Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Aquaman


“A king fights only for his own nation. A jagoan fight for everyone.” 

Berbeda dengan rekan sejawatnya yang telah mempunyai bangunan semesta yang mapan, DC Extended Universe (DCEU) masih terlihat meraba-raba mengenai apa yang seharusnya mereka perbuat selanjutnya untuk rangkaian film superhero hasil penyesuaian komik keluaran DC Comics. Jajaran pemain beserta kru terus mengalami bongkar pasang (bahkan beberapa nama inti seperti Ben Affleck dan Henry Cavill pun hengkang), begitu pula dengan nada penceritaan yang diaplikasikan. Dari mulanya hobi gelap-gelapan seperti siluman, DCEU belakangan mulai merangkul tone yang cenderung ringan selaiknya superhero tetangga begitu menyadari bahwa tidak semua film membutuhkan pendekatan realitis cenderung muram kolam trilogi The Dark Knight kepunyaan Christopher Nolan. Bagaimanapun juga, penonton umum membutuhkan spektakel gegap gempita kurun menetapkan bertandang ke bioskop untuk menyaksikan film kepahlawanan yang disadur dari komik terkenal, alih-alih tontonan kontemplatif yang menyimpan bejibun subteks di dalamnya. Agree to disagree, my amigos! Upaya DCEU dalam mengikuti keadaan dengan pasar sekaligus back to basic ini pun pada awalnya tak berjalan mulus lantaran masih terkesan aib-malu meong. Kehadiran Wonder Woman (2017) yang menyuarakan pesan women empowerment tanpa pernah mengorbankan tiga poin penting bagi terwujudnya film berskala blockbuster yang impresif: laga, humor, serta hati, menjadi semacam titik balik. Berkat kesuksesannya secara finansial maupun kritikal, khalayak berkesempatan untuk melihat banyak keriaan dalam rilisan terbaru DCEU, Aquaman, yang tak lagi ragu-ragu menampakkan dirinya sebagai spektakel pelepas penat untuk memeriahkan libur selesai tahun. 

Mengingat ini adalah film solo pertama dari si karakter tituler yang sebelumnya nongol di Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) dan Justice League (2017), maka sudah barang tentu Aquaman difungsikan sebagai origin story yang menceritakan asal muasal si putra duyung sebelum dirinya bergabung bersama para insan berkekuatan mahadahsyat untuk menyelamatkan bumi dari rongrongan kaum lalim. Bermula di masa 80-an, penonton diperkenalkan terlebih dahulu dengan kedua orang bau tanah si huruf protagonis yang ternyata berasal dari dua dunia; Thomas Curry (Temuera Morrison) ialah seorang penjaga mercusuar dari daratan, dan Atlanna (Nicole Kidman) yaitu Ratu Atlantis yang mendiami dunia bawah laut. Atlanna yang diselamatkan oleh Thomas usai terdampar di pantai ini pun menjalin cinta terlarang dengan Thomas, kemudian menetapkan untuk meninggalkan Atlantis, hingga kemudian melahirkan Arthur (versi akil balig cukup akal dimainkan oleh Jason Momoa). Menilik status sosial Atlanna, kerajaan Atlantis tentu enggan membiarkan Atlanna kabur begitu saja sehingga mereka pun memburunya dan membunuhnya. Sebagai seruan terakhir, Atlanna menitipkan Arthur pada Nuidis Valko (Willem Dafoe), perdana menteri di Atlantis, yang menggemblengnya semasa tumbuh akil balig cukup akal demi dipersiapkan sebagai penerus kerajaan. Pun begitu, Arthur tidak lantas dapat mengklaim posisi raja dengan mudah disebabkan oleh dua hal: 1) label ‘darah gabungan’ terus menempel pada dirinya yang membuat rakyat urung memberi derma, dan 2) sang adik tiri, Orm (Patrick Wilson), yang sekarang menduduki singgasana enggan menyerahkan jabatannya kepada Arthur terlebih Orm berambisi menjadi penguasa laut sekaligus meluluhlantakkan daratan yang dianggapnya bertanggung jawab atas kerusakan bahari.


