Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Bad Boys For Life


“I’ve never trusted anybody but you. I’m asking you, man. Bad Boys, one last time?”

Let me ask you a question, adakah diantara kalian yang menantikan Bad Boys for Life alias jilid ketiga dari Bad Boys? Ada? Tidak?... atau malah justru sama sekali tidak peduli? Saya langsung sih, tidak menempatkannya ke dalam daftar wajib tonton di tahun 2020. Jilid pertamanya yang dirilis pada tahun 1995 memang keren. Melalui film tersebut, saya diperkenalkan kepada seorang sutradara bernama Michael Bay yang ternyata kompeten dalam mengkreasi tontonan laga, dan seorang bintang film berjulukan Will Smith yang layak menyandang predikat “pemain drama berkelahi kala depan”. Tapi sekuelnya bertajuk Bad Boys II (2003) tak ubahnya menu kreasi Bay dalam beberapa tahun terakhir. Berdurasi sangat panjang dimana sebagian besar durasi diisi berkelahi bombastis yang cenderung melelahkan dan tak ada guliran pengisahan yang membuat kita peduli kepada para aksara dalam film. Singkatnya, mewah tapi begitu kosong hingga-sampai gampang dilupakan. Maka begitu film kelanjutannya diputuskan untuk diluncurkan pada bulan Januari yang identik dengan “film buangan” usai proses pengembangan yang panjang nan berliku-liku, dan digarap oleh duo asal Belgia, Adil El Arbi-Bilall Fallah, yang jejak rekamnya belum banyak diketahui oleh publik internasional, tentu tak ada yang lebih bijak selain enggan menanamkan ekspektasi apapun kepada Bad Boys for Life. Dilingkupi perilaku skeptis bahkan cenderung mencibir dikala melangkahkan kaki ke bioskop, alangkah terkejutnya saya begitu mendapati film ini ternyata sangatlah menghibur. Malah, aku sama sekali tidak ragu untuk menyebut Bad Boys for Life sebagai seri terbaik dalam franchise-nya.

Seperti halnya dua instalmen terdahulu, Bad Boys for Life pun masih menempatkan dua detektif dari Kepolisian Miami, Mike Lowrey (Will Smith) dan Marcus Burnett (Martin Lawrence), dalam poros penceritaan. Hanya saja, mengingat usia keduanya telah memasuki kepala lima, beragam perubahan tentu turut menyertai. Marcus sudah dikaruniai seorang cucu serta mendamba kehidupan yang lebih damai tanpa ada kekerasan, sementara Mike… well, dia masih mirip Mike yang dulu. Yang tidak ingin menjalin korelasi asmara serius dengan perempuan, yang masih ingin beraksi dengan keren di lapangan. Jika ada perubahan paling kentara dari seorang Mike, itu adalah: 1) janggutnya telah beruban, dan 2) ia tidak lagi kebal peluru seperti jilid-jilid terdahulu dimana dia ditampilkan bak superhero. Mike mengalami pendarahan ahli yang membuatnya koma selama beberapa bulan selepas ditembak oleh seorang pengendara motor abad tengah bersantai bersama Marcus. Akibat kejadian ini, Marcus pun memutuskan untuk pensiun dari kepolisian. Sebuah keputusan yang menimbulkan kekerabatan dua detektif ini merenggang. Pasalnya, usai benar-benar pulih, Mike berniat untuk mengungkap dalang dibalik upaya pembunuhan terhadapnya. Sebuah niatan yang tentu ditentang pula oleh sang atasan karena Mike membawa dilema langsung yang menjadikannya bias. Tak menyerah, Mike pun menempatkan dirinya sebagai konsultan bagi AMMO (satu unit dalam kepolisian berbasis teknologi canggih) yang ditugaskan menyelidiki insiden ini. Ditengah-tengah penyelidikan, sebuah insiden tragis kembali terjadi yang lantas mendorong Marcus untuk kembali terjun ke lapangan dan ikut menjadi “bad boys” untuk terakhir kalinya.


Apabila kamu sedang membutuhkan tontonan hiburan untuk mengenyahkan kepenatan, saya tidak akan ragu-ragu untuk merekomendasikan Bad Boys for Life kepadamu. Betapa tidak, film ini adalah paket komplit yang menawarkan tanda centang ke seluruh komponen yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah menu eskapisme. Laga seru? Check. Komedi lucu? Check. Drama mengharukan? Check. Sebagai seseorang yang belum pernah bersentuhan dengan karya-karya duo Adil-Bilall, saya takjub menyaksikan kepiawaian mereka dalam menghadirkan pengalaman menonton sepanjang dua jam yang benar-benar mengasyikkan sampai-sampai diri ini tidak menyadari bahwa durasi telah mencapai ujungnya. Memang betul bahwa keduanya tidak seahli Bay dalam hal mengkreasi letupan aksi berskala raksasa – yang memang tidak banyak digeber di jilid ketiga ini sebab pengetatan bujet – tapi mereka bisa mengompensasinya dengan kecakapan dalam mengatur timing di momen-momen tubruk krusial. Alhasil, sekalipun tidak kelewat bombastis layaknya Bad Boys II dan skalanya terhitung kecil-kecilan seperti kejar-kejaran di jalan raya menggunakan motor dengan kursi penumpang, intensitasnya dapat dirasakan. Kita ikut bersemangat, kita ikut berdebar-debar, dan kita pun tidak ingin mengalihkan pandangan dari layar barang sekejap. Disamping itu, Adil-Bilall turut memaksimalkan penggunaan rating R (17 tahun ke atas) dengan enggan berkompromi pada adegan kekerasan yang ditampilkan. Saya langsung cukup terkejut melihat level kekerasan dalam Bad Boys for Life yang terhitung brutal nan realistis dimana muncratan dan banjir darah tergolong lazim dijumpai di berbagai titik. Mengingat kakak-kakak ini lihai dalam mengatur timing, maka bersiaplah untuk mendapati sensasi kejut setiap kali perkelahian atau penembakan terjadi.

