Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : One Day


Masih ingat dengan film komedi romantis asal Thailand yang bikin geli-geli gregetan, Hello Stranger? Apabila masih mengingatnya jelas – bahkan dirimu ialah salah satu yang dibentuk jatuh hati olehnya – maka One Day yang juga menjamah ranah komedi romantis tentunya harus menduduki peringkat teratas dalam daftar “film yang wajib ditonton secepat mungkin, begitu ada waktu senggang”. Alasannya sederhana; One Day menandai kolaborasi reuni antara sutradara Banjong Pisanthanakun (Shutter, Pee Mak) bersama aktor sekaligus peracik skenario Chantavit Dhanasevi yang sebelumnya bertanggungjawab atas lahirnya Hello Stranger. Mereka berafiliasi dibawah naungan rumah produksi GDH (Gross Domestic Happiness) yang merupakan jelmaan GMM Tai Hub sesudah pecah kongsi akhir tahun kemudian. Guliran penceritaan diajukan di karya terbaru ini pun sejatinya tidak jauh berbeda. Apabila Hello Stranger mempersilahkan dua orang gila untuk saling merajut kasih dalam tempo sepekan di Korea Selatan, maka One Day mempersingkatnya ke batasan maksimal: satu hari saja. Kali ini, Jepang adalah saksi bisunya. Mencuplik elemen dongeng berbumbu fantasi, sang protagonis laki-laki disini yang berasal dari kalangan nobody diceritakan memperoleh kesempatannya untuk menciptakan wanita idamannya bertekuk lutut hanya dalam waktu sehari. 

Denchai (Chantavit Dhanasevi), nama sang protagonis laki-laki, yaitu petugas IT berusia 30 tahun yang kehadirannya di tempat kerja tak dianggap kecuali dikala rekan-rekan kerjanya memiliki duduk perkara dengan komputer masing-masing. Kehidupan Denchai yang monoton perlahan mulai berubah tatkala pegawai gres dari bagian Marketing yang bagus, Nui (Nittha Jirayungyurn), dapat mengingat secara baik namanya. Well, lantaran telah terbiasa diperlakukan sebagai outsider yang mana secara umum dikuasai kerap melupakan namanya, tentu hal sesepele “namamu Denchai, kan?” menciptakan Denchai merasa berharga. Di lubuk hati terdalam, Denchai ingin Nui menjadi kekasihnya. Hanya saja, perbedaan kasta di bulat sosial keduanya – belum ditambah kenyataan Nui telah menjalin hubungan dengan sang atasan – menyulitkan mereka untuk bersatu. Denchai pun akibatnya menentukan sekadar mengagumi Nui dari kejauhan. Namun takdir ternyata berkata lain begitu perusahaan tempat mereka bekerja mengadakan wisata ke Hokkaido, Jepang. Sebuah kecelakaan mengakibatkan Nui mengalami amnesia yang hanya berlangsung sehari saja. Menyadari ada kesempatan menghabiskan waktu bersama Nui, Denchai lantas memanfaatkannya dengan berpura-pura menjadi kekasihnya meski beliau mengetahui bahwa Nui tidak akan bisa mengingat kebersamaan mereka keesokan harinya. 

Yang sedikit memberi corak lain dibanding film bergenre senada keluaran GMM Tai Hub terdahulu, konten komikalnya agak dibatasi. One Day mencoba menguarkan aroma romansa lebih pekat yang mengambil beberapa elemen kisah dengan laju cenderung syahdu nan mendayu-dayu. Kamu memang masih menjumpai banyolan-dagelan abstrak khas film buatan Negeri Gajah Putih, tapi gelak tawanya tak akan habis-habisan seperti menonton May Who? atau Hello Stranger contohnya. Saat Denchai memproklamirkan dirinya sebagai pecahan jiwa Nui, kadar kelucuan dari film mulai mundur teratur. Paling-paling, pemantiknya yaitu tingkah serba awkward Denchai yang kentara sekali belum pernah memiliki hubungan percintaan bersama lawan jenis. Dengan adanya tenggat waktu yang pendek (kurang dari 24 jam), Banjong Pisanthanakun ingin fokus terhadap bagaimana protagonis utama kita berupaya menciptakan Nui percaya bahwa dia yakni kepingan jiwanya yang bantu-membantu. Itu artinya, sebisa mungkin menghadirkan momen-momen manis plus romantis yang diterjemahkan ke rentetan adegan bertemakan memperlihatkan kebahagiaan bagi Nui dengan membuatnya mencicipi kenyamanan pula kehangatan ditengah-tengah udara Hokkaido yang menusuk tulang. Tanpa harus disesaki obrolan-dialog puitis melelahkan, keromantisan dalam One Day semata-mata tercipta dari kemahiran si sinematografer menata gambar, iringan musik sentimentil, serta interaksi kompak pula mesra dari duo pemain utamanya. 

Chantavit Dhanasevi bermain elok sebagai Denchai yang dipresentasikan selayaknya pecundang. Kekikukkannya abad berinteraksi dengan Nui begitu pula ekspresi ketusnya dalam menanggapi keluhan mengundang tawa, dan perjuangannya menerima cinta sang wanita idaman mengundang simpati. Memang sih tindakannya kadangkala mendekati creepy tapi berkat permainan lakon ahli Chantavit dan dijustifikasi oleh obrolan “saat kau jatuh cinta kepada seseorang, kamu akan melaksanakan hal-hal yang cenderung tidak rasional” yang juga bukan muncul tiba-datang melainkan berproses terhitung dari momen Nui bisa mengingat nama Denchai, semuanya mampu dimaklumi malah somehow meninggalkan cita rasa anggun-bagus pahit. Dan Chantavit mendapat derma dari Nittha Jirayungyurn yang pesonanya mempunyai daya tarik berpengaruh sehingga kita sangat bisa mengerti mengapa Nui digilai dua pria secara bersamaan. Mereka berdua yakni tim solid yang cukup dari chemistry saja sudah bisa menggerakkan roda film. Mesranya Chantavit dan Nittha memunculkan cita-cita penonton – khususnya kaum-kaum lajang – agar mereka berdua dapat bersatu di penghujung film meski sama-sama tahu tidak akan semudah itu. Yang lalu menjadi pertanyaan, akankah masih ada cinta dalam diri Nui saat ingatannya pulih? Tidak mampu disangkal, pertanyaan inilah yang lantas menjerat keingintahuan kita untuk mengetahui sampai simpulan lika-liku perjalanan asmara antara Denchai dengan Nui yang kadangkala elok, kadangkala lucu, kadangkala gila, dan tak jarang pula menyesakkan dada... mirip rasa cinta itu sendiri.

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : One Day"