadari tingginya persepsi negatif publik terhadap para Youtubers, Adink Liwutang melalui The Underdogs yang menandai pertama kalinya bagi dia menduduki kursi penyutradaraan mencoba untuk mengklarifikasi dengan membagi perspektif aktual mengenai Youtubers.
Karakter utama dalam The Underdogs adalah empat sobat sedari SMA yang tidak mempunyai sahabat sebaya lain diluar lingkaran mereka sendiri serta kerap mengalami perisakan di sekolah; Ellie (Sheryl Sheinafia) yang dianggap gila karena mempunyai jiwa seni tinggi, Bobi (Jeff Smith) yang dikucilkan balasan sering melaporkan siswa-siswa pelanggar hukum, Dio (Brandon Salim) yang kesulitan berinteraksi disebabkan sifat pemalunya, dan Nanoy (Babe Cabita) yang telah berulang kali tinggal kelas. Selepas SMA, keempatnya berkeyakinan kehidupan sosial masing-masing akan berubah dan masyarakat akan mulai menerima mereka apa adanya. Tapi kenyataan ternyata berkata lain. Ditengah kekecewaan sebab nasib yang masih begitu-begitu saja, sebuah ide asing pun tercetus usai menyaksikan wawancara trio Youtubers SOL (Ernest Prakasa, Young Lex, Han Yoo Ra) yang personilnya memiliki riwayat mirip Ellie dan mitra-mitra. Mereka memutuskan untuk menjadi Youtubers. Yang tidak mereka antisipasi, mengkreasi konten untuk video tidaklah segampang kelihatannya. Berbagai percobaan dilakukan hanya berujung pada kegagalan yang membuat mereka nyaris mengalah. Dalam upaya terakhir, mereka nekat membuat video musik rap ditengah segala keterbatasan. Tanpa dinyana-nyana, video ini berhasil viral dan melesatkan grup mereka yang bernama The Underdogs. Popularitas memang akhirnya sanggup diraih, namun di lain pihak persahabatan mereka turut terancam dibuatnya.
Bukan sebatas berbicara mengenai kiat-kiat mencapai ketenaran menggunakan medium Youtube, penonton diajak untuk memahami betul fenomena Youtubers yang tengah merebak ketimbang sebatas menghakimi tanpa pernah mengerti apa yang bekerjsama terjadi. Si pembuat film menyodorkan para personil The Underdogs sebagai studi kasus. Keempatnya mempunyai duduk perkara eksklusif di rumah; orang renta Ellie senantiasa bertengkar, ayah Bobi menghendaki putranya melanjutkan bisnis keluarga, Dio masih dianggap anak kecil oleh sang ibu, sementara keluarga Nanoy menganggapnya aib, ditambah duduk perkara bersama sebagai outsider yang kemudian melecut mereka untuk menciptakan video sebagai ajang pembuktian diri. Menunjukkan bahwa mereka bisa, menunjukkan bahwa mereka tidak sepatutnya dianggap sebelah mata. Proses yang melatari usaha grup ini sedari sebelum video pertama diunggah hingga memperoleh ketenaran turut mengingatkan kita bahwa menciptakan kanal pun memerlukan kombinasi antara keberanian, kreativitas, serta konsistensi. Tidak semudah “bikin ini yuk!” kemudian rekam lalu unggah dan sebar di media sosial. Ada lika-liku dalam perjalanan The Underdogs yang kemudian menawarkan kesempatan bagi Alitt Susanto bersama Bene Dion Rajagukguk selaku penulis skenario untuk menyematkan pesan kasatmata mengenai memaknai persahabatan, keberanian untuk mengekspresikan diri, kemauan untuk merubah diri ke arah lebih baik, melawan perisakan hingga menyikapi perbedaan.
Asyiknya, pesan tersebut tak pernah sekalipun terdengar menceramahi penonton dan berhasil melebur mulus ke dalam jalinan pengisahan yang dialirkan sangat baik menjadi bahasa gambar oleh Adink Liwutang. Ya, sekalipun membawa misi memupus persepsi negatif khalayak ramai terhadap Youtubers, The Underdogs tak melupakan hakikatnya untuk mengajak penonton bersenang-bahagia. Sedari babak introduksi sampai credit title yang disisipi bloopers usai, film secara konsisten melempar bom-bom humor yang sebagian besar diantaranya berhasil meledak sempurna pada waktunya. Bentuk lawakannya bisa dibilang cukup kaya dan kreatif; ada slapstick, disulut situasi, pertukaran dialog komikal, plesetan sampai permainan acuan, sehingga memunculkan ketertarikan untuk mengetahui dagelan seperti apa yang dilontarkan kemudian. Keberhasilan humor mengenai para hadirin ini tentu tak mampu dilepaskan dari lakon barisan pemainnya. Masing-masing dari mereka – baik Sheryl Sheinafia, Brandon Salim, Jeff Smith, maupun Babe Cabita – tampil solid dan membentuk chemistry meyakinkan. Sheryl, Brandon, dan Jeff bisa mengimbangi Babe yang sekali ini tampil lebih liar dari biasanya. Peran dia sejatinya masih tipikal yakni huruf pesakitan, namun naskah, pengarahan, serta lawan main memungkinkannya untuk menggila habis-habisan tanpa pernah menjurus ke menyebalkan atau mengganggu.
Kejutan lainnya, Babe juga bisa menangani momen dramatik. Oh ya, porsinya memang tidak sebesar Sheryl dan Jeff yang kentara sedari awal dipersiapkan untuk menciptakan hati penonton terenyuh, tapi tetap saja ini kejutan cantik. Apiknya chemistry yang terjalin diantara pemeran utama menciptakan penonton tak merasa kesulitan untuk terhubung dengan persoalan eksklusif masing-masing karakter yang salah satunya mungkin saja pernah (atau sedang) kau alami. Pola penceritaannya memang masih menganut ‘from zero to satria’ yang bisa kamu tebak kemana muaranya, akan tetapi cara sang sutradara menuturkan kisah dan adanya ikatan yang terbentuk antara penonton dengan para aksara membuat kita tak keberatan mengikuti perjalanan grup The Underdogs menggapai puncak. Perjalanan ini bukannya terbebas dari problem. Memasuki babak ketiga ketika konflik berdatangan dari aneka macam sisi, laju agak tersendat. Resolusinya pun tak seluruhnya terjabarkan dengan baik karena mampu dijumpai ada satu dua yang hasilnya ujug-ujug dan sedikit banyak mengkhianati salah satu pesan film yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini bahkan mie instan sekalipun. Yang kemudian menghindarkannya dari problematika lebih dalam, The Underdogs menutup gelaran cerita dengan hangat dan lucu. Semangat bersenang-senangnya yang menghiasi sepanjang film tak bisa pula dikesampingkan. Bagaimanapun, The Underdogs telah berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang sangat menghibur. Jika mengutip salah satu judul lagu yang dibawakan para aksara utama, The Underdogs itu AZQ (dibaca: asyik) sekali!
Exceeds Expectations (3,5/5)
Post a Comment for "Review : The Underdogs"