Terdengar terlalu keras untuk kalian yang berhati sensitif? Tenang saja, Bad Boys for Life akan mencairkannya dengan elemen komedik serta dramatik yang turut diboyongnya. Ya, meski narasinya sekali ini tergolong lebih gelap dibanding sebelumnya karena memperbincangkan tentang dendam yang dilapisi unsur supranatural, Bad Boys for Life masih mengaplikasikan formula dari jilid-jilid terdahulu yang berarti kamu akan tetap dibuat tergelak-gelak melalui tektokan menggelitik antara Mike dengan Marcus. Asupan humornya tetaplah kental yang bagusnya senantiasa mengenai sasaran berkat chemistry Will Smith bersama Martin Lawrence yang semakin menguat sehabis 25 tahun bersama. Tidak hanya mereka, film juga memperoleh sokongan performa apik nan lucu dari Joe Pantoliano sebagai atasan sarat petuah-petuah bijak, Paola Nunez sebagai perempuan yang diam-membisu ditaksir Mike, Alexander Ludwig sebagai teknisi bertubuh bodyguard, Charles Melton sebagai anabawang yang tengil, dan Vanessa Hudgens sebagai personil AMMO yang badass. Selain interaksi kocak yang terbentuk dari huruf-aksara lintas generasi ini, aku menyukai keputusan Bad Boys for Life untuk menyuplai materi guyonan dengan mengolok-ngolok dirinya (dan franchise) sendiri. Entah itu alasannya jalan ceritanya yang menyerupai telenovela, penggambaran sosok Mike yang kelewat perkasa melampaui manusia normal, maupun fakta bahwa mereka tetap beraksi sekalipun telah mencapai usia dimana mereka semestinya telah berleha-leha menikmati hidup. Kesadaran untuk tidak menganggap dirinya secara serius inilah yang menyebabkan serangkaian humor dalam Bad Boys for Life terasa begitu menyegarkan, terasa begitu menyenangkan.


Tapi jika ada satu hal yang menciptakan aku luar biasa terkejut selama menyaksikan Bad Boys for Life – tentu saja melampaui kejutan dari adegan kekerasan yang brutal – maka itu berasal dari elemen dramatiknya yang menjadikan mata saya berkaca-kaca. Siapa yang bakal menerka salah satu instalmen dalam franchise Bad Boys mampu semenyentuh ini? Apakah ini sebab Michael Bay tidak lagi terjun sebagai sutradara? Maksud aku, Bumblebee (2018) pun secara mengejutkan sangatlah hangat meski rangkaian seri dalam Transformers hanya berisi pertarungan berisik. Dalam Bad Boys for Life, duo Adil-Bilall memperlihatkan bahwa mereka tidak saja handal meramu adu dan komedi, tetapi juga mempunyai sensitivas yang berpengaruh. Beberapa adegan sederhana yang mampu jadi akan lewat begitu saja di film sejenis, mampu menunjukkan impak ke emosi di sini. Penulisan naskah dari Chris Bremner, Peter Craig, dan Joe Carnahan tentu turut punya andil alasannya mereka memperlihatkan porsi lebih terhadap karakterisasi Mike-Marcus ketimbang sebatas ditulis sebagai “polisi berumur yang masih pengen beraksi.” Ada alasan mengapa Mike kekeuh ingin terus beraksi di lapangan ketimbang merubah cara pandangnya tentang hidup, ada pula motivasi meyakinkan yang mendorong Marcus untuk mundur dari pekerjaannya. Ini terperinci penting, sebab dari sinilah kita bisa bersimpati kepada mereka. Kesanggupan penonton untuk menaruh kepedulian kepada duo abjad utamanya yakni sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh dua seri pendahulu, tapi mampu diwujudkan oleh Bad Boys for Life. Itulah mengapa saya tidak saja menyebut Bad Boys for Life sebagai paket komplit, tetapi juga seri terbaik.

Note : Ada dua adegan pemanis yang terletak di awal dan sela-sela end credit.

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : Bad Boys For Life"