Dibawah penanganan James Wan yang filmografinya mencakup film memedi menakutkan macam Insidious (2011) beserta The Conjuring (2013) dan film laga seru-undangan macam Furious 7 (2015), Aquaman berhasil tampil sebagai film superhero yang diperlukan oleh sebagian besar khalayak ramai. Sebuah spektakel mengasyikkan yang mampu ditonton beramai-ramai bersama kawan erat atau keluarga di kurun senggang seraya ditemani makanan ringan ringan. Durasinya yang merentang pantang hingga 2 jam 23 menit memang agak intimidatif (acapkali film kelewat berlarut-larut dalam bertutur), tapi percayalah, ada berbagai kesenangan yang bisa kamu dapatkan di sepanjang durasi Aquaman. Sebut saja apa yang kamu antisipasi: rentetan adu yang meriah? Check. Humor ringan yang mengundang tawa? Check. Visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik yang mengikat? Hmmm… kurang memadai sih, tapi masih layak buat dikudap jadi… check. Aksi si jagoan yang menginspirasi? Check. Dan villain berbahaya yang bikin gregetan? Check. Si pembuat film memastikan bahwa sebisa mungkin penonton mendapatkan apa yang diperlukan dalam film ini sehingga mereka tidak merasa sia-sia karena telah merelakan 2,5 jam yang berharga (plus satu lembar duit berwarna biru di dompet). Kepiawaian James Wan dalam membesut gelaran tubruk dalam skala raksasa tidak perlu dipertanyakan lagi terlebih beliau telah membuktikannya melalui Furious 7 yang merupakan salah satu jilid terbaik dalam franchise-nya. Berkat tangan dinginnya, Aquaman pun mengikuti jejak Furious 7 dengan bangun tegak sebagai seri terbaik dalam rangkaian film di DCEU. 

Tunggu, tunggu. Seri terbaik dalam DCEU? Berarti melampaui Wonder Woman dong? Well, ini tergantung preferensi. Tapi secara personal saya lebih menikmati menu dari Aquaman yang level excitement-nya terhitung tinggi. Sedari menit pembuka yang menghadirkan tawa, haru, serta ketertarikan untuk mengetahui petualangan apa yang menanti Arthur, film tak pernah mengendurkan intensitasnya. Sebagian penonton mungkin akan merasa ini membawa rasa lelah (terutama bagi mereka yang mengharap adanya momen tenang demi mengisi otak dengan dialog pengusik pikiran), tapi jikalau kamu tidak keberatan untuk menyaksikan rentetan tubruk yang sambung menyambung menjadi satu nyaris tanpa henti, maka bergembiralah. Saya langsung nyaris tidak mengintip jam tangan lantaran fokus terus tertambat ke layar dimana James Wan memamerkan kebolehannya. Penggambaran kerajaan Atlantis berikut kerajaan-kerajaan lain di bawah maritim mampu dikategorikan imajinatif (meski tak jarang juga agak sedikit norak terlebih dikala melibatkan kuda maritim) yang membuat aku tak sabar untuk menantikan instalmen berikutnya yang semoga saja berkenan mengeksplorasi lebih jauh kota futuristis ini. Disamping visualisasi kampung halaman Arthur Curry, decak kagum lain berasal dari adegan serbuan makhlus buas Trench serta pertarungan tamat yang sedikit banyak melontarkan ingatan pada trilogi The Lord of the Rings. Tak hanya sebatas memanjakan mata, rangkaian adu ini juga mampu memacu adrenalin khususnya pada kejar mengejar di atas atap-atap rumah penduduk Sisilia, Italia, kemudian duel maut antara Arthur dengan Orm yang berlangsung di Ring of Fire, sampai konfrontasi final penentu kurun depan kerajaan bawah laut yang melibatkan ribuan pasukan. 


Ya, James Wan terperinci tahu bagaimana caranya mengatur tata tabrak. Lebih dari itu, dia juga tahu bahwa narasi membutuhkan hati sehingga film tak sebatas berakhir sebagai parade pamer visual yang hampa. Dia memberikan emosi dengan menguliti relasi antara Arthur dengan Thomas, Arthur dengan Atlanna, dan Thomas dengan Atlanna, yang secara eksklusif memberi kita alasan untuk bersimpati terhadap Arthur. Melalui subplot yang menempatkan fokusnya pada keluarga kecil ini, saya pun sempat menyeka beberapa bulir air mata yang mengalir di pipi. Sesuatu yang tidak pernah saya sangka-sangka bakal terjadi dikala menonton Aquaman. Terlebih lagi, Aquaman pun sejatinya mengusung penceritaan standar yang tidak melakukan penggalian mendalam pada huruf (seluruh huruf di film ini berpijak di area hitam putih, nyaris tak ada kompleksitas) maupun topik dialog yang turut menyinggung perihal lingkungan, politik, hingga konservatisme. Yang lalu mengompensasi naskah – selain visual, tata tubruk, serta pengarahan James Wan – yakni performa pemain ansambelnya yang ciamik. Aquaman beruntung memiliki Jason Momoa yang tak saja terlihat menikmati kiprahnya tetapi juga berkarisma sebagai hero serta menjalin chemistry cantik dengan Amber Heard (bintang film Mera, love interest dari Arthur) yang atraktif. Keduanya bergabung bersama Patrick Wilson yang sorot matanya telah mengindikasikan bahwa beliau bukanlah pemimpin yang luhur, Nicole Kidman yang menghadirkan kehangatan seorang ibu, Yahya Abdul-Mateen II sebagai perompak yang patut diwaspadai, dan Willem Dafoe yang mengisi posisi ‘si penunjuk jalan’ yang bijaksana.

Note : Aquaman mempunyai satu adegan bonus di sela-sela end credit yang cukup penting. Bertahanlah.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Aquaman"